Kalau melihat gaji yang didapat, pesepakbola top Eropa bisa disejajarkan dengan orang-orang kaya di dunia. Ini pula yang membuat mereka kesulitan menjual rumahnya saat pindah ke klub di kota atau negara lain. Alasannya? Rumah mereka kelewat mahal.
Pemain bintang umumnya digaji di atas 100 ribu paun perpekan, atau sekitar 100 miliar rupiah pertahun. Sementara itu, pada musim 2019/2020, rataan gaji tim papan bawah seperti Norwich City sudah mencapai 23 ribu USD perpekan atau sekitar 17 miliar rupiah pertahun.
Dengan gaji sebesar itu, mereka bisa tinggal di mana saja: menyewa rumah secara bulanan, tinggal di hotel bintang tiga, atau membeli rumah di kawasan elit.
Simon Kuper dalam tulisannya di Financial Times, mengingat kalau pesepakbola di era 1970-an, tinggal di rumah bertingkat (terraced house) yang bahkan lebih kecil dari rumahnya.
Namun, semuanya berubah pada 1990-an, ketika uang dari televisi masuk ke sepakbola. Besarnya uang tersebut membuat pesepakbola bisa meningkatkan budget untuk membeli atau menyewa rumah.
Pada awalnya, klub tidak memberikan bantuan saat merekrut pemain senilai jutaan paun dalam perencanaan sang pemain, utamanya dalam memilih rumah. Ini yang dirasakan Zlatan Ibrahimovich ketika pindah ke Ajax Amsterdam pada usia 19 tahun. Ia pindah ke pinggiran Amsterdam dengan kasur, tv, PS, dan kulkas di rumahnya. Sialnya, tidak ada apapun di kulkasnya dan ia merasa kesepian, juga tak punya uang.
Zlatan kemudian mengontak Maxwell dan memberi tahu masalahnya. Selain kesepian, dia juga kelaparan. Maxwell lalu menyuruhnya tinggal di rumahnya. Selama tiga pekan, Zlatan tidur di matras. Sampai akhirnya, Zlatan mendapatkan gaji pertamanya dari Ajax. Soalnya, sisa gajinya ketika ia pindah, langsung dibelikan mobil baru.
Hal serupa juga terjadi pada Wayne Rooney yang pindah kurang dari 60 kilometer dari kota Liverpool ke Manchester pada 2004. United justru menginapkan sang pemain di hotel. Rooney lantas mengakui kalau tinggal di tempat seperti itu sungguh mengerikan.
Masalah lainnya adalah banyak pesepakbola yang kebingungan ketika membeli rumah. Untungnya, di masa kini, pemain kerap mendapatkan saran dari senior, agen, atau LO khusus yang disiapkan klub untuk mengurusi kehidupan mereka. Akan tetapi, pemain umumnya lebih percaya pada agen mereka. Soalnya, dari beberapa kasus, sang LO justru bekerja sama dengan agen properti.
Di Inggris, terdapat area yang dikenal dengan “Golden Triangle of Cheshire” yang terdiri dari sejumlah kota seperti Knutsford, Alderley Edge, Wilmslow, dan Pretsbury. Area ini disebut-sebut sebagai “Kampung Sepakbola” karena banyak pesepakbola yang membeli rumah di area ini.
Pada akhirnya, pesepakbola akan mengikuti apa yang pesepakbola lain lakukan, termasuk dalam hal membeli rumah. Mengapa “Golden Triangle of Cheshire” berisi banyak pesepakbola, tentu karena mereka, selain karena ingin tinggal berdekatan, juga mendapatkan rekomendasi dari pesepakbola lainnya.
Di sisi lain, area tersebut menjadi sulit untuk dijual kepada warga lain karena secara harga, area tersebut bukan target mereka. Pesepakbola bisa menyewa atau membelinya, karena gaji mereka yang besarnya luar biasa. Saat masyarakat menetapkan anggaran sewa rumah tertinggi senilai 5 ribu paun, pesepakbola justru memasang angka 5 ribu paun sebagai angka terendah.
Carlos Tevez bahkan kabarnya menyewa rumah senilai 30 ribu paun perpekan. Akan tetapi, saat ini kasus seperti Tevez relatif jarang terdengar. Soalnya, pesepakbola sudah mendapatkan saran yang lebih baik agar tidak gegabah dalam menghamburkan uang.
Akan tetapi, hal tersebut hanya berlaku buat pesepakbola top dengan gaji tinggi. Soalnya, pesepakbola di divisi yang lebih bawah, justru menjadikan harga sewa rumah sebagai pertimbangan untuk pindah klub. Misalnya, pesepakbola akan berpikir dua kali saat mau pindah ke Millwall atau Fulham. Soalnya, biaya sewa rumah di London relatif tinggi.
Pesepakbola dengan gaji tinggi biasanya tak mau pusing. Mereka ingin menyewa atau membeli rumah lengkap dengan furnitur di dalamnya. Sehingga, mereka tinggal pindah dengan hanya membawa koper berisi baju.
Sialnya, rumah pesepakbola juga sering menjadi sasaran empuk untuk menjadi TKP kejahatan, dalam hal ini pencurian. Bagaimana tidak? Si penjahat tahu dengan mudah kapan sang empunya rumah pergi ke luar kota atau ke luar negeri. Bagaimana tidak? Kabar keberangkatan mereka bahkan diumumkan di media!
Untuk itu, pihak klub biasanya mengirimkan tim untuk meningkatkan sistem keamanan rumah sang pemain. Atau si pesepakbola bisa membeli rumah di kompleks berbasis cluster. Sehingga siapapun yang keluar masuk akan terpantau oleh petugas keamanan. Ini yang dilakukan sejumlah pemain top di Madrid yang membeli rumah di wilayah La Finca.
Rumah Sebagai Istana
Buat pesepakbola top, berinvestasi pada rumah adalah pilihan yang tepat. Soalnya, banyak dari mereka yang memilih untuk tidak keluar rumah, sehingga segala kegiatan seminimal mungkin dilakukan di luar rumah.
Alasannya? Apalagi kalau bukan karena penggemar. Pemain seperti Lionel Messi tentu tidak akan tenang ketika wajahnya terlihat di publik. Ia pasti akan diserbu para penggemar yang mengajaknya selfie. Selain karena keamanan, faktor kenyamanan juga diperlukan.
Ini yang membuat Messi membuat rumahnya layaknya penjara mewah. Di dalamnya, terdapat segalanya: lapangan sepakbola mini dan kolam renang berukuran besar.
Mereka juga terlihat berlebihan dan tidak efektif. Misalnya, rumah mereka punya enam kamar, tapi yang dipakai cuma dua. Karena sebenarnya bukan efektivitas yang dibutuhkan, melainkan seberapa mahal rumah tersebut bisa dibeli.
Akan tetapi lagi-lagi contoh ini hanya bisa diterapkan pada pesepakbola top Eropa. Kalau pesepakbola divisi bawah atau pesepakbola perempuan, rumah justru yang menjadi alasan ke mana mereka pindah klub, atau bertahan di klub lama karena tinggal bersama orang tua.
Sumber: FT