Timnas Jepang memang merupakan salah satu yang terbaik di Asia. Sepakbola Jepang melalui proses yang sangat panjang hingga bisa seperti sekarang ini. Termasuk bagaimana Federasi Sepakbola Jepang, mereformasi kompetisi di negara mereka yang bernama J-League.
Saat J-League dibentuk pada 1993, mereka mencontoh apa yang dilakukan Amerika Serikat. Marketing lebih dikedepankan dan mengambil budaya suporter Paman Sam: Bendera, chants, ultras yang lebih bersahabat, dan maskot. Mereka berusaha meraih penonton perempuan dan menjadikan perasaan menonton di stadion sebagai pengalaman yang unik.
Tiga dekade kemudian, J-League kian berkembang. Sebelum pandemi Covid-19, rata-rata penonton di stadion mencapai 20 ribu orang. Mereka mencapai kesepakatan senilai 2,1 juta USD dengan DAZN untuk kontrak selama 12 tahun.
Akan tetapi, saat kompetisinya tengah berjalan ke arah yang lebih baik, tapi bakat-bakat terbaik Jepang justru keluar dari sana.
Saat Jepang menjadi tuan rumah Piala Dunia pada 2002, cuma empat pemain dari skuad mereka yang main di luar negeri. Mereka adalah Junichi Inamoto di Arsenal, Hidetoshi Nakata di Parma, Yoshikatsu Kawaguchi di Portsmouth, dan Shinji Ono di Feyenoord.
Sementara itu, di Piala Dunia 2022, 19 dari total 26 pemain justru main di luar negeri. Angka ini bisa bertambah menjadi 21 kalau Kyogo Furuhashi dari Celtic dipanggil, dan bek Huddersfield, Yuta Nakayama, tidak cedera.
Namun, ekspor pemain berbakat Jepang ke Eropa tidak disesali oleh J-League maupun para suporter Jepang. Mereka justru bangga bisa “menciptakan” pemain yang tampil di Eropa.
Dan Orlowitz dari Japan Times, bilang kalau jumlah pemain Jepang yang main di Eropa ini sebenarnya tidak terlalu spesial. Soalnya, hal ini memang sudah diprediksikan.
“Alberto Zaccheroni masuk sebagai pelatih kepala pada 2010 dan pesannya adalah ‘Pergi ke Barat.”
Rute yang umumnya diambil adalah dengan menjajal Belgia atau Jerman. Di skuad Jepang saat ini, delapan di antaranya main di dua negara tersebut, termasuk sang kapten, Maya Yoshida dan Daichi Kamada.
Uniknya, Jepang satu grup dengan Jerman di Piala Dunia 2022 ini. Secara mengejutkan, mereka mengalahkan skuad arahan Hansi Flick tersebut. Langkah Jepang bahkan terus berlanjut hingga babak 16 besar. Mereka kalah terhormat dari Kroasia lewat adu tendangan penalti.
Soal para pemain muda Jepang, Andres Iniesta pernah bersaksi. Gelandang Vissel Kobe ini menyebut kalau para pemain muda Jepang punya kemampuan. “Menurutku, mereka itu dinamis, berbakat, dan kuat secara fisik,” terang Iniesta.
Jepang berada satu grup bersama Spanyol dan Kostarika. Spanyol sendiri merupakan tempat berkarier Takefusa Kubo yang pernah berlatih bersama Barcelona, bermain untuk Real Madrid, dan kini direkrut Real Sociedad. Sementara itu, Takehiro Tomiyasu, Kauro Mitoma, dan Takumi Minamino, pernah merasakan ketatnya persaingan Premier League.
Menurut Orlowitz, di masa ini, Jepang punya pool yang paling dalam. Mereka bisa memenangi segalanya kalau dilatih dengan tepat.
“Di sana ada skuad kelas dunia di semua posisi dan bakatnya di sana,” kata Orlowitz.
Lingkungan Kelas Dunia
Pada era sebelumnya, pemain Jepang yang pindah ke luar negeri biasanya dilakukan saat usia mereka sudah matang. Misalnya pada usia 25 atau 26 tahun. Mereka harus bermain bagus dulu di J-League serta dipanggil oleh timnas. Sebagian lagi memilih belajar di universitas sebelum akhirnya fokus di sepakbola.
Kini kesebelasan Eropa mulai sadar bagusnya bakat para pemain Jepang. Sehingga mereka mulai mencari para pemain Jepang di usia yang lebih muda.
Hal ini juga disadari oleh J-League yang punya program “2030 Football Vision”. Tujuannya adalah menciptakan lingkungan sepakbola kelas dunia. Proyek ini termasuk di dalamnya adalah “Project DNA” yang bertujuan membantu klub dalam mengembangkan pemain dan pelatih top.
Penasihat Teknik Yokohama FC, Richard Allen, bilang kalau hijrahnya bakat Jepang ke Eropa bagai dua sisi pedang. Sepakbola Jepang ingin para pemain terbaiknya main di Eropa, tapi dampaknya terasa di liga.
Allen, yang pernah bekerja sebagai Kepala Identifikasi Bakat FA serta Kepala Rekrutemen Tottenham Hotspur, ingin memfasilitasi peluang bagi pemain muda untuk menguji diri mereka melawan tim kelas dunia. Ini harus dilakukan agar para pemain bisa mengembangkan pengalaman dan juga sorotan.
Namun, J-League juga melakukan yang terbaik agar liga mereka jadi patokan di Asia. Lewat marketing, mereka menyebarkan kalau J-League adalah “Premier League of Asia”. J-League menjadi populer di sejumlah negara seperti Thailand. Hal ini bikin pelatih asing juga tak ragu untuk menangani klub J-League.
Selain itu, sejumlah pesepakbola veteran macam Iniesta, Fernando Torres, dan David Villa, turut meramaikan J-League. Namun, hubungan Jepang dengan Brasil memang tak tergantikan dengan 56 pemain berkebangsaan Brasil yang hadir musim lalu.
Berubah dari Liga Antar Perusahaan
Berdasarkan buku “Japanese Rules” karya Sebastian Moffett, ada kisah ketika Zico tiba di Kahsima Antlers pada awal 1990-an, ia menghardik rekan setim mereka. Soalnya, mereka masih bisa tertawa usai mengalami kekalahan. Ia bahkan meminta penerjemahnya untuk ikut berteriak apa yang ia katakan.
Secara tradisional, sepakbola Jepang yang berkembang dari liga antar-perusahaan, dianggap kurang secara persaingan. Para pemain seolah hanya bermain bola tanpa emosi. Namun, hal tersebut perlahan berubah.
Jurnalis Jepang, Masatoshi Mori, bilang kalau publik Jepang tak melihat sepakbola sebagai pertarungan. Mereka menganggapnya hanya sebagai olahraga.
“Secara teknik kami bagus. Pada olahraga apapun, kamilah penemunya, penemu strategi baru. Namun, sepakbola sedikit terlalu sulit untuk melakukannya soalnya sudah berkembang dan mengglobal,” kata Mori.
Mori pun menyoroti dua pemain Jepang yang main di Premier League, Tomiyasu di Arsenal dan Mitoma di Brighton. Ia terkesan dengan kedua pemain tersebut karena bisa mengatasi tuntutan fisik yang besar di Premier League.
“Tomiyasu sangatlah penting. Dia adalah pemain terbaik saat ini. Dia bermain di bek kanan atau bek kiri untuk Arsenal, tapi main di tengah untuk Jepang,” kata Mori.
“Secara fisik dia lebih kuat, dia lebih cepat. Aku belum pernah melihat pemain jepang yang menunjukkan kehadiran fisik seperti itu di Premier League.”
Namun, Mori menyoroti kurangnya Jepang memiliki penyerang tengah sebagai sumber gol utama. Ia berharap Mitoma akan menunjukkan kehebatannya di Piala Dunia ini. Apalagi, Jepang main dengan 4-2-3-1 di mana Kubo main di kiri dan Ito di kanan.
Kekhawatiran Mori ternyata terbukti. Di Piala Dunia 2022, Jepang memang mencetak enam gol hingga babak 16 besar. Dari enam gol tersebut, cuma dua yang dicetak penyerang tengah, Daizen Maeda dan Takuma Asano. Sisanya berasal dari lini tengah.
Menjadi wajar kalau ide mencari penyerang tengah yang kini dikedepankan oleh anime “Blue Lock”. Karena untuk posisi lain, Jepang bisa menyesuaikan, bahkan bersaing dengan negara lain, termasuk di pos bek tengah.
Sumber: BBC.