Fantasista ala Inggris: Mencari ‘Sutra’ di Antara Lautan ‘Baja’

Sebagai mantan penggemar fanatik Liga Serie A akhir 1990-an, saya tentu mengingat jelas siapa yang selalu menjadi perhatian sepanjang pertandingan. Kebanyakan bernomor punggung 10. Biasanya, pemain bernomor punggung 10 seringkali terlihat berada di belakang dua penyerang. Itulah yang paling saya ingat.

Semenjak gemerlap pesona Liga Inggris yang semakin sulit untuk ditolak, akhirnya saya pun menonton penampilan beberapa kesebelasan Liga Inggris di televisi, yang pada akhirnya melepaskan cap saya sebagai fanboy Serie-A.

Sejak dulu hingga kini, satu yang saya ingat, bahwa permainan Liga Inggris, terutama Premier League sudah banyak berubah. Dimulai dari tekel-tekel horor yang dulu menghiasi pertandingan, kini sudah berkurang jauh.

Operan-operan panjang yang dikirim dari fulbek ke penyerang jangkung, gelandang sayap yang berlari kencang hingga pojok sebelum mengirimkan umpan silang, kini berkurang dan tergantikan. Liga Inggris dihiasi permainan dari kaki ke kaki, lalu para gelandang sayap mulai masuk dan memotong arah lari menuju kotak penalti.

Satu yang agaknya masih sama yakni saya jarang melihat gelandang meliuk-liukkan bola, dan berkreasi, menyihir penonton yang menyaksikan. Kalaupun ada, pastilah pemain tersebut bukan orang Inggris!

Orang Italia menyebut pemain yang saya maksud dengan istilah Fantasista. Istilah ini bukanlah peran dalam sebuah formasi, meskipun namanya terdengar agak sama dengan Trequartista (yang berarti tiga perempat dalam bahasa Italia) dan lazim bertugas di belakang penyerang dalam formasi dua striker.

Fantasista adalah label yang diberikan kepada pemain yang memiliki skill di atas rata-rata, memiliki kreatifitas, dan tentunya kecerdasan untuk mengelabui lawan. Menariknya, seorang fantasista memiliki peran sebagai trequartista karena kelihaian menggocek bola, mengumpan, sekaligus mencetak gol.

Dalam permainan kick n’rush, sebuah tim dituntut untuk rigid dalam menjalankan perannya di lapangan. Apalagi dengan filosofi permainan Inggris yang keras, banyak bermain dengan bola (menggiring) adalah jalan menuju kematian.

Anda bisa saja ditebas dari belakang atau tiba-tiba mendapat tekel horor seperti yang dilakukan Roy Keane terhadap Alf Inge Haaland. Tapi menariknya, Inggris justru memiliki tipe fantasistanya sendiri.

Nama-nama seperti Glen Hoddle dan Matt Le Tissier adalah contoh fantasista. Le Tissier bahkan terkenal sebagai pemain yang sering malas-malasan, gemar memakan burger McDonalds saat di ruang ganti, kemudian bisa mencetak gol spektakuler bagi Southampton dan berakhir sebagai legenda hidup The Saints.

Inggris memang berbeda jauh kulturnya dengan negara tetangganya yang dipisahkan oleh wilayah perairan. Italia, Prancis, Spanyol, adalah penghasil fantasista hebat. Bahkan kita bisa melihat bagaimana pemain-pemain dari negara tersebut seolah tak habis-habisnya dengan pesepakbola dengan tipikal fantasista. Budaya nomor punggung ‘10’ bagi seorang pemain fantasista di Inggris pun seolah jarang kita jumpai. Kebanyakan pengguna nomor pungung ‘10’ di Inggris adalah seorang penyerang murni.

Terlahir sebagai ‘Baja’ bukan ‘Sutra’

Sedikit menarik ke awal abad ke-19. Daratan Britania terkenal sebagai moyang negara industri. Penduduknya sebagian besar bekerja sebagai buruh pabrik atau pekerja industri sejak lama. Hal yang membuat pemahaman mereka berbeda tentunya, bahkan ketika bermain sepakbola.

Seperti bekerja di pabrik, definisi kerja keras adalah agresif, banyak berlari, banyak melakukan tekel, bukan menari-nari dengan bola. Maka tak heran, pemain Inggris terutama gelandangnya, cenderung bertipikal keras, bukan stylish. Semua ini bukannya tanpa hasil. Klub-klub Inggris sempat merajai Eropa di era 1960 hingga 1970-an. Begitupun dengan timnasnya yang sempat menggondol trofi Jules Rimet di 1966.

Lalu bagaimana dengan golongan menengah, bukan kelas pekerja? Mereka biasanya bermain untuk kesenangan, hingga akhirnya lebih memutuskan untuk melanjutkan ke pendidikan formal. Hingga yang tersisa kebanyakan adalah pemain dengan tipikal ‘pekerja keras’ yang membentuk kultur sepakbola Inggris itu sendiri. Kesimpulannya, Inggris terus menerus menghasilkan ‘baja’ yang kuat, tangguh, bukan kain sutra yang indah, meskipun kuat.

Adakah harapan untuk kelahiran generasi baru fantasista asal Inggris?

Sejak banyaknya kemunculan manajer asing yang berdampak terhadap permainan di liga, tentulah kebutuhan pemain yang masuk dalam kategori ini diisi oleh pemain-pemain asing. Yang ironisnya masih berlangsung hingga saat ini.

Bisa dikatakan hampir seluruh fantasista yang menjadi tulang punggung tim di Premier League adalah pemain luar Inggris. Sedikit contoh, Manchester City dengan Kevin De Bruyne-nya, Chelsea dengan Eden Hazard-nya, Manchester United dengan Paul Pogba-nya, Arsenal dengan Mesut Oezil-nya, atau West Ham dengan Manuel Lanzini-nya. Mungkin satu nama yang patut dinantikan adalah sosok Dele Alli di Totenham Hotspur.

Klub-klub liga Inggris kini mungkin mencoba untuk ‘mengembangkan’ fantasista-nya sendiri. Bila menggali lebih jauh, tim-tim development atau U23 disana banyak bertaburan calon-calon fantasista, terutama klub-klub yang memiliki gaya bermain menyerang.

Dalam kurun sedekade terakhir, bermunculan tipikal pemain yang berskil tinggi, pun dengan kecepatan dan tekniknya. Sayang, yang Inggris hasilkan malah pemain-pemain yang berteknik tinggi namun rentan cedera. Anda bisa menyebut nama Theo Walcott, Alex Oxclade-Chamberlain, Daniel Sturridge, bahkan Wayne Rooney. Nama-nama tersebut memiliki catatan cedera lebih dari 30 kali sejak 2010 silam.

Kelakuan buruk dari calon-calon fantasista ini juga menarik untuk sedikit dibahas. Misalnya bagaimana seorang Ravel Morisson, yang digadang-gadang calon fantasista yakni memiliki skill mumpuni dan kemudian berseteru dengan Sir Alex, dibuang ke West Ham dan kembali berseteru dengan Sam Allardyce, kemudian pindah ke Italia bersama Lazio dan kini hijrah ke liga Meksiko bersama Club Atlas. Saat ini nama seperti Callum Hudson-Odoi, Izzy Brown di Chelsea atau Phil Foden bersama Manchester City digadang-gadang menjadi penerus generasi emas fantasista Inggris sepeninggal era Le Tissier dkk.

Permasalahannya kini adalah, dapatkah mereka mengembangkan pemain pemain tersebut untuk menjadi generasi baru fantasista Inggris sepeningggal era emasnya 2 dekade lalu? Ditambah, bergelimangnya pundi-pundi poundstering yang dimiliki klub-klub Premier League membuat alasan untuk mengimpor pemain skil tinggi dari negara lain semakin besar.

 

Terinspirasi dari tulisan Stuart Horsefield di thosefootballtimes