Barcelona, dari klub yang selalu tergantung dari kerelaan para suporter ‘menyumbang uang’ demi klub, sempat hampir jatuh ke jurang kebangkrutan di saat klub-klub papan atas mulai melihat potensi pasar terkini, bangkit secara perlahan dan berlari mengejar kesuksesan dan kini (kembali) diintai kebangkrutan. Hanya ada segenggam opsi untuk menyulam kesuksesan, atau tergilas oleh persaingan sepakbola modern.
Terlepas dari fanatisme masing-masing alias menilai dengan adil dan seksama, rasa-rasanya para pencinta sepakbola akan akur mengakui jika Blaugrana salah satu kekuatan besar di dunia si kulit bundar. Barcelona memiliki nama besar dan reputasi mentereng serta jaminan kemenangan bagi pencinta judi atau pencari kepuasan sesaat. Sebuah kesuksesan yang tidak pernah dipikirkan oleh para cules kala dicekoki kebijakan-kebijakan ‘spektakuler’ Joan Gaspart di era medioker.
Suka atau tidak, apa yang dibuka pertama kali oleh almarhum Johan Cruyff, ditanam ulang Joan Laporta serta dipanen tangan dingin Josep Guardiola ini seakan menjadi kestagnanan yang wajib hadir. Ini lah yang coba diberikan para direksi saat ini di bawah pimpinan Josep Maria Bartomeu (atau lebih tepatnya sejak Sandro Rosell didaulat sebagai presiden), sebuah harapan bahwa era keemasan Azulgrana masih ada dan akan tetap hadir di Camp Nou.
Dalam sebuah laporan yang diterbitkan oleh Swiss Rumble beberapa hari silam, diketahui jika Barcelona memegang sebuah rekor di antara klub-klub papan atas Eropa. Tentu saja ini membanggakan bagi para suporter. Namun kebanggaan itu bakal sedikit berkurang (atau kian bertambah, tergantung apakah seeing the half empty glass atau half full glass) andai diketahui bahwa rekornya ialah sebagai klub dengan pembayaran gaji tertinggi. Kata gaji di sini dan di kalimat-kalimat berikutnya mengacu pada gaji pokok serta bonus-bonus lainnya.
Pada laporan tersebut disebutkan jika angka pembayaran gaji para pemain Barca mengalami peningkatan 43 persen. Itu hampir setengah dari yang dibayarkan di 2017, dari 340 miliar euro atau setara Rp 5,6 triliun menjadi Rp 8 triliun atau 487 juta euro. Sebuah kenaikan sebesar Rp2,4 triliun atau 147 juta euro. Angka-angka yang penulis pribadi tidak akan mungkin bisa dapatkan meski bekerja tanpa istirahat, setiap hari, seumur hidup. Namun mudah-mudahan bisa dicapai oleh para pembaca yang budiman. Amiin.
Mungkin akan ada alasan jika tingginya angka pembayaran gaji ini hasil imbas dari kesuksesan dalam meraih trofi bergengsi. Pertanyaannya apakah gelar Liga Spanyol lebih bergengsi dari Liga Champions? Pasalnya Real Madrid saja hanya memiliki angka Rp 6,5 triliun atau lebih rendah sekitar Rp1,5 triliun. Walau di musim ini Los Blancos sempat tertatih-tatih di pentas Liga Spanyol (dan begitu pun dengan Barcelona), tapi El Real mampu meraih kesuksesan di panggung Eropa, tiga musim beruntun!
Dibandingkan dengan klub-klub papan atas (dan papan yang ‘hampir atas klasemen’) di Eropa, perbedaannya sangat tinggi. Manchester City yang saat ini sedang dituduh pernah main mata dengan UEFA kala Michel Platini masih menjadi presiden dan Gianni Infantino sebagai wakilnya dan mendapatkan bantuan dari Pemerintah Qatar seperti yang dituduhkan kepada Paris Saint-Germain, hanya mengeluarkan 296 miliar atau setara dengan Rp4,8 triliun. Padahal tanpa gaji setinggi bintang di langit, The Citizen masih tidak terkalahkan di pentas Liga Inggris musim ini dan sempat demikian di musim lalu. Begitu pula jika dibandingkan dengan Juventus yang mengincar Scudetto kedelapan (Rp4,2 triliun), atau Chelsea (Rp4,2 triliun) dan Liverpool (Rp3,9 triliun) yang sama-sama belum terkalahkan di Liga Inggris.
Dengan perbandingan di atas, jangan coba-coba bandingkan pengeluaran Barcelona untuk gaji dengan klub-klub Liga Spanyol lain, selain Real Madrid. Real Betis yang pernah mempermalukan anak-anak Katalunya di Camp Nou, hanya menggelontorkan uang sebesar Rp725 miliar. Leganes? Anak asuh Mauricio Pellegrino hanya digaji Rp214 miliar, angka terkecil kedua setelah ‘sepupu Manchester City’ Girona (Rp148 miliar).
Half Empty, Half Full Glass
Bagi para optimis, angka tersebut merupakan konsekuensi yang harus dibayar Barcelona untuk menjadi klub papan atas di Spanyol dan Eropa. Uang yang harus dikeluarkan agar pemain-pemain terbaik mampu tampil ciamik di atas lapangan dan mengangkat trofi di akhir musim.
Tidak terbantahkan jika Lionel Messi, Luis Suarez, Philippe Coutinho, Ousmane Dembele, Ivan Rakitic, Gerard Pique, Sergio Busquets dan lainnya harus mendapatkan ketenangan dalam urusan finansial agar bisa fokus sepenuhnya di atas lapangan. Kasarnya, apa yang mereka berikan di atas rumput (wajib) setara dengan transferan gaji. Jika tidak, maka untuk apa digaji tinggi dan membela klub sebesar Barcelona, kan?
Tanpa menengok prestasi di musim-musim terakhir dan rangkaian hasil akhir laga-laga musim ini, rasanya angka gaji yang tinggi bisa menjadi bom waktu yang siap meledak. Bom ini diyakini bermula dari kepergian Neymar ke Paris Saint-Germain dengan mahar sebesar 222 juta euro sehingga para petinggi Barca mendapatkan ‘uang panas’ untuk memasukkan Dembele dan Coutinho ke dalam daftar 10 transfer tertinggi sepanjang sejarah. Dua pemain ini pun mendapatkan gaji di atas Rp4 miliar per pekannya.
Andai melihat raihan piala di musim-musim terakhir pun angka gaji ini masih menakutkan. Pemasukkan kotor (di luar transfer) tahun lalu Barcelona masih di bawah Manchester United dan Real Madrid dengan gross revenue sebesar Rp11,6 triliun. Harus diakui jika pendapatan kotor ini diperkirakan akan naik terus tiap musimnya, tapi begitu pula dengan besaran gaji dan pendapatan tersebut secara tidak langsung berkaitan dengan prestasi di atas lapangan.
Artinya, Josep Maria Bartomeu terlalu berharap dengan raihan trofi di akhir musim untuk menjual nama Barcelona ke calon sponsor potensial dan raihan trofi ini bergantung sepenuhnya pada para pemain, yang harus dibayar mahal. Ini lah logika yang dipegang oleh Blaugrana. Sebuah lingkaran setan.
“Jika kami ingin meraih kesuksesan besar dan jika ingin memiliki klub yang bisa berkelanjutan, maka kami membutuhkan uang sebesar Rp16 triliun di 2020,” kata Bartomeu, seperti dikutip dari Fortune.
Salah atau Tidak, Tergantung Persepsi
Tidak ada yang salah dengan target yang dituju oleh Josep Maria Bartomeu. Jika dilihat dari transfer keluar di pertengahan dan akhir musim lalu, banyak pemain yang jarang dipakai hengkang, baik dijual atau dipinjamkan. Secara teori pengurangan skuat non akademi ini mengurangi beban gaji tapi pada kenyataannya, yah sudah kita bahas di atas.
Untuk diketahui, gaji Ousmane Dembele berada di angka Rp4,1 miliar per pekannya dan Philippe Coutinho ditransfer Rp4,4 miliar per pekannya. Tidak diragukan lagi kemampuan dua pemain mahal ini, tapi dengan seiring berjalannya waktu maka perpanjangan kontrak (pada umumnya) disertai kenaikan gaji. Tidak mustahil salah satu atau mungkin keduanya bakal digaji setinggi seperti yang didapat Lionel Messi saat ini.
Persoalan gaji ini susah susah gampang sebab terkait dengan kebijakan transfer. Dengan mempertimbangkan tidak akan ada mega transfer di kemudian hari, maka pembayaran gaji pun tidak akan membengkak. Logikanya transfer yang tinggi disertai juga gaji (dan bonus) yang tinggi.
Namun dengan gencarnya marketing Liga Spanyol pada umumnya dan FC Barcelona secara spesifik, hak siar yang kian menggila dan ancaman Liga Super sehingga UEFA harus jor-joran di Liga Champions dan Liga Europa, maka klub diyakini bakal berani menggaji tinggi seorang pesepak bola. Singkatnya, dunia sepak bola memang sudah menjadi industri yang penuh dengan resiko bisnis. Kans untuk gagal selalu ada tapi tanpa keberanian mengambil resiko maka klub akan jalan di tempat.