Sepakbola adalah contoh dari bentuk hal yang paling indah. Di setiap era, olahraga dengan jumlah peminat terbesar di dunia itupun selalu memunculkan banyak cerita, dan dewasa ini, sebuah era baru telah tercipta. Di mana, uang memainkan sejumlah peran penting dalam kesuksesan sebuah klub, yang salah satunya datang dari sektor transfer pemain.
Sejak diperkenalkannya sistem bursa transfer pemain pada 2002, klub-klub sepakbola mulai gencar dalam pencarian dan pembelian pemain di setiap musimnya. Sejumlah pembelian pemain bintang pun marak terjadi sejak saat itu. Kekecewaan dan kegembiraan pun kerap menyelimuti para fans yang melihat pemain kesayangannya datang atau pergi dari klubnya. Dan setiap klub dengan finansial yang baik, biasanya akan jorjoran dalam membeli pemain dengan harga yang mahal.
Itu terjadi pada klub-klub besar seperti Real Madrid, Barcelona, Chelsea dan Manchester City dalam beberapa dekade kebelakang. Tapi, jika menilik beberapa musim terakhir, PSG justru datang menjadi klub yang paling banyak belanja pemain dengan jumlah transfer yang terbilang boros. Maka dari itu, kebijakan transfer pemain, yang khususnya ada di benua Eropa, telah menerapkan sistem FFP atau Financial Fair Play kepada setiap klub yang melakukan aktifitas di bursa transfer pemain.
Apa itu FFP?
FFP adalah suatu kebijakan yang diterapkan Michael Platini dengan susah payah pada 2011. Singkatnya, kebijakan ini bertujuan untuk membatasi klub-klub dalam hal belanja pemain dan usaha untuk menyehatkan keuangan klub-klub sepakbola di Eropa. Beberapa klub besar di Eropa pun sudah ada yang terkena kebijakan tersebut karena kasus pembelian pemain yang tidak menyehatkan finansial klub.
Barcelona dan Real Madrid sudah pernah di hukum untuk tidak boleh melakukan aktifitas apapun di bursa transfer karena terkena kasus kebijakan FFP tersebut. Pun dengan Atletico Madrid yang mendapati kasus yang sama, harus menahan keinginannya untuk mendatangkan pemain baru di musim panas lalu.
Namun, klub berlabel kaya terus mengelurkan dana yang berlimpah demi mendatangkan pemain bintang untuk memperkuat skuatnya, karena merasa jika finansial mereka tetap sehat. Hal itulah yang membuat PSG tidak terpengaruh oleh kebijakan FFP ketika memboyong Neymar musim panas lalu.
PSG sendiri melontarkan dana hingga 222 juta euro guna menebus buy out clause milik pemain bintang Brazil itu dari Barcelona dan membawanya ke Stadion Parc des Princes. Sebagaimana aturan buy-out clause, biaya penebusan transfernya memang tidak langsung terjadi di antara pihak klub penjual dan pihak klub pembeli, namun, harus melibatkan pihak federasi, dalam hal ini La Liga.
Meski pada awalnya sempat terjadi penolakan, sang pemain sendiri langsung turun tangan agar ia tak lagi terikat dengan kontrak klubnya, yang artinya juga dengan La Liga, dalam hal membayar klausul pembelian. Karena itulah Barcelona sendiri sempat menyerahkan masalah ini pada UEFA.
Tapi, kepergian Neymar ke PSG sama halnya seperti kasus Herrera ke Manchester United pada 2014. Meski kasusnya agak berbeda karena pihak klub-lah yang menolak untuk menjual sang pemain, namun pada akhirnya Herrera bisa bergabung dengan United setelah ia membayar klausul pembelian kontraknya seharga 36 juta euro.
Melihat hal terebut, sebenarnya pembelian Neymar akan berdampak besar pada keuangan PSG. Mereka harus mulai berhitung dari sektor pendapatan klub agar bisa terhindar dari Financial Fair Play. Dan dikabarkan UEFA pun sedang memeriksa apa saja yang terjadi di dalam proses pembelian Neymar.
Hukuman berat menanti PSG jika melanggar kembali kebijakaN FFP. Karena pada 2014 PSG bersama Manchester City didenda 20 juta euro plus pembatasan pendaftaran pemain untuk skuat Liga Champions yang sebelumnya 25 pemain menjadi 21 pemain saja. Meskipun musim lalu, PSG memang mendapatkan pendapatan yang lebih signifikan dibanding musim-musim sebelumnya, tapi jika melihat lagi pembelian Neymar, tampaknya tetap akan membuat PSG langsung mengalami kerugian besar.
Overpriced
Hal yang sama pun dilakukan klub kaya lainnya, Manchester City, pada bursa transfer musim panas lalu. Rival sekota Manchester United itu menggelontorkan dana hingga 203,7 juta paun demi memboyong lima pemain baru, Benjamin Mendy (49,2 juta paun), Danilo (25,5 juta paun), Kyle Walker (50 juta paun), Ederson (35 juta paun) dan Bernardo Silva (43 juta paun). Pembilan Walker dan Mendy sontak langsung membuat kedua pemain baru milik City tersebut berlabel sebagai bek termahal di dunia. Dan harga yang telah dikeluarkan City juga langsung membuat harga pasar pemain menjadi tidak teratur.
Jika melihat jauh kebelakang, mungkin akan sangat pantas label harga 50 juta paun itu melekat pada Paulo Maldini ataupun Nesta, yang sempat menjadi duet bek terbaik dunia milik AC Milan di era 2000-an.
Meski dengan statistiknya, Mendy mungkin tampil apik musim lalu dengan catatan 1,9 tekel dan 34,2 operan per laga. Namun, melihat Mendy yang saat ini menjadi bek termahal dunia, akan terasa amat sulit untuk ditermia para pecinta sepakbola.
Manchester City hanyalah salah satu klub yang menjadi contoh sebuah klub kaya yang menggelontorkan dana dengan jumlah besar hanya untuk mendatangkan pemain berkelas demi mengisi skuatnya.
Tapi, jika memprediksikan beberapa tahun kedepan, cara seperti apa yang City lakukan mungkin akan banyak terjadi. Era sepakbola akan mengalami penurunan kualitas karena segelontoran uang yang mulai menguasai segala sektor yang ada di dalam ‘seni’ sepakbolanya itu sendiri.
Hal seperti itulah yang dicermati oleh UEFA secara langsung, dalam upaya pencegahan perihal label harga pemain tinggi di bursa transfer musim panas. Presiden UEFA sendiri, Aleksander Ceferin, menekankan pada publik sepakbola Eropa bahwa organisasi yang dipimpinnya itu akan mencoba untuk mengambil langkah baru guna menyiasati makin mendominasinya klub-klub besar dalam bursa transfer.
Salah satu tujuan yang akan diterapkan adalah adanya penetapan semacam ‘pajak pemain yang mewah’ bagi tim-tim kaya di Eropa. Upaya tersebut diungkapkan Ceferin dalam sebuah konferensi di Lisbon, Portugal, menanggapi perlunya pembatasan dominasi klub-klub besar demi melindungi seluruh komponen dan kesenian sepakbola di benua biru itu. Ceferin pun siap meluncurkan sejumlah aturan baru ke depannya.
Salah satu fokus pembenahannya adalah soal klub-klub medioker di Eropa yang sangat keberatan dengan kebiasaan klub besar dalam memboyong bakat-bakat muda terbaik milik mereka. Namun, kemudian, justru klub yang membeli pemain belia itu hanya meminjamkannya ke tim lain, sama seperti apa yang Chelsea lakukan dalam beberapa musim kebelakang.
“Konsentrasi ekstra kami akan menyoroti bakat-bakat muda yang justru seolah gagal menemukan karier cemerlang di klub besar, akibat praktik peminjaman. UEFA memiliki kewajiban untuk melindungi seluruh komponen sepakbola dan bukan hanya elite,” tutur Ceferin dilansir Fox Sports News Asia.
“Kami perlu menilai apakah bursa transfer hal terbaik yang bisa dilakukan. Kami tak perlu takut untuk menyentuhnya. Kami harus memeriksa mekanisme baru seperti pajak ‘barang’ mewah dan kriteria olahraga, khususnya seperti keterbatasan skuat atau aturan pengalihan jumlah pemain yang setara, untuk menghindari penimbunan pemain,” ujarnya.
Meskipun Caferin tidak memberikan penjelasan secara rinci tentang bagaimana ia akan melaksanakan mekanisme itu, pria berkebangsaan Slovenia itu mengatakan bahwa UEFA bisa bekerja sama dengan FIFA untuk mengubah aturan di bursa transfer.
Menerka hal di atas, menurut Anda, apakah bursa transfer akan menjadi hal yang tetap dinantikan para pecinta sepakbola?