Rasa lega hampir memenuhi seluruh hati pendukung AC Milan pada musim panas tahun lalu. Yaitu ketika Silvio Berlusconi menyerahkan Milan yang dipimpinnya selama tiga dekade kepada Yonghong Li.
Kemudian uang sekitar 200 juta euro telah dibelanjakan pemain-pemain baru. Satu demi satu, wajah baru itu berjabat tangan dengan Marco Fassone, CEO Milan, dan Massimiliano Mirabelli, Direktur Olahraga.
Rupanya, gelontoran dana itu merupakan pinjaman berbunga tinggi kepada Elliot Management. Seiring berjalannya waktu, nasib Milan bersama Li semakin jelas karena harus mengembalikan pinjamannya kepada Elliot Management.
Sampai pada akhirnya Milan menemukan diri di dalam posisi yang sulit di bawah Li. Kesebelasan itu telah mencapai kepada sebuah titik yang di mana tidak bisa berpura-pura semuanya baik-baik saja.
Kedok kepala itu sudah tidak berfungsi lagi karena terkejut dan dikecewakan oleh putusan UEFA. Federasi Sepakbola Eropa itu menolak mengakhiri masalah Financial Fair Play (FFP) yang dialami Milan.
Badan Pengendalian Keuangan UEFA memilih untuk merajuk Milan ke dewan peradilan. Kesebelasan itu pun masuk ke dalam investigasi karena telah melanggar aturan FFP. Imbas dari tidak ada kepastian dari pengembalian pinjaman uang kepada Elliott Management.
Tentu saja investigasi itu berdampak besar. Faktanya, Gennaro Gattuso, Pelatih Milan, dipaksa menunda rencana transfer untuk sementara waktu. Sejauh ini, baru Alen Halilovic, Ivan Strinic dan Pepe Reina yang didapatkan secara gratis.
Setelah jor-joran pada musim lalu, saat ini selamat datang ke pada Milan era mengumpulkan produk-produk muda dari akademi, pinjaman dan menerima pemain gratisan. Kemudian masa depan kesebelasan berjuluk I Rossoneri pun dipertanyakan.
Termasuk pengecualian dari Liga Eropa 2018/2019. Di balik itu, akhirnya banyak yang pecaya bahwa Li tidak memiliki kekuatan finansial yang dibutuhkan untuk proyek masa depan. Artinya, ia tidak punya uang untuk menjaga Milan agar tetap sehat dan stabil secara finansial.
Pada titik itulah sebagian besar pendukung Milan akan setuju bahwa adanya pemilik baru (lagi) akan menjadi yang terbaik bagi masa depan klub tersebut. Sementara para pemain andalannya akan bertanya-tanya, apakah bisa menuju tempat yang lebih tinggi lagi?
Jelas ini adalah tamparan bagi Leonardo Bonucci dkk., serta para pendukungnya. Skenario terburuk yang menghambat pertumbuhan mereka dalam skema yang lebih besar.
FFP AC Milan adalah Pembelajaran Kesebelasan Serie-A Lainnya
Banyak yang mewajarkan peraturan-peraturan FFP yang berlaku sejak sekitar 2010-an. Rangkaian aturan itu menggali jauh ke dalam kewajiban keuangan yang harus dipatuhi sebuah klub.
Mewajibkan setiap klub menjaga buku keuangannya secara seimbang dan wajib memenuhi semua komitmen transfer pemainnya. Lebih lanjut, salah satu tujuan FFP tidak hanya menempatkan pembatasan pengeluaran tertentu yang terkait dengan pendapatan yang dihasilkan. Juga mencegah klub berinvestasi secara berlebihan di luar kemampuan keuangan mereka sendiri.
Hal itu membantu agar permainan di lapangan terjaga pula. AS Roma dan Internazionale Milan adalah dua klub sepakbola Italia pertama yang berbenturan dengan aturan FFP. Keduanya pun akhir-akhir ini lebih teratur berbelanja untuk menghindari sanksi dari UEFA.
Begitu pun dengan kesebelasan-kesebelasan besar dari liga lain seperti Barcelona, Manchester City, Paris Saint-Germain PSG) dan Real Madrid yang terus menyeimbangkan buku-buku keuangannya melalui penjualan pemain.
Di Italia, mesti lebih berhati-hati karena tidak berpenghasilan sama seperti liga top lainnya. Tidak seperti Liga Primer Inggris yang paling populer di dunia. Kecenderungan perbelanjaan pada liga itu bisa lebih dirasionalisasi berdasarkan tingginya aliran pendapatannya.
Maka dari itulah bahwa kesebelasan-kesebelasan dari Italia harus terus berjuang setiap tahun untuk tetap berada di dalam aturan FFP. Salah satu caranya menjual pemain-pemain topnya untuk mewujudkan tetap berada di aturan tersebut.
Pengecualian bagi Juventus yang selangkah lebih mandiri karena punya stadion sendiri sehingga menyehatkan anggaran klubnya. Berbeda dengan kesebelasan Italia lainnya yang harus terus bertempur bersama FFP.
Milan pun menjadi salah satu contoh nyatanya saat ini. Kesalahannya sekarang adalah sang pemilik tidak objektif siap untuk menyumbat pengeluaran transfer mereka. Padahal UEFA melalui FFP sudah jelas, yaitu mencegah pengeluaran sebuah klub melebih pendapatan biaya transfer pemain.
UEFA ingin memastikan klub stabil secara finansial dan menghalangi investor melonggarkan kekayaan mereka untuk mengendalikan pasar pemain. Di sisi lain, kasus Milan ini telah menunjukan peningkatan dalam tata kelola FFP itu sendiri.
Hal itu pada akhirnya akan membuat klub-klub Italia melakukan cara agar status keuangan mereka meningkat. Agar terus bisa tampil di lapangan ditambah dengan meningkatkan pendapatan untuk meringankan tekanan kepada mereka.
Banyak orang bisa mengeluhkan aturan FFP itu tidak masuk akal dan diterapkan secara konyol. Adapula yang meragukan PSG dan Manchester United (MU) yang mampu berbelanja secara bebas.
Tapi bukan itu intinya. Hal itu karena PSG dan MU memiliki akses ke aliran pendapatan mereka yang tidak dimiliki oleh Milan. Masalahnya, mereka telah dikorbankan oleh pinjaman dana untuk meningkatkan modal.
Akan tetapi pada akhirnya gagal untuk menebus angsuran 32 juta euro dalam batas waktu yang ditentukan. Meskipun pembayaran ke Elliott Manajemen telah dilipat gandakan sehingga keruntuhan tidak bisa terelakan.
Kesebelasan yang berdiri sejak 1899 itu perlu dijual dengan untung yang lebih besar. Sementara sejauh ini, Li harus memastikan Milan sehat secara finansial dan terawat dengan cara melindungi aset-asetnya.
Li masih punya waktu untuk menjual Milan atau mendatangkan investor lain. Atau Li perlu memberikan tongkat estafetnya kepada seseorang yang lebih handal dalam mengelola klub. Milan layak mendapatkan yang lebih baik dari ini.
Meskipun menjual Milan dengan keuntungan besar dalam waktu dekat ini tidaklah mudah.
Sumber: Football-Italia