Simon Kuper, penulis buku Soccernomics pernah menjelaskan: “Football is not merely a small business, it’s also a bad one. Anyone who spends any time inside football soon discovers that just as oil is part of the oil business, stupidity is part of the football business.”
Ya, mengeluarkan uang di dalam bisnis sepakbola berisiko menyadarkan kebodohan-kebodohan yang diperbuat oleh orang yang terlibat. Bukan hanya bagian kecil saja, melainkan bagian besar alias menyadari kalau sepakbola tak melulu persoalan uang.
Mungkin, hal itu yang kemudian baru terpikirkan oleh Mike Ashley, pemilik Newcastle United sejak 2007. Sempat dipercaya sebagai juru selamat di St. James’ Park, Ashley sudah bertahun-tahun menjadi orang yang paling tidak diinginkan publik Newcastle. Celakanya, ia pun terlihat tidak ingin lagi berada di sana. Ia (mungkin) menyadari bahwa membeli Newcastle adalah sebuah kebodohan, setidaknya bagi seseorang seperti dirinya yang ingin meraup untung lebih, namun pelit mengeluarkannya.
Kali ini sudah kali ketiga bagi Ashley untuk mengumumkan penjualan klub, tepatnya pada akhir 2017. Pengumuman pertama, ia lakukan hanya setahun setelah resmi mengakuisisi saham mayoritas. Kedua kalinya, ia hendak menjual Newcastle setelah dipastikan terdegradasi pada 2009.
Ketimbang fokus untuk mendanai dan mencari investasi untuk klubnya, Ashley terkesan enggan ambil pusing. Ketika merasa Newcastle terlalu menggerogotinya, ia akan refleks: Silakan beli Newcastle.
Dan, siapa yang paling merasa terbodohi? Tentu fans Newcastle United yang menaruh banyak harapan pada sang pemilik klub.
Musim demi musim berganti, rumor penjualan Newcastle hampir mencapai titik paling riuh pada 2018 lalu. Pemberitaan akuisisi dari pengusaha Amanda Staveley tak berujung baik. Kabarnya, Ashley mematok harga yang terlampau tinggi dan berakhir kegagalan.
Terkait penjulan klub, eks Direktur sepakbola Newcastle, Dennis Wise menyebutkan bahwa Ashley hanya akan menjual kepada orang yang tepat. Orang yang bisa membuat Newcastle lebih maju.
Hingga akhirnya ada kabar mengejutkan dari sosial media beberapa hari lalu. Melalui akun twitternya, Midhat Kidwai, managing director dari Bin Zayed Group, perusahaan konglomerasi milik Sheikh Khaled Bin Zayed Al Nehayan, mengkonformasi secara sepihak bahwa mereka telah menyepakati deal Newcastle United dengan tinggal menunggu proses penyelesaian.
Familiar dengan nama tersebut? Sheikh Khaled tidak lain adalah sepupu dari Sheikh Mansour Al Nehayan, yang juga pemilik dari Manchester City dan City Football Group-nya.
Khaled sempat akan mengambil alih saham mayoritas di Liverpool pada 2016 melalui sebuah konsorsium. Hanya saja, persetujuan tersebut batal karena konsorsium tersebut tidak memiliki bukti bahwa mereka memiliki uang yang diminta sebesar 2 milyar paun.
Sebelum Sheikh Khaled (calon pemilik Newcastle), sudah banyak orang kaya berdarah Asia yang dengan pongahnya mengira sepakbola adalah perkara berbelanja, tanpa berpikir bahwa ada proses yang memakan waktu dan hal-hal tak terduga. Tepat seperti yang dikatakan Kuper, bahwa sepakbola berbeda dari bisnis lainnya.
Sebelumnya, pernah ada Sheikh Abdullah Al Thani yang sempat membuat gempar karena membeli klub La Liga, Malaga CF. Ia yang juga masih lingkaran keluarga Emir Qatar terdahulu, Syeikh Hamad, yang juga berinvestasi bersama Paris Saint-Germain. Sempat membuat geger karena berbelanja secara masif dan membawa Malaga untuk kali pertama berlaga di Liga Champions, Malaga terkena krisis keuangan karena sang sheikh menghentikan pasokan dana. Di tahun ketujuh era Sheikh Abdullah, Malaga terdegradasi ke Segunda Liga.
Pun dengan sepak terjang pemilik saham mayoritas Everton, Farhad Moshiri. Pengusaha berkebangsaan Iran yang bergerak di bidang tambang dan baja. Sejak 2017 lalu, gelontoran paun diberikan untuk Everton dari kantongnya. Hasilnya, Everton tetap medioker dan masih jauh untuk mengejar performa sang saudara mudanya, Liverpool.
Yang baru-baru terjadi, bagaimana kisah tragis Fulham yang belanja jor-joran saat promosi ke Premier League musim ini di era kepemilikan pengusaha Amerika berdarah Pakistan, Shahid Khan. Miluner sukses yang bergerak di bidang manufaktur otomotif menyadari bahwa belanja pemain lebih dari 100 juta paun bukan jaminan.
Sheikh Mansour Sebagai Teladan yang Baik
Seburuk-buruknya Manchester City, klub yang selalu menjadi sasaran empuk atas kritisi uang minyak di sepakbola adalah purwarupa bagaimana seharusnya uang minyak dipergunakan. Terlepas dari kebiasaan mereka untuk melanggar (baca: mengakali) aturan Financial Fair-Play. Sheikh Mansour dalam hal ini adalah teladan yang baik untuk sang sepupu, Sheikh Khaled. Bila ukuran keberhasilan adalah soal trofi, maka Manchester City era Sheikh Mansour sudah meraih 10 major trophy.
City dan Abu Dhabi United Group pun nantinya bisa jadi teladan Newcastle dalam hal pengembangan infrastruktur klub, mulai dari akademi hingga pengembangan holding company. Belum lagi, ukuran secara bisnis ketika berbicara soal nilai jual klub yang berdampak kepada sponsorship, hak siar televisi, dll.
Untuk langkah awal, membeli saham Newcastle United tentu bukanlah sebuah kebodohan. Bila dibandingkan, profil Newcastle United lebih besar daripada Manchester City sebelum era Sheikh Mansour. Newcastle adalah kota yang memiliki tradisi sepakbola yang kuat, akademi yang baik, memiliki stadion berkapasitas lebih dari 50 ribu penonton yang kerap terisi penuh.
Pernah meraih 4 gelar First Division (divisi teratas) dan 6 Piala FA yang terakhir diraih tahun 1955 adalah “modal” yang cukup untuk mengawali semangat juara Newcastle di era Sheikh Khaled. Toh, Manchester City tak punya apa-apa selain 2 gelar First Division dan 4 Piala FA di kancah domestik sebelum diambil alih Sheikh Mansour.
Fans Newcastle diharap sabar. Pasalnya perlakuan belanja jor-joran akan terhalang oleh regulasi FFP buatan UEFA yang salah satunya dipicu oleh polah Sheikh Mansour bersama Manchester City yang mencatatkan kerugian 194 juta paun pada musim 2010/2011. Karena mereka pulalah, UEFA pada 2013 mengharuskan sebuah klub harus lolos terlebih dahulu dari persyaratan regulasi FFP sebelum berpartisipasi di kancah sepakbola eropa seperti UCL atau UEL.
Andai kan akuisisi ini terjadi, Mike Ashley akhirnya menjual kepada orang yang tepat, seperti yang ia katakan sebelumnya. Kini ia tak akan merasa bodoh-bodoh amat ketika pulang membawa 350 juta paun di dalam rekeningnya. Kini, giliran Sheikh Khaled yang harus membuktikan bahwa membeli Newcastle United bukanlah sebuah kebodohan atau penyesalan di kemudian hari. Dengan cara membuat progres yang baik dan membawa pulang trofi ke St. James’ Park tentunya.
Kabar terakhir, deal pengakuisisian ini belumlah terjadi. Kabar terakhir 29 Mei dini hari waktu Indonesia, melalui akun jurnalis Chronicle Newcastle, Mark Douglas, operator Premier League belum menerima dokumen apapun terkait akuisisi Bin Zayed Group dari Mike Ashley. Sheikh Khaled pun nantinya harus menunjukkan bahwa ia memiliki uang tersebut kepada operator liga dan Ashley.
Dan sambil menunggu, sementara Geordies bebas bermimpi kelak klubnya akan dihiasi bintang-bintang top, meraih piala, dan tentunya tak lagi dikenali sebagai fans berkostum “hitam-putih” pendukung klub dari Italia.