Garuda Select dan Kisah Pembinaan Para Pemain Muda Indonesia di Luar Negeri

Foto: Twitter PSSI

Beberapa waktu lalu, PSSI meluncurkan program baru bertajuk Garuda Select. Sebanyak 24 pemain bertalenta dengan usia rata-rata di bawah 17 tahun bertolak ke Inggris untuk menjalani serangkaian program yang digagas oleh PSSI dan Super Soccer TV tersebut. Para pemain ini nantinya akan ditempa selama kurang lebih enam bulan.

Di Negeri Pangeran Charles tersebut, timnas tidak hanya berlatih. Mereka juga akan mendalami beberapa hal seperti pendalaman ilmu Sport Science dan materi pembinaan usia muda berstandar FA. Dan yang paling krusial adalah mereka akan menjalani rangkaian pertandingan menghadapi tim profesional yang setara dengan usia mereka. Pada 24 Januari lalu, mereka sudah menghadapi Walsall FC dan menelan kekalahan 5-4.

Mantan kapten Chelsea, Dennis Wise, ditunjuk sebagai direktur dari program ini. Sementara untuk pelatih, mereka memberikan mandat kepada sosok Des Walker yang merupakan mantan pemain Nottingham Forest dan Sampdoria. Dari Indonesia, ada Gede Mahatma (Bali United U-16), Ilham Romadona (Barito Putera U-16), dan Sopian Hadi (Persija Jakarta U-16). Kabar terbaru bahkan menyebut, kalau Bima Sakti akan bergabung dengan mereka sebagai salah satu dari staf kepelatihan Garuda Select.

“Saya sudah melihat program ini dan programnya luar biasa. Saya melihat para pemain begitu enjoy mengikuti pelatihan di sana. Hal ini baru buat kami dengah harapan dapat membentuk sebuah tim yang solid secara fisik ke tahapan berikutnya,” kata salah satu alumni Primavera tersebut.

Skuat Garuda Select sendiri diisi oleh nama-nama yang sebenarnya familiar di telinga pecinta bola di Indonesia. Sebut saja si kembar Bagas dan Bagus Kahfi, pahlawan timnas U-16 di Piala AFF yaitu Ernando Ary Sutaryadi, lalu ada si cepat Supriadi, dan gelandang ulet Andre Oktaviansyah. Selain jebolan timnas U-16, beberapa pemain lain didapatkan melalui kompetisi usia muda, Elite Pro Academy.

“Saya dan teman-teman sangat menyukai program ini. Sebelum berangkat kami telah melewati seleksi di kompetisi Liga Pro dan kami juga mendapat pembekalan selama orientasi dari PSSI. Kami bertekad untuk selalu disiplin serta kerja selama di Inggris. Karena kami ingin mendapatkan ilmu dari sana. Mohon doa dan dukungan dari semua pihak agar kami lancar selama di Inggris,” kata Bagus Kahfi dalam situs resmi PSSI.

Dari Binatama ke Primavera

Program pembinaan pemain ke luar negeri seperti Garuda Select ini bukanlah yang pertama dilakukan oleh PSSI. Jauh sebelum itu, sudah banyak program-program seperti ini dilakukan. Tidak jarang anggarannya menghabiskan miliaran rupiah. Akan tetapi, program tersebut kerap tidak membawa hasil yang signifikan bagi sepakbola Indonesia secara signifikan.

Pada Oktober 1979, proyek pembinaan dimulai dengan meluncurkan PSSI Binatama. Ali Sadikin, selaku ketua umum PSSI saat itu, memilih Brasil sebagai tempat pengembangan para pemain. Banyak yang menyebut kalau dipilihnya Brasil erat dengan unsur politik karena keterkaitan dengan Timor-Timur.

Proyek ini diluncurkan karena prestasi tim nasional yang buruk pada Piala Dunia Junior 1979. Saat itu, Indonesia finis sebagai juru kunci di Grup B dengan torehan nol mencetak gol dan 16 kebobolan. Sebanyak 22 pemain berusia di bawah 19 tahun yang mayoritas mengikuti kejuaraan tersebut, dikumpulkan dan ditempa di negeri Samba. Bambang Nurdiansyah, Rully Nere, Subangkit, dan Mundari Karya, adalah beberapa nama yang kemudian tenar ketika memasuki usia matang. Sinyo Aliandoe, Soetjipto Soentoro, Sartono Anwar, dan Jopie Timisela bertindak sebagai pelatih. Ketika di Brasil, keempatnya akan berkolaborasi dengan Walter Alves.

Pada praktiknya, pembinaan ini berjalan penuh kendala. Sinyo Aliandoe batal ikut karena memilih fokus kepada Tunas Inti. Tiga pekan setelah berada di Brasil, tim pelatih justru meragukan kapasitas seorang Walter. Para pemain pun lebih sering dikritik oleh Walter karena terlalu lama ketika membawa bola. “Pemain Indonesia masih kurang bermain bola menggunakan otak,” katanya.

Tim yang tadinya diproyeksikan untuk masuk ke putaran final Piala Dunia 1982 dan Olimpiade Moskow 1980 ini dibubarkan di tengah jalan setelah serangkaian hasil buruk dan kegagalan di pra Olimpiade.

Meski gagal dengan Binatama, PSSI kembali meluncurkan proyek serupa dengan nama PSSI Garuda I dan Garuda II di era 80-an. Berbeda dengan Garuda I yang hanya melakukan pemusatan latihan di Indonesia, tim Garuda II dikirim ke Rep Ceska. Tim ini bahkan mengontrak Josef Masopust yang merupakan pemenang Ballon D’Or 1962 sebagai penasihat teknik. Olimpiade Barcelona 1992 disasar sebagai target. Namun lagi-lagi gagal untuk diraih. Jebolan Garuda II juga hanya sedikit yang eksis di sepakbola nasional. Hanya Rochy Putiray, Nil Maizar, dan Agung Setyabudi saja yang muncul ke permukaan.

Pada 1993 PSSI kembali meluncurkan proyek serupa dengan nama Primavera. Sasaran utamanya adalah para pemain U-19 dengan menyasar target lolos ke Olimpiade Atlanta 1996. Proyek ini sangat mahal karena ditengarai menghabiskan 12 miliar rupiah.

Italia dipilih sebagai tempat penggemblengan. Negeri Menara Pisa ini dipilih karena saat itu dijadikan kiblat dari sepakbola Eropa. Para pemain berguru di Sampdoria dan mengikuti kompetisi junior Italia yaitu Liga Primavera di bawah asuhan Romano Matte.

Sayang, target menyasar Olimpiade 1996 gagal diraih. Bahkan ketika bermain di Piala AFF 1996 pun prestasi tidak bisa diraih. Akan tetapi, proyek ini menghasilkan beberapa individu yang menjadi andalan baik di tim nasional maupun di level klub. Kurniawan Dwi Yulianto salah satunya. Si Kurus berhasil masuk ke tim junior Sampdoria meski kemudian berlabuh ke FC Luzern. Selain itu, ada Kurnia Sandy yang sempat menjadi kiper keempat Il Samp pada musim 1996/97. Bima Sakti, Anang Ma’ruf, dan Sugiantoro adalah nama-nama lain yang mencuat dari Primavera.

Dua tahun setelah Primavera, PSSI kembali membentuk tim lain yang berangkat ke Italia dengan nama PSSI Baretti. Para pemain Baretti adalah mereka-mereka yang berusia di bawah 16 tahun. Sayangnya, tim ini kalah tenar dari Primavera dan hanya beberapa nama saja yang mencuat ke permukaan seperti Uston Nawawi, Elie Aiboy, Charis Yulianto, dan Nova Arianto.

Dari Belanda Hingga Spanyol

Dana sebesar 13 miliar rupiah dikeluarkan PSSI untuk membawa timnas U-23 berlatih di Belanda. Kesebelasan asuhan Foppe De Haan ini diproyeksikan untuk meraih sukses di Asian Games Doha 2006. Empat bulan mereka habiskan untuk menimba ilmu di tempat latihan SC Heerenveen.

Namun lagi-lagi proyek ini hanya buang-buang uang semata. Ditangani pelatih pemenang Euro U-21 pada 2006 dan 2007, timnas tidak mendapatkan hasil manis di Qatar. Mereka dibantai Irak 0-6, Suriah 1-4, dan hanya bermain imbang 1-1 melawan Singapura. Kursi kepelatihan De Haan pun hanya sebentar saja.

Walaupun begitu, tidak sedikit juga yang menyalahkan PSSI dalam kasus kegagalan 2006. Timnas saat itu hanya diberikan waktu TC hanya empat bulan dengan target yang terbilang tidak masuk akal yaitu mendapat medali pada ajang empat tahunan tersebut.

Setahun kemudian, tim yang kemudian ditangani Ivan Kolev tersebut kembali menjalani pemusatan latihan di luar negeri. Kali ini, Argentina yang dipilih. Mayoritas penggawa Asian Games 2006 kini dikombinasikan dengan nama-nama baru seperti Atep, Christian Warobay, hingga Jajang Mulyana.

Namun lagi-lagi hasilnya tidak memuaskan. Menyasar target sukses di Sea Games Nakhon Ratchasima, timnas justru gagal lolos dari fase grup karena berada di bawah Thailand dan Myanmar.

Seakan tidak kapok, PSSI kembali mengirimkan 25 pemain usia di bawah 17 tahun untuk berguru ke Uruguay. Program ini diberi nama SAD yang merupakan kepanjangan dari Sociedad Anonima Deportiva. Target federasi saat itu adalah melangkah ke Piala Asia U-19 2010. Proyek SAD saat itu lebih masif dibanding proyek sebelumnya.

Tim ini berlangsung selama lima tahun sejak 2008 hingga 2012 atau ada lima gelombang pemain yang dikirimkan. Di Uruguay, tim ini berlaga di Quinta Division atau kompetisi Liga Uruguay untuk usia di bawah 17 tahun.

Skuad generasi pertama yang diasuh Cesar Payovich saat itu disebut sebagai wajah timnas di masa depan. Ada Alan Martha, Syamsir Alam, Zainal Haq, hingga Alfin Tuasalamony yang menjadi pilar penting saat itu. Akan tetapi, generasi ini kembali gagal memberi prestasi karena hanya mengumpulkan tujuh poin dari lima pertandingan kualifikasi.

Setelah sukses menjuarai Piala AFF U-19 pada 2013, PSSI kembali mengirimkan tim asuhan Indra Sjafri ini ke luar negeri sebagai persiapan untuk sukses di Piala Asia U-19 sekaligus mengincar satu tiket ke Piala Dunia U-20 di Selandia Baru. Spanyol dipilih sebagai tempat pemusatan latihan.

Lawan yang dipilih pun tidak main-main. Mereka berhadapan dengan Atletico Madrid B, Real Madrid B, Valencia B, dan Barcelona B. Bahkan Barcelona saat itu memainkan Luis Suarez (yang masih dihukum pasca menggigit Chiellini) dan Tomas Vermaelen. Dari empat laga tersebut, hanya satu imbang saja yang diraih saat timnas menahan Valencia B.

Sama seperti sebelumnya, pemusatan latihan ini berlangsung sia-sia. Pada Piala Asia, Indonesia selalu kalah dan berada pada urutan terakhir. Kelelahan akibat uji coba nusantara disebut-sebut sebagai faktor utama kegagalan.

***

Jika berkaca dari masa lalu terlihat kalau proyek ini kerap tidak membawa hasil berupa prestasi untuk tim nasional. Akan tetapi, dari proyek-proyek mercusuar ini kerap memunculkan pemain-pemain bertalenta yang nantinya menjadi pilar penting timnas Indonesia. Semoga saja Garuda Select ini bisa menghasilkan prestasi serta pemain-pemain hebat bagi tim nasional secara bersamaan.