Harta Berharga Sepakbola Itu Bernama: Selebrasi Gol

Seorang teman pernah bertanya kepada saya tentang mengapa memilih sepakbola sebagai olahraga yang paling menarik untuk ditonton. Saya pun berpikir keras dan sempat memikirkan apa alasannya. Maklum, di negara tempat kita tinggal, Indonesia, sepakbola adalah olahraga paling populer. Mulai dari lapangan-lapangan, lahan kosong, hingga gang sempit tak pernah luput dari permainan yang diklaim “lahir”  sejak tahun 206 SM dan kembali “ditemukan” oleh sekelompok orang Inggris di Cambridge pada 1848.

Lalu saya teringat, bahwa sepakbola adalah satu-satunya olahraga yang paling menghargai sebuah proses akan sebuah hasil akhir bernama gol. Berbeda dengan olahraga tim lainnya seperti bola basket yang cenderung memiliki skor banyak hingga puluhan bahkan ratusan, atau bahkan “football” lainnya yang populer di Amerika Serikat. Semuanya tak ada yang menyamai sepakbola dalam menghargai sebuah gol. Bahkan saya sempat kesal ketika menonton pertandingan badminton, seorang Taufik Hidayat pernah diperingatkan wasit akibat ia terlalu ekspresif saat berhasil meraih poin dari pertempuran rally panjang.

Saking berharganya sebuah gol, maka lahirlah apa yang dinamakan: Selebrasi gol. Bagaimana tidak, sebuah laga yang berjalan 2 x 45 menit (bahkan lebih) kadang tak berbuah 1 gol pun di akhir laga. Maka, sepakbola adalah satu-satunya olahraga yang mampu memaklumi sebuah selebrasi di tengah jalannya pertandingan.

Perkembangan Selebrasi Gol

Jurnalis The Athletic, Billy Munday pernah mengungkapkan bahwa selebrasi dalam dunia sepakbola tak mengalami perkembangan berarti hingga tahun 1950-an. Sebelumnya, selebrasi gol adalah luapan kegembiraan secara spontan belaka. Mengangkat tangan sambil berteriak “Yes!” sambil memukul tinju ke udara adalah ekspresi yang paling naluriah dari manusia yang berhasil memperoleh sesuatu. Untuk kasus ini, adalah berhasil mencetak gol.

Kalau menilik mengapa Munday mengangap tahun 50-an sebagai lompatan terbesar selebrasi sepakbola, hal ini bisa jadi diakibatkan oleh siaran langsung melalui televisi yang dimulai pada Piala Dunia 1954. Kala itu, beberapa negara menyiarkan event tersebut langsung dari Swiss, mulai dari Jepang (NHK), Belgia (RTBF dan VRT), Cekoslovakia, Denmark, Jerman Barat, Jerman Timur, Prancis, Italia, serta Norwegia melalui stasiun televisi nasional masing-masing. Separuh eropa hingga ke Asia Timur menyakskan laga Piala Dunia dari kotak kaca di rumahnya.

Ternyata perlu waktu hingga 3 dekade untuk membawa ekspresi “selebrasi” hingga ke tingkat yang lebih tinggi. Piala Dunia 1982 yang dihelat di Spanyol menjadi saksi sejarah bagaimana selebrasi gol menjadi lebih “individual”. Saat itu pelakuknya adalah gelandang timnas Azzuri, Marco Tardelli yang melakukan selebrasi ikonik berteriak sambil berlari hingga dikejar rekan-rekannya. Selebrasi ini pula yang direplikasi oleh Fabio Grosso kala timnas Italia berhasil menumbangkan Jerman di laga semi final Piala Dunia 2006.

Italia boleh berbangga atas apa yang “dicatatkan” Tardelli. Namun soal kreativitas, wakil Afrika,  Kamerun-lah juaranya. Keikutsertaan kedua mereka di turnamen terakbar sepakbola sejagad ini pada tahun 1990 di Italia menjadi batu loncatan dalam soal perayaan gol. Kapten tim sekaligus pemain paling gaek kala itu, Roger Milla melakukan selebrasi dengan cara unik: Berlari menuju tiang pojok lapang, kemudian mengangangkat tangan kanannya sambil menggoyangkan pinggulnya!

Pada empat tahun kemudian, pada ajang yang sama, lahir pula salah satu selebrasi paling diingat sepanjang masa. Bebeto, striker timnas Brazil, berlari ke pojok lapangan sambil memeragakan gerakan menimang-nimang bayi diikuti sesama rekan-rekannya. Hal tersebut ia lakukan mengingat anaknya yang juga baru lahir. Sejak itu, perayaan gol tak pernah lagi hal yang “biasa saja”. Selebrasi gol adalah ungkapan kegembiraan yang juga ditambahi unsur yang lebih personal bahkan suatu pesan tertentu.

Selebrasi Gol Sebagai Bentuk Ekspresi Emosional Pemain

Dalam bagian awal buku The Expression of the Emotions in Man and Animals, karya Charles Darwin yang ditulis pada 1872 (kemudian dirilis ulang pada 1998), ditulis bahwa Darwin menganggap wajah sebagai media ekspresi emosi yang paling unggul pada manusia, dan mampu mewakili emosi utama dan variasi halus dalam diri masing-masing. Gagasan Darwin tentang ekspresi wajah dan laporannya tentang perbedaan budaya menjadi dasar bagi strategi penelitian etologis hingga kini.

Bila dikaitkan dengan apa yang terjadi di dalam lapangan sepakbola, dalam hal ini khususnya sepakbola, ekspresi wajah adalah hal yang mungkin paling tidak bisa ditutupi oleh manusia ketika mereka menghadapi sesuatu. Ekspresi kesakitan ketika terkena tekel keras, ekspresi potes terhadap wasit, juga ekspresi gembira saat seorang pemain berhasil mencetak gol. Meskipun pada perkembangannya, ekspresi-ekspresi tersebut (terutama kegembiraan) akan melahirkan ekspresi yang lebih kompleks seperti yang kita kenal sekarang ini.

Saya juga teringat, mengapa bila kita menonton sebuah selebrasi gol, biasanya pemain-pemain asal Eropa akan cenderung lebih “individualis” sementara pemain Amerika Latin, Asia, atau Afrika cenderung akan merayakannya secara kolektif dan lebih ekspresif?

Paula M. Niedenthal, Profesor psikologi di University of Winconsin-Madison, serta François Ric, dan Silvia Krauth-Gruber dalam buku berjudul Psychology of Emotion: Interpersonal, Experiential, and Cognitive Approaches menjabarkan bahwa: “kebutuhan, keinginan, dan keinginan kolektif di mana individu menemukan diri mereka ditekankan, dan gagasan individualitas diminimalkan atau bahkan absen dari model budaya”. Budaya individualistis, bagaimanapun, mempromosikan otonomi dan kemandirian individu. Kebutuhan, keinginan, dan keinginan individu (lebih) ditekankan dan kemungkinan (akan) mendorong pencapaian pribadi. Budaya kolektif meliputi budaya Asia dan Amerika Latin, sementara budaya individualistis termasuk budaya Amerika Utara dan Eropa Barat. Amerika Utara, khususnya, dipandang sebagai prototipe budaya individualistis.”

Menyambung apa yang dikatakan Darwin tentang ekspresi emosi, itulah mengapa penelitian yang dilakukan Niedenthal tentang perbedaan ekspresi yang berkaitan dengan kultur dimana manusia itu berasal akan berpengaruh terhadap ekspresi yang akan dihasilkan. Dalam hal ini, cara pemain sepakbola untuk melakukan selebrasi gol.

Jadi jangan heran, dalam pertandingan sepakbola (terutama pertandingan seperti Piala Dunia), kita akan lebih banyak melihat selebrasi kolektif alias selebrasi gol yang dilakukan oleh banyak pemain dari tim nasional dari Amerika Latin, Afrika, ataupun Asia. Contohnya, selebrasi seru dari timnas Afrika Selatan di Piala Dunia 2010, Kolombia di Piala Dunia 2014 dan 2018. Jangan heran juga mengapa selebrasi pesepakbola asal Eropa (atau yang lama bermain di Eropa) akan cenderung lebih individualistis, bahkan beberapa diantaranya sampai diabadikan menjadi patung di pelataran stadion klubnya masing-masing.

Usaha Membatasi Selebrasi Gol

Menyaksikan selabrasi gol tidak pernah lagi sama setelah Badan Sepakbola Internasional (IFAB) menyetujui usulan untuk “membatasi” perayaan gol, khususnya selebrasi dengan melepas kaos. Hal tersebut tercantum dalam perubahan Laws of the Game di  Law 12, yang berlaku 1 Juli 2004 silam.

Laws of the Game bahkan secara jelas menyebutkan bahwa bentuk selebrasi gol yang dilakukan secara kolektif seperti koreografi lebih baik tidak dilakukan oleh pesepakbola. Selebrasi menghampiri atau berbaur dengan penonton juga akan diberi peringatan bahkan kartu.

Simak bunyi Laws of the Game yang mengatur selebrasi gol pada Laws 12:

“Pemain dapat merayakan ketika gol dicetak, tetapi perayaan itu tidak boleh berlebihan; Perayaan koreografi tidak dianjurkan dan tidak boleh menyebabkan pemborosan waktu yang berlebihan.”

 “Seorang pemain harus diperingatkan, bahkan jika gol-nya dianulir, karena:  memanjat pagar pembatas dan atau mendekati para penonton dengan cara yang menyebabkan masalah keselamatan dan / atau keamanan, memberi isyarat atau bertindak dengan cara provokatif, cemoohan atau radang, menutupi kepala atau wajah dengan topeng atau benda serupa lainnya”

Bunyi pasal Laws of the Game di atas semakin membuktikan bahwa kreativitas dalam merayakan selebrasi gol mulai dikikis. Kasus kartu kuning -yang menurut penulis cukup konyol- yang diterima Edinson Cavani beberapa tahun silam karena “meniru” selebrasi ikonik Gabriel Batistuta yaitu menodongkan senapan laras panjang adalah salah satu contohnya. Sang wasit beranggapan selebrasi Cavani berlebihan dan tidak memberikan contoh yang mendidik karena sarat kekerasan.

Belum lengkap rasanya memperbincangkan selebrasi gol tanpa membahas selebrasi gol paling ikonik dekade lalu milik Mario Balotelli. Perayaan golnya ke gawang David De Gea dengan cara menunjukkan tulisan “Why Always Me?” juga berakhir dengan hukuman kartu kuning. Wasit menganggap apa yang dilakukan Super Mario berlebihan. Padahal kalau dipikir-pikir, pesan tersebut tak bernada rasial, menghasut, atau menyerang publik secara langsung. Namun apa boleh buat, di atas lapangan wasit lebih berkuasa.

Atas dasar itulah, penulis menganggap sepakbola sudah “kehilangan” sedikit jiwa kreativitas. Meskipun kita tahu bahwa peraturan dibuat untuk mengatur sepakbola menjadi lebih baik, namun ada hal-hal yang cenderung bias.

Sepakbola adalah olahraga yang memberikan ruang yang (seharusnya) amat luas bagi kreativitas mencetak gol. Larangan untuk selebrasi dengan menghampiri penonton, atau himbauan untuk tidak merayakannya secara koreografi adalah berlebihan. Penulis sedikit membayangkan apa jadinya bila suatu hari timnas Indonesia bermain di Piala Dunia, lalu pemainnya mendapat kartu kuning akibat selebrasi dengan gaya tari jaipongan. Menyebalkan bukan?

Selebrasi gol adalah salah satu daya tarik dari sepakbola. Maka dengan upaya-upaya “badan yang berwenang” membatasi perayaan gol ini sama dengan menghilangkan daya tarik sepakbola itu sendiri. Akan menjadi mimpi buruk membayangkan sepakbola terus-menerus “kaku” dan terasa seperti memainkan gim konsol. Sadarlah, salah satu harta berharga di sepakbola adalah selebrasi gol!