Identiknya Red Army dengan Hooliganisme di Inggris

Foto: Dailymail.co.uk

Hooliganisme di Inggris berada pada puncaknya pada 1970-an sampai 1980-an. Hooliganisme seolah menjadi bagian integral dari budaya sepakbola di Inggris dalam skala sekecil apapun. Layaknya Red Army yang punya masalah besar dengan hooliganisme. Hooliganisme di Inggris yang terjadi sejak pertengahan 1970-an itu selalu diidentikan dengan Red Army.

Semakin kentara ketika Manchester United (MU) harus degradasi ke Divisi II 1974/1975. Sejak itulah Red Army seolah menjadi gerombolan penjahat karena sering mendatangkan malapetaka di stadion sepakbola Inggris. Ditambah dengan loyalitas Red Army kepada pertandingan MU di manapun.

Kelompok garis keras suporter MU ini selalu datang dengan jumlah yang besar. Mereka berbondong-bondong datang menggunakan kereta maupun menaiki bus. Bahkan jika harus bertandang ke stadion rival sekalipun seperti Arsenal, Chelsea, Liverpool dan Manchester City.

Konon, jumlah kedatangan yang banyak saat laga tandang inilah cikal bakal mereka dinamai Red Army. Terutama setelah MU harus terdegradasi sehingga jumlah Red Army sering lebih banyak daripada pendukung tuan rumah. Mengingat banyak kesebelasan divisi II berasal dari kota-kota kecil pada waktu itu.

Sisi Gelap Red Army

Red Army tersebar hampir di seluruh Inggris sehingga memiliki berbagai kelompok lain, seperti Men In Black, Young Munich, Inter City Jibbers, M58 Firm dan Moston Rats. Sementara Red Army sendiri dipimpin Tony O’Neill dari 1970-an sampai awal 2000-an.  Sekarang ia dilarang menginjakan kakinya di seluruh stadion liga inggris sejak 2001.

O’Neill menjadi lebih sering menghabiskan waktunya bekerja di sebuah perusahaan travel. Melalui pekerjaannya ini ia masih melanjutkan baktinya kepada suporter MU. Yaitu sering menerima jasa perjalanan tandang para suporter MU. Selain itu, O’Neill juga membuat sebuah buku berjudul Men In Black.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa Men In Black merupakan bagian dari Red Army. Kelompok ini terbentuk ketika MU mengarungi Piala Liga 1989. Men In Black dikenal mampu mengalahkan suporter rival yang berjumlah lebih banyak. Ciri khas dari Men In Black adalah selalu menggunakan pakaian serba hitam.

Bukan hal yang aneh juga ketika melihat pendukung kesebelasan sepakbola berpakaian casual di seluruh stadion di Inggris. Mereka meninggalkan warna tertentu yang berseragam untuk menghindari deteksi polisi. Sementara Men In Black justru memamerkan keseragaman mereka yang menyeramkan.

Men In Black memang dianggap lebih tangguh dan terorganisir dibanding kelompok hooligan lain di seluruh negeri sampai saat ini. Men In Black sendiri merupakan generasi muda yang muncul setelah perubahan wajah hooliganisme sepakbola 1970-an dan 1980-an.

Anggota lamanya pun masih ikut dalam pertemuan meskipun mendapatkan hukuman larangan ke stadion. “Men In Black menempatkan diri mereka dalam situasi yang sebagian besar yang tidak orang lain inginkan. Kami masuk ke sana dengan sikap apapun yang terjadi,” tulis O’Neill dalam buku Men In Black.

Buktinya, sekitar 15 orang Men In Black membuat kekacauan ketika melawan Liverpool di Stadion Anfield pada 2006 silam. Mereka pun berhasil menginvasi lapangan tersebut. “Kelompok ini, berhubungan dengan hooliganisme sepakbola siapapun,” kata seorang juru bicara Kepolisian Manchester Raya, seperti dikutip dari Telegraph.

Selain dengan Liverpool, bentrokan Red Army dengan Inter City Firm (ICF) dari West Ham United lebih sering terjadi. Sebanyak 160 anggota Red Army pernah ditangkap dan 100 di antaranya dihukum larangan masuk ke stadion atas bentrokan pada 2005 silam. Konon, serangan kepada Inter City Firm itu dilakukan oleh Men In Black ini.

Keterkaitan dengan Hooliganisme di Inggris

Pagar pembatas yang tinggi sempat dipasang di seluruh stadion sepakbola Inggris. Penyebabnya adalah adanya pendukung Blackpool yang tewas ditusuk Red Army pada pertandingan divisi II 1974. Situasi bentrokan saat itu sangat kacau hingga polisi menembakan gas air mata.

Bentrokan Red Army tidak hanya di kompetisi sepakbola Inggris saja. Mereka pernah bentrok dengan pendukung St Etienne saat Piala Winners Eropa 1977. Kabarnya, perkelahian itu berawal dari lemparan roti pendukung St Etienne kepada Red Army. Bentrokan pun tak terelakan sehingga 33 orang dilarikan ke rumah sakit.

Red Army pun harus mendapatkan pengawalan ketat dari kepolisian hingga pertandingan selesai. Kejadian ini memaksa MU harus bermain pertandingan usiran pada leg kedua melawan St Etienne di kandang Plymouth. Bentrokan tersohor Red Army lainnya pada kompetisi Eropa juga terjadi saat Liga Champions 2007.

Awalnya, pertandingan dimulai dengan damai dan Red Army pun mendapatkan penghormatan dari Ultras Roma. Tapi Red Army justru dikurung Ultras Roma sehingga sulit keluar dari stadion. Hal itu membuat sekitar 300 Red Army nekat keluar dari tribun sehingga terjadi bentrokan lanjutan di jembatan dekat stadion.

Hasilnya, lima pendukung MU harus mendapatkan tikaman dan empat orang lainnya dimasukkan ke dalam penjara. Setelah bentrokan itu, banyak petinggi Red Army pensiun dari hooliganisme. Sementara yang lain selalu menantikan keributan kembali dengan ultras dari Italia.

Sebetulnya memang banyak kelompok suporter garis keras dari klub lain di Inggris yang tidak kalah gahar seperti ICF, Leeds Service Crew, Millwall Bushwackers dll. Tapi eksistensi MU di Eropa-lah yang membuat Red Army lebih diidentikan dengan hooliganisme di Inggris.