Liga utama Amerika Serikat, Major League Soccer (MLS), kerap kali dianggap sebagai panti jompo di dunia sepakbola. Sejak David Beckham mendarat di Los Angeles untuk membela LA Galaxy, banyak pemain-pemain ternama Eropa yang hengkang ke Negeri Paman Sam.
Bastian Schweinsteiger, Steven Gerrard, hingga Zlatan Ibrahimovic, meninggalkan Benua Biru untuk bermain di MLS. Mereka bukanlah pemain-pemain tanpa nama di Eropa.
Zlatan selalu menarik perhatian terlepas kesebelasan yang ia bela. Baik itu Ajax, Inter Milan, atau Manchester United. Schweinsteiger adalah jantung lini tengah Tim Nasional Jerman selama bertahun-tahun dan Gerrard merupakan legenda Liverpool. Tapi, sama seperti Beckham saat masa-masa terbaiknya habis, mereka terbang ke Amerika Serikat.
Wajar jika akhirnya MLS mendapat anggapan bahwa mereka adalah liga penuh bintang tua. Rumah mereka sebelum gantung sepatu. Namun, anggapan tersebut sudah mulai bergeser. MLS tidak lagi meminati pemain-pemain tua dari Eropa. Mereka kini fokus ke talenta muda. Terutama mereka yang berasal dari Amerika Selatan.
Gelandang 24 tahun asal Paraguay, Miguel Almiron, menjadi lambang dari perubahan itu. Pemain yang saat ini diincar oleh berbagai kesebelasan Eropa seperti Newcastle United dan Arsenal dipinang Atlanta United pada 2016 dan langsung menjadi roh permainan mereka.
Almiron berhasil membawa Atlanta menjadi juara di musim pertama mereka dan menarik minat kesebelasan-kesebelasan Eropa di atas. Ia disebut jadi target utama Arsenal guna menggantikan Aaron Ramsey. Tapi sejauh ini the Gunners tidak bisa bergerak karena tak memiliki cukup dana untuk dikirim ke Atlanta United.
“Kami tidak bisa mendatangkan pemain secara permanen. Pihak direksi sedang berjuang untuk mendapatkan pemain tapi sejauh ini kami hanya bisa mendatangkan mereka dengan status pinjaman,” ungkap Manajer Arsenal Unai Emery saat disinggung tentang pergerakan transfer the Gunners di bursa transfer musim dingin 2019.
Sementara peminat lainnya, Newcastle United belum sanggup memenuhi permintaan kubu Almiron. Menurut laporan Daily Mail (via HITC), Atlanta United meminta dana lebih dari 20 juta paun untuk Almiron. Itu belum termasuk uang untuk agen Almiron sebesar empat juta paun.
Kubu Atlanta tidak keberatan kehilangan Almiron asalkan permintaan mereka terpenuhi. Pasalnya, Atlanta United juga sudah memiliki pengganti Almiron. Pity Martinez yang juga gelandang serang seperti Almiron didatangkan Atlanta dari River Plate.
Pity sebenarnya ingin hijrah ke Eropa, tapi setelah agennya berkeliling Benua Biru, tidak ada tawaran yang bisa meyakinkan kliennya. Atlanta United dengan kesuksesan mereka bersama Almiron akhirnya menjadi pelabuhan Pity.
Dimulai dari Giovani dan Giovinco
Pity sudah tidak tergolong pemain muda, usianya sudah 25 tahun, namun MLS bisa jadi tempatnya mengangkat nama dan menarik minat kesebelasan di Eropa. Sebelum nama Almiron dikenal dunia, MLS sudah menjadi tempat pemain-pemain lain menata ulang karir mereka. Giovani dos Santos dan Sebastian Giovinco contohnya.
Giovani dos Santos merupakan jebolan akademi FC Barcelona, La Masia, namun ia gagal untuk memenuhi ekspektasi menjadi pengganti Ronaldinho. Mencoba peruntungan di tim lain seperti Tottenham juga tidak membantu, akhirnya Gio hengkang ke LA Galaxy.
Sebelum ia memilih LA Galaxy, Gio mendapat tawaran dari Atletico Madrid, tapi dirinya memutuskan untuk pergi ke Amerika Serikat. Saat ditanya ESPN apakah dirinya menyesal dengan pilihan tersebut, jawabannya sederhana: Tidak.
“Jika saya harus kembali ke masa-masa itu, memilih antara Galaxy, Atletico Madrid, atau kembali ke Tottenham, jawabannya tetap pergi ke Los Angeles. Saya tidak menyesali apa yang sudah dipilih. Saya bangun setiap pagi dan merasa senang,” kata Gio.
Kebahagian Gio itu juga dikonfirmasi oleh adiknya, Jonathan dos Santos. “Gio selalu ingin bertahan di sini meski situasinya sulit. Dia mengalami musim yang buruk dan jarang main. Tapi ia juga pemain yang ambisius dan berharap waktu akan membuat semua lebih baik karena di bahagia di Galaxy,” kata Jonathan yang menyusul kakaknya pada 2017.
Sementara itu, Sebastian Giovinco memiliki cerita yang lebih gila lagi. Dirinya memiliki segala alasan untuk kembali ke Eropa. Menjadi pemain terbaik MLS pada 2015, Giovinco masuk daftar pemain yang disiapkan Italia untuk Piala Eropa 2016. Akan tetapi namanya gagal masuk daftar akhir.
Baru beberapa bulan membela Toronto FC, pemain yang sebelumnya digadang menjadi penerus Alessandro Del Piero di Juventus menjadi incaran Tottenham dan Liverpool. Tapi Giovinco menolak tawaran itu. “Saya senang di sini. Saya baru memulai petualangan baru dan ingin menikmatinya,” kata Giovinco.
Bahkan saat kontraknya sudah mau habis dan nasibnya digantung oleh Toronto, Giovinco masih berharap bisa bertahan di kesebelasan yang berasal dari Kanada itu. “Semoga TFC memutuskan masa depan saya secepat mungkin. Ini normal karena sudah tahun terakhir dari kontrak. Tapi saya melakukan semuanya untuk TFC, dan pantas mendapat kepastian, betul?,” kata Giovinco.
Dipaksa Chinese Super League
Berhasil mengangkat kembali Giovani dos Santos dan Giovinco, seharusnya MLS berani untuk mendekati pemain-pemain lain dari kesebelasan-kesebelasan Eropa, betul?
Melihat kesuksesan itu, MLS seharusnya punya nilai jual kepada pemain-pemain yang tersingkir di kesebelasan-kesebelasan Eropa. Tapi mereka beralih fokus ke Amerika Selatan. Perubahan ini tak jauh dari transformasi liga Tiongkok, Chinese Super League (CSL).
Chinese Super League sempat menjadi pengganti MLS sebagai liga pensiunan dengan mendaratkan Nicolas Anelka, Didier Drogba, dan lain-lain. Namun kondisi finansial di sana belum stabil. Drogba dan Anelka pernah angkat bicara soal hal ini.
Akhirnya, mereka menginjak rem dan mulai berhemat. Beberapa tahun kemudian, peserta CSL kembali menggelontorkan uang besar ke Eropa. Tepatnya pada 2015/2016, tahun yang sama dengan kedatangan Giovani dos Santos di LA Galaxy.
Saat itu CSL kedatangan nama-nama populer seperti Ramires dari Chelsea, Axel Teixeira yang diincar Liverpool, hingga predator Galatasaray, Burak Yilmaz. MLS tidak bisa bersaing dengan kekuatan finansial di CSL. Perubahan harus terjadi.
Semusim setelah Giovani Dos Santos (26), Shkëlzen Gashi (27), Cedrick (23), datang dari kesebelasan Eropa di usia matang mereka, MLS mulai beralih ke talenta muda dari Amerika Selatan. Miguel Almiron (CA Lanus / 22th), Jeisson Vargas (Universidad Catolica / 18th), dan Hector Villalbla (San Lorenzo / 22th) adalah beberapa nama yang mendarat di Negeri Paman Sam dari Amerika Selatan.
Mantan MetroStars asal Venezuela yang kini menangani Portland Timbers menyebut gerakan ini sebagai ‘kembali ke akar’. “Kita harus ingat pada awal MLS terbentuk pemain Amerika Selatan membantu liga ini. Kini MLS mulai dipandang sebagai yang utama di sepak bola Amerika Serikat dan pemain-pemain ini penting untuk tingkat kompetitif liga,” jelasnya.
Talenta muda kemudian dipilih untuk mengarungi persaingan dengan CSL. “Secara jangka panjang MLS akan menang dari CSL. Namun untuk melakukan hal itu kita harus mengubah haluan dan fokus ke pemain muda,” jelas mantan bek tim nasional Amerika Serikat, Heath Pearce.
Membengkang pada Eropa
Terhitung sejak 2018, talenta Amerika Selatan benar-benar memperhitungkan MLS sebagai pelabuhan baru mereka. Pemain-pemain yang biasa akan menengok ke arah Portugal atau Spanyol untuk melanjutkan karir mereka kini tidak terlalu jauh memandang.
Atlanta United sampai memecahkan rekor transfer untuk mendaratkan Ezequiel Barco dari Independiente. Barco dimenangkan Atlanta United setelah mengirim dana 15 juta dollar ke Independiente dan mengusir kesebelasan-kesebelasan Eropa yang ingin jasa pemain sayap 18 tahun tersebut.
“Klub seperti apa Atlanta United? Hal itu seharusnya bisa terjawab lewat Barco. Kami menunjukkan keseriusan dan berhasil mengamankan dirinya dari kejaran tim di Eropa,” kata Wakil Presiden Atlanta United Carlos Bocanegra ke FOX Sports.
Selain Barco, nama-nama muda lain seperti Diego Rossi, dan Artur de Lima Junior juga memilih MLS ketimbang Eropa. Bahkan Andre Horta (LA Galaxy), Tomas Martinez (Crew SC), dan Josef Martinez (Atlanta United) meninggalkan Eropa di usia muda untuk main di MLS.
Nama terakhir dibeli Atlanta United dari peserta Serie-A, Torino. Dirinya merupakan pemain tersubur MLS 2018 dengan 31 gol. Ia mengalahkan nama tenar seperti Zlatan Ibrahimovic (22), Carlos Vela, dan David Villa (14) untuk meraih sepatu emas serta menjadi juara liga.
Kesuksesannya bersama Atlanta United membuat berbagai tim ingin membawanya kembali ke Eropa. “Saya dapat memastikan Martinez jadi incaran peserta La Liga, Ligue 1, dan juga Premier League,” ungkap mantan gelandang Bolton Wanderers, Stuart Holden saat menjadi komentator di FOX Sports.
Salah satu kesebelasan yang meminati Martinez adalah Everton. The Toffees tengah berusaha untuk merusak tatanan di Premier League dan Martinez disebut jadi incaran terbaru mereka. Namun Martinez tidak mempedulikan hal itu.
Bukannya melanjutkan karir di Eropa setelah memiliki banyak peminat, Martinez justru menadatangi kontrak baru selama lima tahun dengan Atlanta United. “Saya tidak ingin pergi ke mana-mana, Atlanta sudah seperti rumah bagi saya,” katanya setelah menambah masa bakti.
Menghantui Si Nomor Satu
Transformasi MLS dari liga pensiunan hingga kini diisi talenta-talenta muda juga memiliki pengaruh positif terhadap sepakbola di Amerika Serikat. Pada musim 2018, Atlanta United sukses memecahkan rekor pengunjung MLS dengan lebih dari 71 ribu pengunjung. Jumlah itu mengalahkan partai Prancis kontra Belgia di semi-final Piala Dunia 2018 (64.286).
Lebih dari itu, mereka juga mengalahkan tiga olahraga utama Amerika Serikat. Popularitas liga bisbol, MLB tahun lalu menurun bahkan mencatat berbagai rekor buruk dalam sejarah kompetisi. Basket dan NBA tidak punya stadion sebesar sepakbola dengan Madison Square Garden yang paling besar hanya bisa mengakomodasi sekitar 20 ribu orang.
Pencapaian tertinggi MLS 2018 adalah mengalahkan pengunjung Super Bowl 2018 antara Philadelphia Eagles dan New England Patriots (67.612). Padahal American Football disebut sebagai olahraga utama Amerika Serikat dan sepakbola adalah ‘Sissyball‘.
Jika terus begini, bukan tidak mungkin MLS menjadi kiblat baru sepakbola. Mereka bahkan sudah berhasil mengalahkan kesebelasan-kesebelasan Eropa hanya dalam beberapa tahun setelah pindah haluan.