Sebagian pesepakbola memutuskan melanjutkan kariernya sebagai pelatih setelah pensiun sebagai pemain. Tetapi, tentu saja harus mendapatkan lisensi kepelatihan terlebih dahulu melalui kursus selama beberapa waktu. Sementara sebagian eks bintang ada pula yang dipercaya jadi pundit atau komentator pertandingan sepakbola; mungkin karena popularitasnya dulu selama di lapangan hijau.
Namun, kebanyakan mereka yang sudah “gantung sepatu” akhirnya harus rela kembali menjadi orang biasa. Tidak sedikit pula yang kemudian malah hidup sengsara, karena gagal lupa mempersiapkan masa depannya. Karena alasan itulah Johan Cruyff Insitute hadir untuk membantu para pesepak bola menyiapkan masa pensiun sebelum mundur dari lapangan hijau, dengan melalui bangku pendidikan.
“Atlet adalah alasan utama keberadaan institusi (ini). Para atlet yang ingin diberi kunci oleh Johan Cruyff, melalui pelatihan akademik, untuk berhasil bertransisi ke dalam dunia bisnis ketika mereka pensiun,” demikian dikutip dari laman resmi Johan Cruyff Institute.
Itulah filosofi dan misi utama lembaga tersebut, yang tak pernah berubah sejak hari pertama pendiriannya pada tahun 1999 silam.
Dari Amsterdam
Sesuai dengan namanya, Johan Cruyff Institute didirikan oleh legenda Belanda dan Barcelona, Johan Cruyff, sekitar tiga tahun setelah akhir masa kepelatihannya di klub yang membesarkan namanya. Sepertinya dia tak ingin hanya mewariskan taktik bermain sepakbola yang dikenal dengan istilah “Total Football”, tetapi juga berharap para pesepakbola bisa menyiapkan masa pensiun lebih baik.
Institusi akademik ini berawal dengan program pendidikan untuk 35 atlet sebagai bagian dari Johan Cruyff Academy di Amsterdam, Belanda pada tahun 1999. Saat itu, mereka memberikan pendidikan pemasaran olahraga bekerja sama dengan Amsterdam University of Applied Science. Berangkat dari kota kelahiran Johan Cruyff itu, hingga kini tumbuh menjadi jaringan organisasi akademik global.
Pada tahun 2002, Johan Cruyff Institute dibuka di Barcelona, sekaligus diresmikan sebagai kantor pusat internasional. Kemudian, ekspansi berlanjut ke Meksiko pada tahun berikutnya, Amsterdam (2006), Stockholm (2011), dan Peru (2013). Hingga kini, sudah berdiri empat kampus Johan Cruyff Institute dengan pendidikan pascasarjana dan eksekutif, tiga kampus Johan Cruyff Academy dengan pendidikan pascasarjana, serta empat kampus Johan Cruyff College dengan pelatihan kejuruan.
Manajemen Olahraga
“Misi kami adalah memprofesionalkan industri olahraga melalui pelatihan akademik,” kata Cristina Pales, manajer pemasaran dan anggota tim manajemen Johan Cruyff Institute dikutip dari laman resmi lembaga tersebut.
“Adapun visi kami, sama dengan visi yang dimiliki Johan (Cruyff) ketika dia mendirikan institusi ini; berlatih melalui olahraga untuk olahraga,” ucapnya lagi menambahkan.
Johan Cruyff Institute hadir untuk melahirkan generasi olahraga yang lebih profesional, sekaligus membantu para atlet termasuk pesepakbola agar bisa memiliki karier masa depan setelah pensiun. Oleh karena itu, institusi tersebut tumbuh sebagai sekolah bisnis swasta yang didedikasikan untuk mendidik para atlet, profesional olahraga dan bisnis melalui pendidikan dalam manajemen olahraga.
Saat ini, Johan Cruyff Institute menjalankan empat program akademik. Yaitu, manajemen olahraga, pemasaran olahraga, bisnis sepak bola, dan pembinaan sepak bola. Tak hanya dalam ruangan kelas, pendidikannya juga disampaikan melalui pengalaman belajar dari kasus nyata dalam dunia olahraga. Hingga menyediakan akses langsung ke berbagai organisasi olahraga, termasuk klub sepak bola.
Diikuti Pemain Dunia
Sejauh ini, Johan Cruyff Institute sudah memiliki lebih kurang 9.000 peserta didik di empat negara yang menjadi lokasi kampusnya. Menariknya, dari ribuan orang itu, di antaranya termasuk sejumlah pesepakbola dunia yang menjadi superstar dalam sepakbola Eropa. Salah satunya adalah kiper Paris Saint-Germain, yang juga eks penjaga gawang andalan Real Madrid asal Kosta Rika, Keylor Navas.
Sang kiper ternyata baru saja menyelesaikan pendidikannya dalam program Magister Manajemen Olahraga di Johan Cruyff Institute pada September 2022 lalu, menjelang usianya memasuki 36 tahun.
“Cukup rumit, saya memanfaatkan perjalanan bertanding untuk membaca (pelajaran) saat fajar,” ceritanya.
Meski tak bisa menghadiri upacara wisuda, dia tak pernah melewatkan kelas secara virtual.
Kiper legendaris Meksiko, Guillermo Ochoa juga lulusan program online Gelar Manajemen Sepak bola dari Johan Cruyff Institute, ketika dia bermain di klub Prancis, AC Ajaccio pada periode 2011-2014 silam. Eks Barcelona, Bojan Krkic yang kini berkarier di Jepang juga memperoleh gelar akademiknya melalui program Magister Manajemen Olahraga dari Johan Cruyff Institute pada tahun 2021 lalu.
Selain itu, juga banyak eksekutif sepakbola yang belajar di sana, termasuk CEO AFC Ajax Edwin van der Sar. Johan Cruyff Institute pun juga sudah berkolaborasi dengan Asosiasi Pemain Profesional Indonesia (APPI) dalam memberikan kesempatan pada pesepakbola di Tanah Air untuk mendapatkan pendidikan akademik dalam bisnis olahraga dan sepak bola. Institusi pendidikan ini telah menjadi warisan akademik Johan Cruyff untuk masa depan lebih baik bagi para pesepakbola di seluruh dunia.
Sumber: Johan Cruyff Institute, Wikipedia, Archy Sport, APPI.