Peluit panjang berbunyi, seraya para pemain Kashima Antlers tumpah ruah di lapangan Azadi Stadium, Tehran, Iran. Kashima Antlers sukses merengkuh gelar juara Liga Champions Asia. Bagi Kashima Antlers, ini adalah gelar Liga Champions Asia pertama kalinya sepanjang sejarah. Sedangkan tim tuan rumah, Persepolis, harus tertunduk lesu. Mereka melakukan banyak kesalahan di leg pertama sehingga kalah 0-2 dan gagal mengeksekusi peluang ketika bermain di kandang mereka sendiri.
Namun tidak hanya Kashima Antlers yang berpesta. Para perempuan di Iran juga turut berpesta. Pasalnya pertandingan antara Kashima Antlers dan Persepolis adalah momen monumental ketika akhirnya perempuan di Iran boleh menyaksikan pertandingan sepakbola di stadion.
Perempuan dalam Sepakbola Iran, Tenggelam dan Tumbuh
Iran sebelum revolusi 1979 merupakan negara yang cukup terbuka bagi perempuan. Kebebasan beraktivitas bagi perempuan dijunjung tinggi. Namun, setelah konstitusi negara berubah menjadi Republik Islam, peran dan aktivitas perempuan sedikit dibatasi dengan adanya beberapa aturan yang disahkan oleh konstitusi.
Pembatasan aktivitas juga berdampak pada larangan perempuan untuk datang ke stadion sepakbola. Federasi Sepakbola Iran sendiri melarang secara tegas perempuan untuk datang ke stadion. Aturan ini diterapkan bukan hanya bagi para penonton sepakbola dari Iran, namun para perempuan penonton sepakbola dari negara lain yang bertanding di Iran juga kesulitan untuk bisa datang ke stadion.
Begitupun bagi para perempuan yang bermain sepakbola. Sebelum revolusi Iran tahun 1979, para perempuan bebas bermain sepakbola. Bahkan pada 1970-an Taj Football Club atau sekarang dikenal dengan Esteghlal Football Club mendirikan klub sepakbola perempuan, disusul Perespolis juga turut mendirikan sepakbola perempuan pada 1976. Bahkan tim sepakbola Taj sempat ber-ujicoba dengan tim nasional sepakbola perempuan Italia. Namun setelah 1979, sepakbola perempuan meredup di Iran.
Pada 1993, perempuan Iran kembali bisa bermain sepakbola. Namun bukan sepakbola di lapangan besar, melainkan futsal yang diadakan secara tertutup di Alzahra University. Pihak kampus memfasilitasi perempuan untuk setidaknya bisa beraktivitas di dalam ruangan. Pun hal ini tetap membawa kecaman dari para akademisi Iran saat itu.
Akhrinya gelombang protes untuk bisa setidaknya beraktivitas di dalam ruangan dan berolahraga begitu besar. Hingga akhirnya Kementrian Pendidikan Iran mengizinkan Alzahra University mengadakan kompetisi futsal perempuan pada 1997. Pesertanya hanya 10 tim, mayoritas dari Alzahra University. Namun ini merupakan salah satu langkah maju dalam persepakbolaan Iran.
Piala Dunia 1998, Revolusi Sepakbola Perempuan Iran
Ketika Iran lolos ke Piala Dunia 1998, penduduk Iran tumpah ruah ke jalan. Laki-laki dan perempuan larut dalam kegembiraan lolosnya negara mereka ke turnamen paling akbar di sepakbola. Sebelum 1998, Iran terkahir lolos ke Piala Dunia adalah pada tahun 1978 atau setahun sebelum revolusi Iran. Pun kelolosan Iran membawa angin segar bagi perempuan. Mereka untuk pertama kalinya tumpah ruah ke jalan turut larut dalam kegembiraan.
Hingga momentum lolosnya Iran ke Piala Dunia 1998 membuat para aktivis perempuan Iran bersuara mengenai hak mereka untuk bisa beraktivitas. Dalam How Soccer Explain the World, Frank Foer menyamakan momentum lolosnya Iran di Piala Dunia 1998 bagi para perempuan sama nilainya dengan Boston Tea Party bagi kemerdekaan Amerika Serikat dari Inggris.
Dan benar saja, gelombang protes menghasilkan kebijakan pada 2005. Kementerian Olahraga Iran membangun lapangan sepakbola indoor bagi perempuan untuk bisa bermain sepakbola. Para aktivis tidak puas dengan hal itu. Mereka menuntut untuk bisa datang dan menonton sepakbola di stadion seperti halnya kaum pria. Namun Pemerintah Iran menolak ide tersebut. Pada 2005, tim sepakbola Perempuan Iran terbentuk dan melakukan pertandingan sepakbola pertama kalinya menghadapi Suriah di Yordania. Tim Sepakbola Iran menang 5-0 atas Suriah saat itu.
Pada 2008, terbentuklah Asosiasi Sepakbola Perempuan Iran di bawah naungah IFF (Iran Football Federation), dan membuat liga sepakbola perempuan bernama Kowsar Women Football League. Di saat yang sama atlet perempuan Iran mulai bermunculan di beberapa cabang olahraga seperti taekwondo, karate, menembak, dan panjat tebing, bahkan mereka mengikuti Olimpiade Beijing pada 2008.
Kehadiran Penonton Sepakbola Perempuan di Iran
Hingga 10 tahun setelah federasi seapkbola perempuan Iran didirikan, tepatnya pada 2018, perempuan hadir dalam pertandingan Timnas Iran. Namun sayangnya bukan suporter Iran, melainkan supporter Suriah yang masuk dan menonton pertandingan Iran menghadapi Suriah di Tehran.
Pada akhirnya perempuan bisa masuk ke stadion setelah Presiden FIFA, Gianni Infantino, menyuruh Federasi Sepakbol Iran untuk mengizinkan perempuan untuk menonton sepakbola secara langsung. Desakan ini sudah dimulai ketika aktivis perempuan Iran, Maryam Qashqaei Shojaei dan Gigi Alford, mendatangi kantor FIFA dan membawa petisi yang ditandatangani 200.000 orang yang meminta Pemerintah Iran mengizinkan perempuan untuk hadir menonton sepakbola secara langsung di Iran.
Puncaknya, secara resmi pemerintah Iran mengizinkan perempuan untuk datang ke pertandingan final leg kedua antara Persepolis menghadapi Kashima Antlers. Sekitar 1000 perempuan hadir ke stadion untuk mendukung Persepolis. Meskipun kalah, ini adalah momen bersejarah bagi perempuan Iran untuk datang ke stadion.
Sebelumnya pemerintah Iran sempat mengizinkan secara terbatas para perempuan untuk datang ke stadion ketika Iran berujicoba menghadapi Bolivia di stadion yang sama dengan Final Liga Champions Asia, yakni Azadi Stadium, 300 perempuan datang saat itu.
Presiden FIFA, Gianni Infantino menyambut langkah positif tersebut. “Hari ini adalah hari bersejarah dan meriah untuk sepakbola, sebuah terobosan besar,” ujar Gianni Infantino dikutip dari Foxsports.
“Saya senang menyaksikan sendiri, untuk pertama kalinya dalam 40 tahun, penggemar sepakbola perempuan Iran diizinkan menghadiri pertandingan resmi .
“Fakta bahwa lebih dari 1.000 wanita dapat mendukung tim favorit mereka dan ini terjadi selama pertandingan sepak bola paling penting di Asia musim ini, membuat acara ini semakin istimewa,” lanjut Gianni.
Sepakbola Iran merupakan salah satu yang terbaik di Asia, mereka semakin maju saat ini dengan adanya perkembangan yang nyata dengan diperbolehkannya perempuan menonton sepakbola secara langsung. Lalu bagaimana dengan Indonesia, sudah semaju apa sepakbola kita kini, apakah masih berkutat dengan “Coach itu Pelatih”?