Kompetisi demi mendapatkan tempat di sebuah kesebelasan mungkin adalah sesuatu yang wajar bagi sebagian besar pemain. Tetapi bagaimana jika kompetisi itu bernuansa rasial? Apakah hal seperti ini masih bisa disebut dengan ‘kompetisi yang sehat’? Dan bagaimana jika sistem sebuah federasi sepakbola justru mendukung kompetisi seperti itu?
Mungkin hal seperti itulah yang saat ini sedang dialami timnas sepakbola perempuan Amerika Serikat. Bahkan ada sebuah sebutan Ponytail Posse di dalam tim nasional perempuan AS, yang dirujukkan kepada “white girls next door” atau “para gadis kulit putih kelas atas” yang lebih dielu-elukan manajemen tim nasionalnya.
Maksud dari label tersebut menunjukkan karena kurang dari selusin pesepakbola perempuan yang mewakili tim nasional Amerika Serikat adalah perempuan kulit putih kelas bawah atau perempuan berkulit selain putih. Bahkan itu sudah terjadi sejak 1991.
Ada yang rusak dalam sistem pemilihan pemain di timnas Amerika. Hal ini juga bahkan diungkapkan oleh mantan pemain sekaligus mantan kapten timnas sepakbola perempuan Amerika, Hope Solo. Ia dan beberapa rekan setimnya sangat percaya bahwa ada masalah ras di US Soccer, terutama di sepakbola perempuannya.
Selain itu, banyak juga fakta-fakta yang sedikit banyak terungkap oleh Solo soal persoalan ini. Ia mengatakan bahwa pernah ada sebuah percakapan dengan seorang pemain yang mengatakan jika dirinya berpikir pelatih tim sepakbola Amerika memiliki masalah dengan warna kulitnya.
“Saya pernah mendapati percakapan dengan seorang pemain bahwa dirinya merasa sang pelatih memiliki maslaah rasial dengannya. Dia adalah orang pertama yang memberitahu saya sesuatu soal hal ini, dan itu membuka mata saya. Sejak saat itu, dia mengatakan hal-hal yang serupa kepada saya. Karena biasanya ras adalah sesuatu yang tidak ingin dibicarakan,” tutur Hope Solo dilansir dari The Guardian.
“Selama 20 tahun karier saya, saya tidak menyadari betapa tidak nyamannya beberapa rekan tim saya berada di sekitar pelatih atau pejabat tertentu yang memiliki tindakan rasial. Ternyata masalahnya adalah sebagian besar pemain ingin mewakili AS untuk berada di Olimpiade atau Piala Dunia, dan mereka bangga berada di tim. Jadi mereka tetap diam saja dengan masalah itu.”
Meski begitu, percakapan-percakapan Hope Solo dan rekan setimnya masih menjadi hal-hal yang kurang diprioritaskan. Pasalnya, masalah ras seperti itu adalah masalah yang perlu diskusikan lebih jauh lagi, dan normalnya harus memiliki sebuah solusi untuk membereskan persoalan itu.
Padahal sebenarnya, pihak manajemen tim nasional Amerika bisa menyadari persoalan ras ini karena jumlahnya sangat jelas sekali terlihat. Amerika juga sudah sepatutnya membutuhkan lebih banyak pemain pria maupun perempuan dengan warna kulit yang bervariasi untuk mewakili tim nasional AS, dan membuang persoalan ras jauh-jauh dari lingkaran tim nasionalnya.
“Jadi, terdapat beberapa pemain berkulit berbeda yang mewakili USWNT (United States Women National Team), dan mereka adalah atlet hebat di dalam negeri. Namun mereka seperti terabaikan. Kita perlu membuka pikiran kita soal persoalan ras ini. Bayangkan saja jika ada pria seperti LeBron James bisa bermain sepakbola. Maka sistem ini perlu diubah,” jelas Solo.
“Banyak teman dekat saya adalah scout untuk pelatih Sepakbola atau akademi AS. Jadi saya melihat banyak hal dari kedua belah pihak. Saya tahu anak-anak dari daerah-daerah yang kurang terlayani diundang untuk melakukan uji coba satu kali, tetapi para scout dan pelatih itu perlu memiliki keterbukaan dalam melihat persoalan ras.”
“Dalam pengalaman saya, scout dan pelatih biasanya fokus hanya di pinggiran kota-kota besar -di mana biasanya ada tim MLS disitu-, dan mereka hanya menunggu anak-anak datang kepada mereka. Itulah alas an mengapa kita hanya melihat mayoritas siswa berkulit putih menengah atas bisa bermain di timnas.”
Ada beberapa anak hebat dalam program scout tersebut. Tetapi hal seperti ini bukan satu-satunya cara untuk menemukan bakat pesepakbola di Amerika. Tentunya, ada banyak variabel berbeda yang terlibat dalam membangun keragaman.
Namun, satu hal yang menonjol adalah bagaimana Federasi Sepakbola AS, sebuah organisasi nirlaba, seharusnya bisa merogoh kocek hingga 100 juta untuk diinvestasikan ke dalam sistem program pengembangan dan pencarian bakat.
Padahal Federasi Sepakbola AS sudah mendapatkan sisi profesional untuk sektor tim nasional. Akan tetapi pengembangan sepakbola pemuda dan amatirnya masih terabaikan. Dana 100 juta dolar itu seharusnya digunakan untuk pecarian bakat-bakat di dalam kota terpencil, komunitas pedesaan dan komunitas yang kurang terjamah lainnya. Federasi Sepakbola AS seharusnya tidak melulu berfikir tentang keuntungan jika masih banyak komunitas yang diabaikan.
Hal inilah yang juga dipersoalkan oleh Hope Solo, yang melihat jika Federasi Sepakbola AS masih belum punya niat besar untuk mendapatkan bakat mempuni dari berbagai daerah terpencil di Amerika. Maka tak heran jika puncak pengaruhnya kian muncul di bagian-bagian Federasi Sepakbola AS, termasuk di timnas sepakbola perempuannya yang memiliki masalah rasial.
“Saya berbicara tentang ras kulit berwarna ini karena kita semua harus melihat keragaman sosio-ekonomi. Ketika celah itu tertutup, kita akan melihat representasi Amerika yang sebenarnya. Dan ini buruk sekali. Saya bukan panutan bagi banyak perempuan dari berbagai ras, tetapi saya bisa merasakan penderitaan ini karena saya berasal dari keluarga yang berjuang secara finansial,“ ungkap Hope Solo.
“Saya menyimpan harapan dan impian saya untuk bermain bersama tim nasional. Saya memulai hidup dengan dedikasi, kerja keras, dan keuletan. Saya juga beruntung. Saya sangat menginginkan beasiswa kuliah, tapi akhirnya saya mencoba untuk bermain di tim nasional AS. Saya juga harus pergi ke Seattle -lokasi yang hampir lima jam dari kampung halaman saya di negara bagian Washington- untuk memperjuangkan ini.”
“Ibu saya berkata datar karena hal yang saya harapkan tidak mungkin terjadi. Tetapi saya adalah anak yang beruntung. Ketika saya mendapatkan informasi melalui selebaran, saya akhirnya berambisi mendapatkan peluang itu. Saya lalu pergi dari rumah ke rumah untuk mencuci mobil, dan mengumpulkan uang demi melakukan perjalanan panjang itu. Akhirnya, saya berhasil meraih mimpi saya.”
USWNT(United States Women National Team) saat ini mencakup beberapa pemain dari berbagai ras warna kulit, tetapi itu tidak serta merta menunjukkan keragaman sosio-ekonomi. Karena keragaman itu harus ditunjukkan dari sikap federasi dalam memberikan kemudahan yang sama dengan pemain yang dianggap lebih diuntungkan. Hal seperti ini masih menjadi persoalan di timnas sepakbola perempuan AS.
Briana Scurry adalah salah satu contohnya. Ia adalah perempuan berkulit hitam yang saat ini beranjak menjadi atlet hebat dan memiliki karir yang luar biasa dengan bermain bersama tim nasional perempuan AS.
Ia juga adalah contoh seseorang yang tidak berasal dari keluarga kelas menengah ke atas. Namun, menurut Hope Solo, ia tidak berpikir bahwa US Soccer akan menemukan pemain seperti Brianna dan dirinya jikalau bukan tanpa perjuangan keras. Kecuali, terdapat uang atau lokasi geografi yang sepihak dengan sistem Federasi Sepakbola AS. Mungkin orang-orang yang senasib Brianna dan Solo masih punya harapan untuk itu.
“Saya beruntung bisa bertemu dengan orang-orang luar biasa dari seluruh negeri. Saya biasa menyebutnya The Resistance. Mereka menginginkan reformasi dalam sepakbola Amerika. Mereka sangat bersemangat dengan permainan sepakbola. Mereka beragam, entah itu dari pria maupun perempuan ras kulit berbeda,” tandas Hope Solo.
“Saya juga sangat ingin bahwa federasi tahu masalah mereka. Perubahan itu sulit, dan sering berjalannya waktu, semakin banyak orang yang berdiri dan menuntut lebih baik. Maka semakin cepat kita bisa menggapai perubahan, maka persoalan ini bisa terselesaikan. Diam tidak pernah bisa mengubah dunia. Dibutuhkan tindakan yang berani dan suara dari banyak orang.”
Catatan Redaksi: Kutipan dilansir dari The Guardian