Kesehatan Mental yang Mengganggu Pesepakbola

Di luaran sana banyak yang merasa kalau menjadi pesepakbola adalah pekerjaan yang mudah. Apalagi, mereka juga dibayar mahal “hanya” untuk mencetak gol dan menjaga gawangnya tak kebobolan. Padahal, tekanan yang diterima para pesepakbola ini memengaruhi mental mereka.

Dalam dokumenter BBC “A Royal Team Talk: Tackling Mental Health”, pesepakbola seperti Peter Crouch, Danny Rose, hingga Gareth Southgate, menceritakan pengalaman yang cukup mengguncang mental mereka.

Postur Tubuh yang Membuat Crouch Menangis

Salah satu cerita mengejutkan datang dari striker veteran, Peter Crouch. Dengan tinggi mencapai dua meter, wajar kalau Crouch menjadi bahan perhatian, bukan karena kemampuan sepakbolanya, tapi karena penampilan fisiknya. Apalagi, tinggi badan Crouch tidak ditunjang dengan tubuh yang kekar, sehingga ia terlihat ringkih.

“Ketika aku tembus ke tim utama di Queens Park Rangers, orang-orang menilaiku hanya dari penampilan. Aku punya ukurang yang sana, dan mungkin lebih kurus ketimbang aku yang sekarang,” kata striker yang mencetak 108 gol dalam 468 penampilan ini.

Saat ini, Crouch tak terlalu menganggap hal ini sebagai sesuatu yang serius. Namun, tak ada remaja yang bisa dengan mudah melewati masa-masa ini, termasuk Crouch.

“Saya mengalami gangguan ini dan saya selalu menangis. Saya sering menangis di malam hari ketika saya masih berusia 14 atau 15 tahun. [Saya bertanya] ‘Ayah, mengapa aku tak sama seperti anak yang lainnya?”

“Penggemar sepakbola bisa begitu kejam,” kata mantan pemain Stoke City ini.

Salah satu yang menyakitkan adalah saat ia membela timnas Inggris pada 2005. Kala itu, Inggris tengah menghadapi Kolombia di Old Trafford yang merupakan debut Crouch di timnas. Namun, ia justru mendapatkan pelecehan dari suporter Inggris sendiri di tribun.

“Salah satu pertandingan pertama saya di Old Trafford, saya di-boo saat masuk lapangan, dan keluarga saya ada di sana. Itu mengerikan, saya bermain untuk Inggris, karena saya berbeda, saya merasa saya harus mencetak gol setiap pertandingan, dan untungnya saya bermain bagus,” kata Crouch.

Karena penampilan ini pula, Crouch merasa saat ini ada stigma yang merugikannya. Crouch tak pernah dianggap sebagai pemain utama. Ia hanya menjadi pelapis. “Aku selalu menjadi plan B,” ungkap mantan pemain Liverpool ini.

Southgate Lari dari Kejaran Media

Gareth Southgate saat ini mungkin dikenal sebagai pelatih Inggris paling sukses sejak 1990. Ia mampu membawa timnas Inggris yang tak diunggulkan, ke semifinal Piala Dunia untuk pertama kalinya sejak 28 tahun silam.

Mantan pemain Aston Villa dan Middlesbrough ini juga pernah membela timnas Inggris sebagai pemain. Ada satu momen di mana Southgate merasa begitu terpuruk. Kala itu, di Piala Eropa 1996, ia gagal mengeksekusi penalti dengan baik yang membuat Inggris kalah dari Jerman di semifinal. Tahu kalau ia akan jadi pusat perhatian, Southgate mengurung diri di rumah dan menghindari perhatian media.

“Proses setelahnya benar-benar amatir, bukan karena kesalahan siapapun selain apa yang ada di sana. Semua media nasional ada di luar rumah kami, jadi kami menghadapinya sendiri,” kata Southgate.

“Setiap 15-20 menit orang-orang mengetuk pintu bertanya apakah Anda bisa bicara ke koran ini. AKu tak ingin melakukan apapun. Segera setelah itu, ada perasaan ketika kamu pergi, ‘Ya, itu aku. Akulah yang membuat kita tersingkir.”

Kegagalan itu membuat Southgate harus menghadapi sindiran. Orang-orang akan mengenalnya sebagai “si cowok itu” yang menjurus pada kegagalannya membawa Inggris ke final.

Karena ini, sejak mengambil alih posisi manajer Inggris pada 2016, Southgate pun mulai mengubah pendekatan terhadap kesehatan mental pemain. Tujuannya untuk mencegah anak asuhnya menjadi terhambat.

“Saya memiliki keyakinan bahwa para pemain Inggris dapat bermain dengan cara yang berbeda. Saya melihat tim khawatir dengan tidak menikmati pengalaman lagi dan saya merasa kalau penting bahwa lingkungan diciptakan di mana para pemain dapat mencoba berbagai hal dan menunjukkan kemampuan yang mereka miliki,” kata Southgate.

Sebagai langkah awal, Southgate pun mulai mencoba membangun hubungan dan lingkungan di mana orang-orang bisa menjadi diri mereka sendiri. Southgate akan tahu ketika ada orang di ruang ganti yang punya masalah, sehingga ia akan langsung bicara pada mereka.

“Aku pikir semua orang merasa kalau itu hanya mereka (yang mengalaminya). Padahal, ruang ganti penuh dengan orang-orang dengan pengalaman yang sulit,” kata Southgate.