“Home Sweet Home”, ungkapan yang seringkali kita dengar mengenai nyamannya berada di rumah. Memang tidak ada yang lebih nyaman selain bisa berada di rumah sendiri. Pun bagi pemain sebuah kesebelasan. Bermain di hadapan pendukung sendiri jelas sebuah keuntungan karena dukungan dari para suporter tentu menaikkan mental pemain. Apalagi bagi pemain akademi yang berusia di bawah 21 tahun, lebih mudah bagi mereka bermain di “rumah” mereka.
Bukan rahasia lagi “home sweet home” tampaknya sangat diresapi pemain dari Inggris. Tercatat dalam dua dekade terkahir, hanya segelintir pemain Inggris yang berkompetisi di luar negara mereka. Anomali memang bagi yang berada di usia senja, di mana para pemain Inggris, bermain untuk klub-klub MLS. Namun selain itu, rasanya jarang pemain Inggris di rentang usia 20-29 tahun berkarir di luar Inggris. Sedangkan pemain Home Ground yang berasal dari negara di luar Inggris namun bermain untuk akademi klub Inggris pun setali tiga uang.
Kini Premier League yang dianggap salah satu liga terbaik dunia, tidak terlalu ramah bagi pemain muda Tim Nasional Inggris. Jangankan memainkan pemain muda Inggris, pemain senior pun kesulitan. Untuk menanggulanginya, Premier League membentuk kompetisi U-21, sekaligus menaikkan gengsinya seperti tim senior.
Nyatanya, pemain muda binaan klub-klub Inggris, masih bisa menunjukkan kualitasnya dengan meraih gelar Piala Dunia U-20 2017 dan Piala Dunia U-17 pada tahun yang sama. Gelar ini seakan menjadi oase segar di balik minimnya prestasi pemain muda Inggris. Namun hal unik kemudian terjadi. Para pemain muda ini memilih berkarir di luar Inggris. Di awali perpindahan Jadon Sancho ke Dortmund, terakhir Jonathan Panzo berlabuh bersama AS Monaco. Tentu banyak yang bertanya-tanya tentang ekspansi pemain muda Inggris ini.
Uang atau Jam terbang?
Kualitas pemain muda Inggris tidak bisa dianggap sebelah mata saat ini. Jadon Sancho membuktikannya musim lalu bersama Dortmund. Ia mencatatkan 12 penampilan dan mencetak satu gol. Tentu hal ini tergolong apik bagi pemain yang baru menginjak 18 tahun. Sancho sendiri didatangkan dari Manchester City dengan harga 10 juta Paun. Angka yang besar memang tapi rasanya sepadan.
Ekspansi pemain Inggris mayoritas menuju Jerman. Tercatat musim lalu ada tujuh pemain muda jebolan akademi Inggris yang bermain di Jerman, baik sebagai pemain pinjaman ataupun pembelian permanen. Adama Lookman (RB Leipzig, pinjaman), Reece Oxford (Monchengladbach, pinjaman), Mandela Egbo (Monchengladbach, permanen), Ryan Kent (Augsburg, pinjaman), Kylen Hinds (Wolfsburg, permanen), dan Kevin Danso (Augsburg, permanen).
Selain Jadon Sancho, Kevin Danso mencatatkan performa apik bersama Augsburg musim lalu. Danso memperkuat Augsburg sejak 2014. Danso bahkan tidak mengetahui mengenai klub Augsburg ketika tawaran datang kepadanya.
“Kevin baru saja pulang dari latihan bersama Dons (MK Dons), tawaran itu datang, saya bahkan harus mencarinya di game FIFA saya untuk melihat seragam Augsburg. Saya berdiskusi dengan ibunya, dan ibunya pun tidak mengetahui tentang mereka (Augsburg). Tapi dua minggu setelahnya saya melakukan analisis dan memutuskan Augsburg klub yang tepat”, ujar Manny Danso, paman Kevin yang membantu kepindahannya.
Kevin Danso sukses mencatatkan 16 penampilan bersama Augsburg. Kevin pun menjadi pemain penting di jantung pertahanan Augsburg. Danso juga sudah memperkuat timnas Austria di level senior.
Kepindahan para pemain akademi baik yang bermain bagi Tim Nasional Inggris maupun yang merupakan pemain Home Ground. Jelas didasari bahwa mereka akan kesulitan menembus tempat di tim utama klub Premier League. Mereka merasa membutuhkan jam terbang lebih meskipun dengan gaji yang lebih sedikit. Nyaris semua pemain muda yang melakukan eksodus ke luar tidak berharap gaji namun ingin menambah jam terbang.
Jadon Sancho merupakan anomali karena kualitasnya memang di atas rata-rata. Paul Pogba adalah yang memulai eksodus pemain akademi klub Inggris. Disia-siakan United kemudian bersinar di Juventus, harapan yang sama dipupuk para pemain muda ex-akademi klub Premier League ini agar bisa seperti Pogba.
Ditambah manajer klub Premier League menyukai pemain dengan dampak yang instan bagi klub. Para manajer tidak memiliki kesabaran dalam menunggu pemain tersebut mekar. Sulit bagi kita melihat Class of ’92 terulang lagi, atau era Arsene Wenger yang rutin mempromosikan bakat-bakat muda ke tim utama.
Untung-rugi Eksodus Pemain Muda
Tentu saja hengkangnya pemain muda mencari jam terbang berdampak baik bagi mereka. Kesempatan bermain jelas dibutuhkan para pemain muda ini, mengasah bakat, talenta, dan konsistensi mereka. Ini berdampak positif bagi akademi klub-klub Inggris karena dianggap sukses menelurkan bakat-bakat besar sepakbola. Seolah memang seperti simbiosis mutualisme memang.
Namun tidak menutup kemungkinan pemain muda tersebut gagal berkembang. Ravel Morisson merupakan kisah yang sering diceritakan bagaimana seorang pemain bertalenta gagal menunjukkan kelasnya. Jebolan akademi Manchester United ini bahkan disandingkan dengan Paul Scholes di era keemasannya. Inkonsistensi dan hengkangnya Morisson ke Lazio justru menghancurkan karirnya. Kini Morrison bermain untuk klub Mexico, Atlas.
Pun bagi klub, harga yang luar biasa mahal bagi seorang pemain sudah sering terlihat di bursa transfer. Jelas menjadi keuntungan apabila berhasil menemukan pemain dengan bakat dan berkembang pesat bersama klub, pihak klub tidak akan mengeluarkan biaya transfer sepeser pun. Lalu ketika para pemain berkembang dengan klub lain, biaya transfer hingga ratusan juta Paun harus mereka keluarkan bagi pemain yang ironisnya berasal dari akademi mereka.
Paul Pogba merupakan contohnya, berasal dari akademi United. Nasibnya membaik bersama Juventus, ironisnya Pogba kemudian dibeli lagi oleh United dengan memecahkan rekor transfer klub.
Mari berandai-andai apabila nanti salah seorang pemain jebolan akademi klub Inggris akan berkembang dan dibanderol dengan harga tinggi dan dibeli oleh klub Inggris dimana sang pemain dulu sempat menimba ilmu di klub tersebut. Berapa lama Sir Alex Ferguson akan tertawa melihat kejadian yang sempat menimpanya ketika memutuskan menjual Paul Pogba?