Kolonialisme Sebagai Kunci Inggris Modern

Foto; Metro.co.uk

Lewat buku autobiografi-nya, Ian Rush pernah mengatakan, “Andai saja saya membela tim nasional Inggris mungkin ada kesempatan untuk bermain di Piala Eropa dan dunia. Sesuatu yang tak pernah saya rasakan selama 16 tahun membela Wales”.

Rush tidak menyesal dengan pilihannya. Sejatinya, ia memang bukan orang Inggris. Dia lahir di St.Joseph, Wales. Membela the Dragons adalah opsi utamanya selama menjalani karier sebagai pesepakbola profesional.

Mencetak lebih dari 200 gol sepanjang kariernya, Rush memiliki peluang untuk membela the Three Lions. Meskipun tak memiliki darah Inggris seperti Ryan Giggs, menurut aturan FIFA, Rush boleh bermain untuk the Three Lions setelah dua tahun tinggal di sana.

Pasalnya, Inggris dan Wales masuk ke dalam Kerajaan Britania Raya. Mereka punya kartu penduduk yang sama terlepas dari negaranya. Aturan itu juga berlaku untuk pemain dari Irlandia Utara, Monserrat, Kepulauan Cayman, Turks dan Caicos, Anguilla, Gibraltar, serta Skotlandia (tergantung hasil Brexit).

Akan tetapi, Rush juga sadar, bermain untuk Inggris tidak baik untuk kariernya. “Media di Inggris kejam dan kritis terhadap pemain mereka. Saya tak boleh gagal mencetak gol jika bermain untuk mereka,” aku Rush. Apabila Rush membela Inggris, memori publik terhadap dirinya mungkin akan berbeda.

Sekitar 12 tahun pasca Rush pensiun dari tim nasional Wales, the Three Lions mulai terlihat memaksimalkan aturan FIFA. Piala Dunia 2018, Inggris dibela 11 pemain keturunan Karibia dan Afrika. Itu belum termasuk pemain seperti Harry Kane yang memiliki darah Irlandia.

“Fenomena ini jadi representasi dari Inggris modern,” kata Kepala Pelatih Inggris Gareth Southgate. Padahal keuntungan the Three Lions ini bisa ditelusuri kembali ke era kerajaan pertama mereka (1583-1783).

Alasan mengapa Inggris memiliki banyak pemain dengan keturunan Karibia dan Afrika ada dari pertukaran budak yang dilakukan pada masa tersebut. Negara-negara Karibia seperti Jamaika jadi lahan Kerajaan Britania. Raja Charles kedua kemudian memperbudak tenaga orang-orang Afrika untuk bekerja di bawah mereka.

Perebutan wilayah yang terjadi selama perang dunia hanya menambah jumlah tersebut ke tanah utama, Britania Raya. Bagaimana mereka menjadi imigran dan melanjutkan hidup di Irlandia, Wales, Skotlandia, atau Inggris.

Ini bukanlah sesuatu yang baru. Prancis, Belgia, hingga Swiss juga memanfaatkan talenta imigran untuk tim nasional sepakbola mereka. Bahkan sejak pertama tim nasional Inggris dibentuk, sudah ada pemain kelahiran Australia, Arthur Savage di dalamnya. Savage hidup di Inggris dan membela Crystal Palace sebelum dipanggil membela the Three Lions.

Ancaman Supremasi Kulit Putih

Selandia Baru, 15 Maret 2019, sebuah aksi teror terjadi di Kota Whitechurch. Mengincar kaum minoritas, teroris di sana berusaha membenarkan supremasi kulit putih sebagai landasan aksi mereka. Bahaya supremasi golongan tertentu ini memang tengah menjadi masalah di berbagai belahan dunia.

Bukan hanya Selandia Baru, tapi juga Amerika Serikat, Jerman, Prancis, dan lain-lain. Untuk beberapa negara, para teroris melihat warna kulit, sementara belahan dunia lain, agama jadi prioritas. Selalu ada cara untuk melihat orang lain lebih rendah dari mereka.

Sepakbola tidak terhindar dari masalah ini. Ketika Mesut Ozil dan Ilkay Gundogan foto bersama Presiden Turki Racep Tayyip Erdogan, hal itu digunakan para ekstrimis untuk menanamkan ideologi mereka. Saat Prancis menjuarai Piala Dunia 2018, hal serupa juga digunakan oleh mereka yang tidak suka melihat keturunan Afrika mewakili Les Blues.

Namun Inggris sedikit berbeda, setidaknya di sepakbola. Mereka tidak menghiraukan rasa nasionalisme sebagai dasar membela tim nasional. Hal paling utama adalah bukti bahwa mereka layak bermain untuk the Three Lions. Bukan sekedar diizinkan.

“Kami seperti memberi hadiah bagi dia karena sudah memilih Inggris ketimbang Republik Irlandia. Sekarang semua bergantung pada dirinya, level internasional begitu tinggi. Kami hanya bisa memberikan kesempatan dan lingkungan yang mendukung untuk talentanya,” kata Southgate setelah pemain naturalisasi, Jack Grealish dipanggil ke tim nasional U21.

Kasus Wilfried Zaha mungkin jadi gambaran paling pas untuk hal ini. Sempat menolak Pantai Gading untuk membela Inggris, Zaha kini terdaftar sebagai pemain Les Elephants.

“Saya seperti ditolak oleh tim nasional Inggris. Waktu empat tahun tergolong lama dalam sepakbola. Jadi ketika Pantai Gading masih menginginkan saya, tidak ada penyesalan lagi. Kini saya senang menolak Inggris dan bermain untuk Pantai Gading,” aku mantan pemain Manchester United itu.

Seperti kata sejarawan Britania, David Olusoga, “Dulu mungkin suporter sepakbola masih melakukan unjuk rasa. Menyuarakan rasisme dan xenophobia, tapi hal itu sudah dianggap keluar dari realita”.

Memperbaiki Citra Sepakbola Inggris

Pergeseran budaya yang dialami oleh Inggris menjadi sebuah anugerah tersendiri bagi the Three Lions. Ketika suporter sudah tak mempermasalahkan asal-usul seorang pemain, kini mereka bisa memaksimalkan hal itu untuk impor talenta ke luar negeri.

Entah sejak kapan, tapi Inggris memang memiliki catatan buruk ketika mengimpor talenta mereka ke luar negeri. Kemampuan adaptasi disebut menjadi salah satu penyebabnya. Tapi dengan gencarnya pemain-pemain keturunan imigran yang membela tim nasional, masalah itu mulai menemukan titik terang.

Jadon Sancho yang bersinar di Dortmund pada 2018/2019 merupakan keturunan Trinidad dan Tobago. Faktanya, lima dari enam pemain Inggris yang membela kesebelasan 1.Bundesliga memiliki darah negara dari lain. Hanya Smith Rowe (RB Leipzig – Arsenal) yang asli Inggris.

Bukan hanya Jerman, liga lain juga menggunakan talenta Inggris yang memiliki latar serupa. Marcus McGuane (Barcelona B), Ronaldo Vieira (Sampdoria) Marcus Edwards (Excelsior), Dan Crowley (Willem II), Sheyi Ojo (Reims), Josh Maja (Bordeaux), semua memiliki kewarganegaraan selain Inggris.

Southgate gencar meminta talenta Inggris tampil di luar negeri. “Jangan mengatakan ke saya bahwa kita tidak bisa [mengimpor pemain]. Jangan bilang kita tidak memiliki pemain yang cukup bagus untuk main di luar. Kenyataannya, kita punya banyak pemain itu,” kata Southgate.

Sekalipun mereka bukan asli Inggris, itu bukan masalah. Hal terpenting adalah memiliki kemampuan yang cukup bagus dan layak membela tim nasional. Buktinya untuk partai kualifikasi Piala Eropa 2020, Maret 2019, hanya ada delapan pemain asli Inggris dipanggil Southgate.

Mereka adalah James Ward-Prowse, Jordan Pickford, Jordan Henderson, Kieran Trippier, Jack Butland, Eric Dier, dan Trent Alexander-Arnold, dan Tom Heaton. Alexander-Arnold serta Dier pun sebenarnya bisa membela negara lain. Dier sempat mendapatkan tawaran dari Portugal. Sementara Alexander-Arnold bisa membela Amerika Serikat.