Libero: Perkenalan, “Kepunahan”, dan Perkembangannya di Masa Kini

Foto: Transfermarkt

Ada masanya peran libero sangat penting di sepakbola. Seperti peran playmaker di belakang dua striker (trequartista), ia pernah menjadi salah satu peran vital dalam keberhasilan tim-tim juara dalam menggapai keberhasilan. Namun sebelum lanjut membahasnya, apa sih sebenarnya libero?

Berawal dari Italia, negara yang hingga kini menjadi benchmark pengembangan taktik, peran libero mulai dikenal pada dekade 1960-an. Pada era tersebut, Italia bertanggung jawab menciptakan Cattenaccio alias pertahanan gerendel. Saking mempengaruhi perkembangan taktik saat itu, Italia turut menularkan virus pertahannnya ini ke negara-negara tetangganya. Inggris yang berhasil memenangkan trofi Jules Rimet a.k.a Piala Dunia 1966, tak luput dari peran kaptennya saat itu, Bobby Moore, yang menurut media-media merupakan contoh bek bertipikal ball playing atau libero.

Menariknya, ada beberapa versi mengenai siapa yang “memperkenalkan” peran libero ini kepada khalayak luas. Alexandru Apolzan, legenda timnas Romania yang bermain untuk Steaua Bucuresti usai PD II. Posisi yang diperankannya sebenarnya merupakan reaksi untuk menghadapi timnas Brazil yang terkenal mematikan dengan formasi 4-2-4 nya saat itu.

Tren ini pula yang bertanggung jawab mengubah salah satu pemain sepakbola hebat yang pernah dilahirkan tanah Bavaria, Franz Anton Beckenbauer. Der Kaizer – julukannya- bahkan menjadi arketipe peran libero hingga kini. Bersama Nandor Hidegkuti yang “memperkenalkan” false nine kepada khalayak, Beckenbauer telah memperkenalkan posisi ini sebagai “Beckenbauer role”.

Salah Kaprah Tentang Libero

Meskipun istilah peran libero ini tidak asing bagi penggemar sepakbola yang lahir di era 90-an (maupun sebelumnya), kerapkali terjadi kesalahpahaman mengenai peran libero. Sebagian mengangap libero adalah bek yang diberi kebebasan atau simpelnya, playmaker yang ditaruh di belakang. Namun ada pula yang menyebut libero tak ubahnya sweeper alias tukang sapu bola. Manakah yang lebih tepat?

Kata ‘libero’ dalam bahasa Italia berarti: bebas. Italia tak hanya dikenal sebagai pencetus peran taktikal, dengan kekayaan bahasanya, ia juga mampu melahirkan istilah-istilah baru. Di era 70 hingga 90-an, tren pengunaan 5 orang pemain belakang hampir bisa ditemukan di berbagai kesebelasan, misal dalam formasi dasar 5-3-2.

Libero biasanya diapit dua bek tengah (centre back) dan berdiri lebih dalam dibandingkan kedua rekannya. Karena posisinya berada di belakang dan bertugas untuk menyapu bola “kotor” sisa tekel pemain bertahan lainnya, ia juga disebut sweeper (penyapu).

Libero seperti yang diperkenalkan Beckenbauer atau Gaetano Scirea, memperlihatkan bahwa seorang libero haruslah memiliki syarat-syarat: memiliki visi, skil dribling yang baik, serta memiliki kemampuan mencetak gol dari jarak jauh. Kemampuan tersebut amatlah berguna dikala kesebelasan memperoleh peluang untuk melepaskan counter attack.

Yang harus digarisbawahi, bahwa tugas libero berbeda dengan bek tengah pada formasi 4 bek sejajar. Jika bek lain bertugas mengkover area dan mengawal (marking) secara man-to-man, maka libero tak dibebani tugas tersebut.

Masih ingat keberhasilan Yunani menjuarai Piala Eropa 2004? Banyak yang lupa kalau pelatih mereka, Otto Rehhagel, adalah salah satu penganut sepakbola defensif. Rehhagel berhasil mentransformasi seorang Traianos Dellas menjadi seorang sweeper bertahan.

Kepunahan “Libero” di Sepakbola Masa Kini Serta Evolusinya

Hampir tiga dekade sejak diperkenalkan, peran libero masih dapat dijumpai, meskipun di era 90-an bisa dihitung jari. Lalu mengapa peran libero mengalami kepunahan?

Pertama, berkembangnya tren zonal marking. Karena munculnya berbagai varian penyerang, gelandang serang, maupun pemain sayap, seorang bek tengah tak bisa lagi hanya mengandalkan man-to-man marking. Karena itulah, penjagaan berbasis area menjadi muncul. Hal ini secara langsung membuat peran libero menjadi terbuang. Karena secara logika, ia tak bisa lagi mengambil keuntungan dari “bola liar” yang dapat dimanfaatkan menjadi peluang serangan balik.

Kedua, berubahnya peraturan offside. Sebelum adanya peraturan baru, seorang pemain yang berada di belakang libero otomatis akan terjebak dalam posisi offside. Namun berkat revisi offside pada 2013 lalu yang menyatakan bahwa pemain dapat dikatan offside jika ia mengejar bola (pemain ada di belakang bola bergerak). Hal ini membuat libero menjadi terbagi perhatiannya antara “menjebak” offside dan menyapu bola (dikarenakan ia adalah pemain outfield terakhir yang berada di lini belakang).

Ketiga, berubahnya gaya bermain. Karena populernya filosofi yang mengutamakan penguasaan bola, maka tuntutan untuk memperkuat lini tengah adalah wajib hukumnya. Hal ini pula yang menyebabkan munculnya peran baru, yakni gelandang yang berada di antara barisan pemain belakang dan barisan pemain tengah, atau populer disebut: Deep-lying midfielder. Adanya gelandang bertahan ini memungkinkan untuk menguasai bola lebih banyak serta memblok serangan yang hendak masuk ke area pertahanan.

Sekilas, peran deeplying midfielder ini mengisyaratkan adalnya “evolusi” dari peran libero. Terlepas dari varian perannya, seperti regista atau deep-lying playmaker sama-sama menuntut seorang pemain harus memiliki kemampuan mengontrol serta membangun serangan dari “belakang” dengan berbagai cara. Mattias Sammer bisa dibilang sebagai libero terakhir yang mendapatkan legacy sebagai libero di akhir 90-an. Di era ini juga terjadi perubahan yang membuat peran libero ini berubah menjadi deep-lying midfielder.

Josep Guardiola juga bertangung jawab atas penggunaan tren ini di era modern. Semasa melatih Barcelona, ia mengubah peran gelandang bertahan menjadi seperti sweeper atau libero di era kejayaannya. Siapa lagi kalau bukan Sergio Busquets. Fitur dari permainan gelandang bertahan ini sangat penting untuk mempertahankan kepemilikan bola karena secara efektif menciptakan situasi 4 vs 2 di belakang, membantu dalam retensi bola.

Barcelona era Guardiola. Kiri: penguasaan tanpa bola, kanan: penguasaan dengan bola. Perhatikan posisi pemain No. 6

Gelandang penyapu ini juga berfungsi melindungi bek tengah ketika lawan berada meluncurkan serangan balik, dan membantu transisi tim dari serangan ke pertahanan. Meskipun peran yang dimainkan oleh Busquets tidak sama dengan yang dimainkan pemain-pemain seperti Scirea di era 1960-an dan 1970-an, tapi tujuannya sangat mirip.

***

Peran libero atau sweeper ini bisa jadi dianggap telah punah bagi sebagian orang. Namun bila dicermati, penerapannya di era sepakbola masa kini telah berubah luas meskipun masih memiliki roh yang sama. Terkadang ada benarnya yang dikatakan William Shakespeare: “What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.”

Libero pada akhirnya menjadi sebuah pondasi dan warisan yang menjadi sangat penting keberadaannya dalam taktik sepakbola modern, terlepas ia telah berkembang dalam bentuk lain dengan “nama” yang berbeda.