Dahulu kala, ada masanya ketika Inggris pernah merajai Liga Champions Eropa. Sekarang, pelan-pelan masa jaya itu akan kembali ke Inggris. Ya, klub Inggris mulai mampu bicara banyak di Eropa.
Pada musim 2007/2008 silam, jagat Liga Champions Eropa dikejutkan oleh All English final yang terjadi untuk pertama kalinya, mempertemukan antara Chelsea melawan Manchester United di Stadion Luzhniki. Setelah Spanyol dan Italia melakukannya terlebih dahulu. Inggris menjadi negara ketiga yang sukses mengirim dua wakilnya ke partai final Liga Champions.
Ciamiknya prestasi Inggris pada musim 2007/2008 tersebut membuat nama sepakbola Inggris mulai terpandang di Eropa. Apalagi di babak semifinal saja, pada musim tersebut, Inggris mengirimkan tiga wakil di babak semifinal, yakni Chelsea, Liverpool, dan Manchester United. Ketiganya mengapit Barcelona yang akhirnya ditumbangkan United di partai semifinal.
Pada musim 2008/2009, tiga wakil Inggris kembali menjejak partai semifinal, yakni Chelsea, Arsenal, dan Manchester United, kembali mengapit Barcelona. Namun, Barca yang ketika itu sudah ditangani Pep Guardiola memberontak. Mereka sukses mengalahkan Chelsea di semifinal, lalu kemudian mengalahkan United di final.
Setidaknya, jelang tahun 2010-an, sampai terakhir ketika Chelsea menjuarai Liga Champions tahun 2011/2012-an, klub Inggris kerap unjuk gigi di kompetisi Eropa. Namun selepas itu, awan kelabu menghampiri klub-klub Inggris, membuat mereka sulit bersaing dengan klub asal Spanyol, Italia, bahkan Jerman sekalipun.
Namun, perlahan matahari mulai terbit dari balik Istana Buckingham. Lama terdiam, sekarang klub Inggris mulai menggeliat. Mereka mulai kembali menunjukkan diri sebagai tim yang apik. Tim yang pantas diperhitungkan di kancah kompetisi Eropa.
Sempat Temaram, Lalu Bangkit Kembali
Harus diakui sejak terakhir menjadi juara Liga Champions musim 2011/2012, gaung klub Inggris tidak lagi terdengar Eropa. Paling banter, langkah mereka hanya sampai babak 16 besar. Mereka tidak mampu lagi melangkah jauh seperti musim-musim sebelumnya (hanya Chelsea yang sanggup melangkah ke semifinal pada musim 2013/2014).
Temaramnya langkah klub Inggris di Liga Champions (juga di Liga Europa) ini merupakan buntut dari kebijakan kompetisi di Inggris itu sendiri. Sejak awal 2010-an sampai sekira musim 2016/2017, prioritas kompetisi di Inggris bukanlah pada prestasi. Pundi-pundi uang lebih mereka kedepankan, sehingga ada adagium yang menyebut bahwa kompetisi di Inggris itu bukanlah tempat untuk mengasah kemampuan, melainkan tempat untuk menebalkan dompet.
Alhasil, prioritas kompetisi yang berorientasi kepada uang membuat klub Inggris sulit bicara di kompetisi Eropa. Saat itu terjadi, klub-klub Spanyol, Jerman, dan Italia sedang gencar melakukan pembinaan pemain. Di tiga negara tersebut, tidak cuma pemain andal, pelatih-pelatih mumpuni juga bertebaran, menjadi sosok yang mampu mengeluarkan talenta dari pemain yang mereka miliki.
Oleh karena itu, jangan heran jika Spanyol bahkan sampai menggelar All Spanish final pada musim 2013/2014 dan 2015/2016. Jangan heran juga jika Juventus dua kali mampu menembus partai final Liga Champions, serta jangan heran juga jika laga Der Klassiker dapat dihelat di panggung sebesar partai final Liga Champions musim 2012/2013.
Sadar bahwa ada kekurangan, pembenahan pun dilakukan. Orientasi pada prestasi mulai digenjot. Pemain muda asli Inggris dibina. Pelatih-pelatih andal didatangkan dari luar negeri. Dari sinilah, sinar klub Inggris di kompetisi Eropa mulai menyala kembali. Hal itu terbukti pada musim 2017/2018, kala klub Inggris menuai buah dari proses yang mereka lakukan bertahun sebelumnya.
Di musim tersebut, total lima klub Inggris karena di musim sebelumnya United juara Liga Europa) lolos ke fase gugur. Mereka adalah United, Tottenham Hotspur, Manchester City, Liverpool, dan Chelsea. Meski pada akhirnya hanya Liverpool yang sanggup melaju sampai partai puncak (itu pun usai mereka mengalahkan City di babak 8 besar), setidaknya hal ini menjadi cermin dari bangkitnya klub Inggris di kompetisi Eropa.
Di babak final pun, sebelum diwarnai cedera Mohamed Salah dan gol akrobatik Gareth Bale, Liverpool mampu memberikan perlawanan sengit. Mereka kalah memang. Tapi, setidaknya mereka kalah secara terhormat dari klub yang sudah kenyang akan pengalaman tampil di partai final Liga Champions.
Pada musim 2018/2019, raihan apik klub Inggris kembali berlanjut. Empat wakil mereka, yakni United, City, Tottenham, dan Liverpool, sukses melaju ke fase gugur Liga Champions. Meski masih jauh untuk menakar peluang keempat tim tersebut melaju ke final, setidaknya capaian ini merupakan sesuatu yang mesti diapresiasi.
Bukan cuma di level klub, pengaruh apiknya penampilan klub Inggris ini juga berdampak pada prestasi Timnas Inggris di ajang internasional. Selain sukses menjejak partai semifinal Piala Dunia 2018, di usia U-17 dan U-20, Inggris sukses menjadi juara dunia. Di ajang UEFA Nations League pun, mereka berhasil menembus partai semifinal usai menjadi juara grup di Grup 4 Liga A.
Segala capaian apik ini pun mengangkat posisi Inggris di klasemen FIFA. Saat ini, mereka menduduki peringkat 5, unggul atas Spanyol dan Argentina. Dari level klub, impaknya terasa sampai ke Tim Nasional.
Sosok-Sosok di Balik Bangkitnya Sepakbola Inggris
Sebagaimana di kompetisi negara lain, hadirnya sosok-sosok tertentu di Inggris menjadi awal dari kebangkitan sepakbola Inggris itu sendiri. Jika ditelisik, ada beberapa sosok yang menjadi pangkal dari kebangkitan sepakbola Inggris beberapa tahun ke belakang. Sosok yang mencintai proses dan tidak melulu menngutamakan hasil.
Yang pertama adalah Mauricio Pochettino. Hadir di Inggris pertama kali saat menjadi pelatih Southampton, ia membawa sebuah perubahan kecil di St. Mary. Mengandalkan para pemain muda Inggris serta para pemain bertalenta dari luar negeri yang berharga murah, Pochettino mampu menyulap Southampton jadi tim yang luar biasa.
Kepercayaan yang ia berikan kepada pemain Inggris saat itu macam Adam Lallana, Luke Shaw, Rickie Lambert, Jay Rodriguez, dan Nathaniel Clyne membuat para pemain Inggris itu berkembang sedemikian rupa. Tidak cuma itu, gaya main tekanan tinggi dan pergantian posisi yang ia terapkan, dipadukan dengan kecepatan para pemain, membuat para pemain yang ia asuh termaksimalkan potensinya.
Hal yang sama juga ia lakukan saat menangani Tottenham. Mampunya Harry Kane, Dele Alli, Kyle Walker, Eric Dier, Harry Winks, Danny Rose, serta beberapa pemain muda Inggris lain menembus skuat Timnas Inggris dan mampu mencicipi atmosfer Liga Champions, semuanya berkat asuhan dari Pochettino. Tanpanya, regenerasi dalam skuat Inggris mungkin akan pudar.
Kedua adalah Juergen Klopp. Pelatih yang dikenal dengan sepakbolanya yang keras ini mulai ikut berkontestasi di Inggris bersama Liverpool. Di bawah asuhannya pula, Liverpool sukses ia bawa ke tiga partai final turnamen utama, yakni Piala Liga, Liga Europa, dan Liga Champions.
Di bawah asuhannya, nama-nama seperti Jordan Henderson, Trent Alexander-Arnold, James Milner, Joe Gomez, Alex Oxlade-Chamberlain, Daniel Sturridge, dan Dominic Solanke berkembang sedemikian rupa. Sepakbola metal yang ia ajarkan membuat para pemainnya menjadi pemaun yang tak kenal lelah, dengan gaya main tekanan tinggi dan kemauan untuk mengejar bola tanpa henti.
Ketiga adalah Pep Guardiola. Hadirnya sosok Spanyol di Inggris ini memang menjadi puncak dari revolusi sepak bola di Inggris. Filosofi sepakbola yang ia bawa, filosofi yang sudah sukses di Jerman dan Spanyol, membawa perubahan besar di Inggris. Gareth Southgate, pelatih Timnas Inggris, bahkan dikabarkan pernah berdiskusi dengannya soal formasi terbaik untuk Inggris.
Mengasuh nama-nama macam Raheem Sterling, John Stones, Fabian Delph, serta Phil Foden, Guardiola juga menerapkan gaya main yang kelak menjadi acuan tersendiri di Inggris. Mirip seperti Pochettino yang mengandalkan tekanan tinggi, umpan pendek, dan pergerakan pemain yang dinamis, bedanya, Guardiola mengantongi banyak rencana B jika rencana A yang ia miliki tidak jalan. Di sinilah kehadiran Sterling sebagai penerobos diperlukan.
Hadirnya Guardiola juga membuat para pelatih Inggris lain berpikir, bagaimana caranya mengalahkan City. Alhasil, pemahaman mengenai gaya main Guardiola inilah yang sukses merasuk, dan menjadi sebua gaya yang sudah dihafal betul oleh para elemen sepakbola Inggris, terutama pelatih dan pemain.
Ketiga pelatih itu, sejajar dengan sosok lain macam Antonio Conte, Jose Mourinho, dan Maurizio Sarri sekarang, membawa perubahan besar di benak masyarakat Inggris. Dari mereka, sepakbola Inggris belajar tentang taktik dan tidak hanya menjadi tim yang asal lari di atas lapangan tanpa tujuan jelas. Terkhusus Guardiola, Klopp, dan Pochettino, taktik mereka menjadi cocok karena sesuai dengan kultur tendang dan lari a la Inggris.
Kalau boleh menarik lagi siapa yang memengaruhi ketiganya, seperti dilansir The Guardian, ada nama Marcelo Bielsa di belakangnya. Semakin menarik, manakala Bielsa pun sekarang melatih di Inggris, tepatnya di Leeds United.
***
Atas prestasi yang mereka raih di kompetisi Eropa saat ini, bisa dibilang hal itu merupakan buah dari proses yang sudah mereka lakukan beberapa musim ke belakang. Tidak cuma merekrut pelatih jempolan, pembinaan usia muda dengan mengandalkan akademi yang ada dan kompetisi usia muda yang berjenjang menjadikan Inggris mampu bicara lagi di kompetisi Eropa.
Asal proses ini terus berlanjut, dengan regenerasi apik yang terus berjalan, Inggris akan tetap mampu bicara di kompetisi Eropa. Efeknya, hal itu akan berpengaruh terhadap peningkatan level pemain asli Inggris, karena mereka dapat merasakan atmosfer kompetisi Eropa. Efek jauhnya, Timnas Inggris akan diisi pemain-pemain berkualitas.
Jika ini terus berjalan dengan benar, maka jangan heran dalam satu atau dua musim ke depan, akan ada klub Inggris yang jadi juara kompetisi Eropa. Yah, asal jangan menjadikan uang sebagai patron lagi saja.