Manchester City dan Saudara-Saudaranya yang Tak Berguna

Foto: ESPN.

Hanya dua minggu setelah mengakuisisi kesebelasan divisi dua Tiongkok, Sichuan Jiuniu, City Football Group (CFG) disebut akan kembali memperluas daerah kekuasaannya. Kali ini mereka mengincar pasar Asia Selatan dengan menengok ke India.

“Kami sudah dua tahun mengincar India. CFG memiliki pasar di negara-negara yang punya gairah besar soal sepakbola. Bukan hanya Tiongkok, tetapi juga India. Kemungkinan besar tahun ini kami akan meresmikan kesebelasan India,” ungkap Kepala Eksekutif CFG Ferrari Soriano.

Sejauh ini CFG telah memegang saham tujuh kesebelasan di seluruh penjuru dunia. Mulai dari Manchester City sebagai pusat aktivitas dan alat ukur mereka, hingga CA Tarque yang akan bermain di Uruguay pada 2019.

Tidak semua kesebelasan milik CFG menuai kesuksesan seperti Manchester City, tapi bukan berarti mereka akan berhenti memperbesar kerajaannya. Menurut Soriano dalam 10 tahun ke depan, CFG mungkin akan memiliki tiga kesebelasan baru di bawah kendali mereka.

“Saya bisa melihat 10 tahun ke depan akan ada dua atau tiga kesebelasan baru yang kami ambil alih. Kami akan memiliki lebih dari tujuh kesebelasan, tapi tak mungkin sampai 100.”

“Melihat perkembangan saat ini, hal itu sangat mungkin terjadi, tiga kesebelasan baru pada 2022. Apakah angka tersebut akan bertambah? Mungkin, saya bukan sosok yang bisa lihat masa depan,” tambahnya.

Bisnis A la Red Bull

https://www.instagram.com/p/BqxEcKkBUFe/

Saat membicarakan kepemilikan berbagai kesebelasan di bawah satu kelompok, CFG bukan yang pertama melakukan hal ini. Perusaahaan minuman energi asal Austria, Red Bull telah melakukan hal yang sama lebih dulu ketimbang CFG.

Red Bull sejauh ini memiliki empat kesebelasan, RB Leipzig, RB Salzburg, RB Brasil, serta NYRB. Sering kali empat kesebelasan ini melakukan bisnis internal untuk memperkuat satu sama lain.

Pemain yang membela RB Salzburg berpeluang besar akan pindah ke Jerman dan bermain untuk RB Leipzig. Kemudian saat mereka sudah uzur dan tidak bisa lagi bermain pada level tertinggi Eropa, NYRB jadi pelabuhan berikutnya.

Sementara RB Brasil, kesebelasan yang memiliki popularitas paling rendah dari saudara-saudaranya menjadi distributor talenta muda Brasil untuk kesebelasan Red Bull di Eropa.

Pada Liga Europa 2017/2018, ketika RB Leipzig bertemu RB Salzburg di Liga Europa, sudah ada 20 transaksi pemain yang dilakukan kedua kesebelasan tersebut. RB Leipzig membeli 14 pemain dari Salzburg. Sedangkan kubu Austria memboyong enam pemain dari Jerman.

Angka itu bertambah setelah Amadou Haidara mendarat di Leipzig pada Januari 2019 dan Philipp Kohn pergi ke arah berlawanan enam bulan sebelumnya. Itu juga belum termasuk transfer antara Leipzig dengan NYRB ataupun Salzburg dan RB Brasil.

Saat RB Leipzig dan Salzburg sama-sama lolos ke kompetisi antar klub Eropa, sebenarnya status kepemilikan mereka dipermasalahkan oleh kesebelasan-kesebelasan lainnya. Tetapi, UEFA sebagai badan sepakbola Eropa mengatakan dua kesebelasan itu tak memiliki ikatan.

Hal ini bisa terjadi karena peraturan 50+1 di Jerman. Berkat aturan tersebut, RB Leipzig secara de facto merupakan milik suporter, sementara Salzburg adalah kesebelasan Red Bull. Sekalipun suporter Leipzig mayoritas adalah pegawai Red Bull, hal itu tidak menjadi masalah di mata UEFA.

Otak Kredit Keluarga Pozzo

Foto: These Football Times

Peraturan 50+1 dari Jerman membuat Leipzig dan Salzburg tetap bisa berprestasi meski hubungan antara keduanya terlihat jelas. Hal ini tidak pernah dirasakan oleh kesebelasan milik Keluarga Pozzo: Granada, Watford, dan Udinese.

Keluarga Pozzo bisa disebut sebagai orang pertama yang mempopulerkan kepemilikan di berbagai klub sepakbola. Semua mulai dari Giampaolo Pozzo yang menguasai Udinese, sampai turun ke anaknya, Gino Pozzo, pemilik Granada dan Watford.

Beda dengan Red Bull yang melakukan bisnis jual-beli antara satu sama lain, Pozzo hanya meminjamkan pemain mereka ke tiga kesebelasan itu sampai kontraknya, habis.

Terhitung sejak 2008/2009, sudah ada 31 pemain yang diboyong Watford dari Udinese, dan 16 adalah pemain pinjaman. Begitu juga di Granada, 31 pemain diboyong dari Udinese, 27 berstatus sebagai pinjaman. Sedangkan Udinese telah memboyong 27 pemain dari dua tim tersebut, dan 10 adalah pemain pinjaman.

Saat pemain tidak didatangkan dengan status pinjaman, mayoritas bebas transfer ataupun dengan dana yang dirahasiakan. Koneksi antara tiga kesebelasan itu membuat tidak semua dapat meraih prestasi yang sama. Udinese sebagai kesebelasan milik Pozzo tertua biasanya diutamakan untuk tampil di kompetisi antar klub Eropa.

Granada sebagai kesebelasan dengan prestasi paling minim di antara ketiganya kemudian dilepas Pozzo ke investor asal Tiongkok pada 2016. Sejak saat itu, hanya satu pemain yang datang dari Udinese atau Watford ke Granada.

Manchester Sebagai Distributor dan Pelabuhan

Foto: NYCFC Nation

Pozzo dan Red Bull mungkin menguasai kesebelasan yang memiliki prestasi dan pamor di bawah Manchester City. Tapi setidaknya, kesebelasan-kesebelasan mereka saling membuat satu sama lain menjadi lebih kuat. Ada hal nyata terlihat dari pergerakan transfer mereka.

Hal ini tidak nampak dalam kesebelasan-kesebelasan City Football Group. Manchester City sebagai pusat organisasi tidak lebih dari tim distributor yang meminjamkan pemain-pemain muda mereka dan menjadi pelabuhan bagi penggawa New York, Melbourne City, dan lain-lain sebelum mereka bermain di Eropa.

Mayoritas dari mereka tidak akan menembus tim utama Manchester City. Tapi hanya akan dijadikan uang untuk menambah pundi-pundi CFG dan Manchester City. Mungkin dengan begitu mereka dapat terbebas dari Financial Fair Play (FFP). Mungkin.

Dengan kata lain, Manchester City dan CFG hanya menggunakan kesebelasan-kesebelasan lainnya sebagai alat memutar uang. Terdengar kejam memang, dasar sepakbola modern!

Namun, sejak awal CFG lahir hal ini memang sudah jadi dasar dari pengembangan mereka. New York City FC merupakan saudara pertama Manchester City dan alasan CFG membuat tim tersebut tidak lebih dari memutar uang.

Awalnya MLS mengincar Barcelona untuk membuat kesebelasan di Amerika Serikat dan mengisi jatah ekspansi liga. Namun, FC Barcelona tidak mau melakukannya. Manchester City masuk, menggandeng New York Yankees dan menggelontorkan 100 juta dollar untuk membangun New York City FC.

Pada dasarnya Manchester City memang tidak membutuhkan saudara-saudara mereka, kerap kali pemain-pemain muda yang dipinjamkan ke sana juga pada akhirnya dilepas. Tidak bermain untuk Manchester City.

Mereka menggunakan koneksi yang ada dengan cara yang berbeda dengan Pozzo atau Red Bull. Bukan untuk memperkuat tim tapi alat bisnis. Perbedaan level yang jauh antara The Citizens dengan saudara-saudara mereka membuat kesebelasan asal Manchester itu tidak bergerak seperti Watford-Udinese ataupun RB Leipzig-Salzburg.

Secara kasat mata memang terlihat tak berguna. Padahal hanya berbeda, dan beda dengan mayoritas bukan berarti mereka salah. Hanya beda saja.