Mengenal Karakter Ultras di Liga Italia

Di seluruh Italia, para ultras menegaskan popularitas kelompoknya yang semakin meningkat di kalangan pendukung sepakbola. Keberadaan mereka mulai dibentuk pada akhir 1960. Kala itu, para pendukung dari AC Milan, AS Roma, Hellas Verona, Internazionale Milan, Sampdoria, dan Torino, membentuk kelompok garis keras berideologi sayap kanan maupun romantisme dan pemberontakan sayap kiri.

Kelompok-kelompok ultras pun lebih terkordinasi pada pertengahan 1970-an. Bahkan setiap klub besar, bisa sampai didukung lusinan kelompok ultras. Terhitung ada sekitar 382 kelompok ultras yang secara ekplisit begitu politis di Italia sampai akhir 2016.

Dideteksi juga ada 40 kelompok ultras menganut sayap kanan dan 20 lagi merupakan berideoligi sayap kiri. Kadang-kadang, label ultras telah sedikit mengarah ke arah Neo Fasisme untuk menghina pemain lawan maupun lingkungan sekelilingnya.

Begitu pun ketika ingin memblokir pembelian pemain yang tidak mereka sukai. Ini adalah sebuah faksi antisemitika kecil dari ultras yang biasanya pada klub timur laut. Salah satunya seperti di Udinese yang keberatan mendapatkan Ronnie Rosenthal penyerang beradarah Israel.

Begitu pun ketika pemain Belanda, Aron Winter, ayahnya muslim dan ibunya yahudi, didatangkan Lazio pada 1992, grafiti disemportkan di luar tempat latihan klub bertulis “Winter Raus”. Sebuah gema dari kata-kata “Juden Raus” dari Nazi.

Catatan Kekerasan Ultras di Italia

Selalu ada sisi gelap pada ultras. Mereka telah menjadi pusat kekerasan paling banyak di teras sepakbola dalam 50 tahun terakhir. Di setiap kota, ultras selalu mengintai dengan cara yang sama, yaitu perkelahian, penusukan, penembakan, membuat aliansi, dan kesepakatan bisnis.

Meskipun dalam beberapa hal ultras sebanding dengan hooligan-hooligan Inggris gaya lama, mereka mengambil perencanaan mereka ke tingkat kuasi-militer. Mereka menyergap saingannya untuk mencuri spanduk atau bendera musuhnya.

Setiap kelompok memiliki tempat pertemuannya sendiri. Biasanya di sebuah bar atau klub anggota pribadi yang dipenuhi dengan logo, slogan, dan memorabilia. Ketika ultras semakin berpengaruh, jumlah orang yang terluka di dalam dan luar stadion sepakbola meningkat. Pada musim 1995/1996 cuma 400, kemudian menjadi 1.200 pada 1999/2000.

Claudio Spagnolo dari Genoa yang ditusuk ketika perjalanan ke stadion pertandingan, Vincenzo Paparelli dari Lazio meninggal karena roket yang kepalanya terkena tembakan, Antonio Curro terbunuh ketika pendukung Catania melempar bom rakitan kepada kelompok pendukung Messina dan lainnya.

Pada 2004, sekelompok ultras Roma menyebabkan pembatalan pertandingan Derby melawan Lazio empat menit jelang babak kedua setelah rumor bahwa ada seorang anak laki-laki telah dibunuh di luar oleh polisi.

Ultras dari kedua belah pihak memprotes keras aksi polisi tersebut. Francesco Totti, kapten Roma saat itu dikelilingi pemimpin ultras yang mengatakan kepadanya agar tidak melanjutkan permainan.

Totti pun berjalan kepada pelatihnya, “Jika kami bermain, mereka akan membunuh kami,” ujarnya pada laga tersebut.

Padahal, nyatanya tidak ada pembunuhan yang terjadi di stadion tersebut. Final Coppa Italia 2013/2014 antara Napoli dengan Fiorentina pun dirusak oleh kekerasan Ultras Roma sebelum pertandingan di Stadion Olimpico.

Pemimpin ultras Roma menembak tiga fans Napoli dan salah satunya meninggal. Alhasil pertandingan ditunda selama setengah jam. Pada 2012, ultras Genoa melemparkan kembang api ke lapangan dan berteriak kepada para pemainnya untuk melepas baju mereka karena dikalahkan Siena dengan skor 0-4.

Semua pemain kecuali satu pemain menanggalkan bajunya. Tidak hanya protes kepada pemain, ada pun pengancaman boikot seluruh stadion yang akan merugikan klubnya sehingga kehilangan pendapatannya dalam nominal jutaan

Bisnis Gelap Ultras di Italia

Ultras juga selalu terlihat dalam bisnis gelap. Mulai dari penjualan tiket, barang dagangan palsu, bahkan perdagangan senjata dan narkotika. Inilah aliansi dan kesepakatan bisnis ultras di Italia. Beberapa dari mereka yang tertarik ke dunia ultras bukan penggemar, tapi para penjahat kecil yang berharap mendapatkan uang dengan mudah.

Sebelum pertandingan besar, markas ultras tampak seperti berada di ruang belakang sebuah bank. Di markas mereka dikelilingi dengan tumpukan tiket dan uang kertas ditambah dengan kalkulator. Tiket pertandingan sepakbola di Italia seperti roti dan mentega yang berkompromi dan isinya adalah tiket musiman.

Setiap awal musim, salah seorang ultras pergi ke seluruh kota untuk menyewa kertu identitas dari orang-orang yang tidak menyukai sepakbola untuk diduplikasi. Kemudian ia memfotokopi ratusan kartu identias atau paspor dan digunakan untuk membeli setumpuk tiket musiman dari klubnya.

Geng-geng ultras itu pun bisa membeli tiket musiman karena pemegang identitas tidak tertarik untuk hadir ke pertandingan di stadion. Atau tiket pertandingan bisa dijual kepada penawar yang lebih tinggi.

Sedikitnya ada sebanyak 600 tiket masing-masing untuk musiman atau satu pertandingan saja. Masing-masing memiliki rata-rata harga 50 euro per laga dan 30 euro dalam tiket musiman. Artinya, setiap kelompok ultras bisa mendapatkan keuangan 1 juta euro per tahun.

Bahkan Drughi, Ultras Juventus, menerima lebih banyak tiket dari klubnya dengan harga lebih murah. Ada beberapa cerita di mana ultras dari Juventus mengancam klubnya dengan kekerasan jika tidak diberikan jata tiket pertandingan.

Dalam upaya memadamkan kerusuhan, klub sering mendistribusikan tiket kepada kelompok-kelompok pendukung tersebut. Tapi setidaknya, itu adalah uang yang cukup baik ketimbang menjiplak tiket atau penipuan administratif lainnya.

Lagipula keamanan di pintu luar stadion-stadion di Italia jarang memperhatikan perbedaan nama pemegang tiket musiman dengan identitasnya. Apalagi jika ada sebuah mobil berisi ultras terparkir di luar stadion yang mengawasinya.

Rata-rata, ultras mengambil alih tribun belakang gawang alias curva.  Di sana mereka menunjukan kehadiran di stadion melalui bendera, nyanian, pukulan drum, menyalakan flare dan lainnya.

Alasannya memilih tribun di belakang gawang pun sederhana. Hal itu karena tiket tribun itu dijual paling murah daripada tempat lain di stadion sepakbola. Alhasil, pendukung sepakbola yang notabene bukan orang kaya bisa membelinya.

Tapi di tribun belakang gawang itulah berkumpulnya sebuah pengabdian. Apalagi di dalam sepakbola, selalu identik oleh ketidaksetiaan pemain dan pemilik klubnya. Keberadaan ultras juga memperlihatkan diri mereka sebagai satu-satunya elemen paling setia untuk klub sepakbola itu sendiri.