Mengenal Kelompok-Kelompok Hooligan di Manchester City

Hooliganisme sepakbola Inggris memiliki akar yang gelap dan begitu dalam. Akar ini meregang kepada firm-firm terorganisir yang meneror kota-kota di Eropa. Sampai-sampai klub seperti Manchester United dan Leeds United dilarang dari kompetisi UEFA pada 1970-an. Peningkatan signifikan pada reputasi hooliganisme Inggris ini memang memengaruhi masalah sepakbola.

Rasionalitas sepakbola digantikan dengan permusuhan. Kemarahan didorong oleh rasa frustrasi dalam sepakbola membawa stimulator emosional yang tak tertandingi. Sepakbola menjadi bisa membuat orang mendadak marah sekaligus membuat momen bodoh dalam waktu beberapa detik saja.

Kriteria-kriteria itu bisa dipahami dari inti hooliganisme. Tampaknya itu saja masih belum cukup untuk memahami motivasi di balik kekerasan hooliganisme. Sementara itu, lebih mudah mengikuti pola gerakan politik, identitas dan sifat-sifat lain yang lebih mudah dikaitkan dengan hooliganisme.

Seperti kebangkitan dan kejatuhan Guvnors dari Manchester City. Mereka mencerminkan upaya pemerintah untuk mengatasi kekerasan yang meningkat di pertandingan sepakbola selama 1980-an. Guvnors tidak hanya bertempur di jalanan Manchester, tetapi juga melawan sesama hooligan lain di seluruh Inggris. Terutama pada pertengahan 1980-an ketika hooliganisme sepakbola yang terorganisir di Inggris berada pada titik tertinggi.

Terdapat catatan-catatan yang ganas tentang pertempuran berdara mereka. Polisi terus menyiapkan taktik untuk mengakhiri Guvnors. Dalam buku berjudul Guvnors karya Michael Francis dan Peter Wals, diceritakan bahwa kelompok itu sering melakukan penyamaran dengan sukses.

Upaya itu agar menghindari penangkapan polisi maupun untuk bertempur dengan kelompok suporter garis keras lainnya.

“Kalangan elit dan pemerintah berusaha untuk meremehkan dan mencemooh para hooligan, tetapi mereka telah mengambil begitu banyak dari kita sehingga tinju kami adalah satu-satunya hal yang tersisa yang memberikan kami kekuatan,” ujar Andrew Benion, salah satu petinggi Guvnors, seperti dikutip dari Vice.

Hanya saja Guvnors sering disindir karena beberapa kali pernah menyerang wanita dan anak-anak. Kabar itu salah satunya diungkapkan pada forum Bluemoon MCFC.

“Mereka selalu berpura-pura dalam pertempurannya. Mereka tidak pernah menceritakan banyaknya kisah serangan pengecut terhadap wanita dan anak-anak,” tulis akun Bluefandk dari Denmark.

Pendukung City pada masa itu memang bisa sangat menakutkan. Benion sendiri merupakan salah satu keganasan Guvnors pada 1980-an sehingga dilarang masuk ke stadion seumur hidupnya. Sementara itu, Benion menentang rasisme dalam sepakbola. Mengingat jika dominasi National Front (NF) mendominasi Inggris pada 1980-an.

“Pada akhirnya, orang-orang yang menyukai semua itu (rasisme) hanyalah seekor domba. Anda tidak dapat memiliki demokrasi yang hanya terdiri dari budaya kita saja. Demokrasi adalah tentang menerima perbedaan,” tegas Benion.

Selain Guvnors, pada 1980-an juga ada kelompok garis keras suporter City yang tidak kalah menakutkan. Yaitu Mayne Line Motorway Service Crew. Beberapa anggotanya merupakan jebolan dari Cool Cats. Berbicara Cool Cats cukup menarik karena mereka adalah kelompok suporter City yang multi etnis pada 1970-an. Maka dari itu mereka sering mendapatkan perlakuan rasis terutama dari para pendukung Chelsea pada zaman itu.

Pada akhirnya, reputasi Mayne Line yang menakutkan di seluruh negeri Inggris, membuat mereka bubar pada awal 1990-an.

Generasi Blazing Squad

Persaingan Hooliganisme di Inggris sangat berubah sejak sering terjadinya perkelahian massal selama tahun 1970-1980-an. Teknik kepolisian untuk mengantisipasinya semakin modern seperti menggunakan CCTV. Teknik itu memaksa kelompok hooligan di era modern ini untuk mengatur pertemuan berkelahi. Bahkan dilakukan jauh dari lingkungan sepakbola dan saat tidak ada pertandingan sekalipun.

Sementara itu, dunia kekerasan sepakbola tetap memetakan kebangkitan hooliganisme. Salah satunya adalah Blazing Squad yang merupakan generasi baru dan salah satu firm paling terkenal di Inggris pada era ini.

The Blazing Squad adalah salah satu dari firm sepakbola yang jumlahnya kecil tapi siap untuk melakukan perjalanan ke seluruh negeri untuk melawan saingan mereka.

Blazing Squad tumbuh dari beberapa remaja yang mengikuti kesebelasan mereka dan menjadi salah satu gerombolan perusuh yang paling ditakuti belakangan ini. Mereka telah terlibat dalam pertempuran yang tak terhitung jumlahnya di seluruh negeri dari 2006 sampai saat ini. Ketika mereka diwawancarai di Football Fight Club BBC TV, terbukti bahwa taktik untuk mengatur perkelahian antara pendukung sepakbola diperlukan untuk mengatasi teknik modern polisi.

Tetapi untuk lebih memahaminya, Anda harus bertemu dengan Carl Moran yang merupakan salah satu top boys dari Blazing Squad. Ia berbicara banyak tentang hooliganisme sebagai sensasi dari sebuah firm maupun komunitas. Tapi komunitas yang saling berbagi hasrat untuk melakukan kekerasan. “Untuk satu hari itu bisa terjadi, itu terjadi dengan baik, itu tidak terjadi, itu berhenti. Dan semua itu bermanfaat untuk hari-hari sialmu,” kata Moran seperti dikutip dari The Versed.

Moran sendiri mengaku sudah merasakan kekerasan sepakbola sejak usia 16 tahun. Apalagi ia gagal menjadi petinju profesional sehingga lebih memilih menjadi petarung tribun bersama Blazing Squad. Tapi hukuman penjara dan hukuman larangan menyaksikan sepakbola, membuat Blazing Squad tidak seaktif dahulu.

Moran pun memilih kembali ke dunia tinju profesional. Tampaknya hal itu menjadi pilihan yang baik untuk melampiaskan hormon testosteron di balik tindakan kekerasannya. “Saya punya anak perempuan berusia lima tahun dan satu anak lagi dalam kandungan,” aku Moran.

Tapi selalu ada pemuda-pemuda baru yang datang kepada Blazing Squad. “Saya 27 tahun, sekarang sudah waktunya bagi orang-orang muda untuk pergi dan melakukan semacam itu. Kami telah melakukan bagian kami. Maksudku, kami tidak terlibat lagi,” kata Moran.

Di sisi lain, ia merasakan bahwa tuntutan kekerasan dari gelombang baru kaum muda kurang begitu kuat. Apalagi motivasi kekerasan di setiap pertandingan sepakbola semakin menurun karena larangan dan dibatasi oleh kepolisian. Tentu saja hal itu membuat mereka semakin sulit mengatur pertarungan dengan firm lain.

Kendati demikian, adrenalin dirasa masih ada. Sebetulnya, prajurit dalam hooliganisme masih haus darah seperti sebelumnya. Ingat bahwa di film perang pun seorang prajurit selalu membutuhkan lawan untuk dibunuh.