Musim lalu, Tottenham Hotspur tak sepeserpun mengeluarkan uang untuk belanja pemain. Hebatnya, Mauricio Pochettino mampu menjaga konsistensi Spurs. Harry Kane dan kolega bahkan mencapai final Liga Champions. Dengan kualitas pemain yang tak bertambah, cukup mengejutkan mengapa Pochettino masih tetap mau memperpanjang kontrak di London Utara.
Faktanya, bukan mau Pochettino tak menambah pemain. Namun, meski jabatannya di Spurs sudah di-upgrade dari “Kepala Pelatih” menjadi “Manajer”. Sekilas, jabatan ini seperti tak ada bedanya, karena di Indonesia, jabatan pelatih dan manajer adalah dua hal yang berbeda. Namun, di sepakbola Inggris, dua hal ini begitu kentara.
Di Inggris, manajer biasanya punya cakupan wewenang yang cukup luas, mulai dari pemilihan taktik, pemilihan pemain yang akan bertanding, sampai mendatangkan atau melepas pemain. Di sisi lain, pelatih wewenangnya hanya melatih pemain atas instruksi manajer.
Akan tetapi, akhir-akhir ini, jabatan “Kepala Pelatih” kian populer di Inggris. Dikutip dari BBC, bahwa pada 2018 silam, dari 20 kesebelasan Premier League, enam kesebelasan memberi peran “Kepala Pelatih”, sementara sisanya “Manajer”.
Hal ini sempat ramai dibicarakan ketika Unai Emery diberi jabatan “Kepala Pelatih” di Arsenal. Sederhananya, wewenang Emery hanya di atas lapangan meracik taktik dan strategi. Ia memiliki keterbatasan dalam transfer pemain.
Meskipun demikian, manajer pun tak punya kuasa penuh dalam transfer pemain. Karena pada akhirnya yang memutuskan adalah pemilik klub atau orang yang ditunjuk klub seperti CEO atau direktur sepakbola. Manajer biasanya memberikan opsi pemain mana yang ia butuhkan, dan mana yang akan ia lepas.
“Namun, meski nama jabatannya mungkin berbeda, ada persepsi bahwa semua bos, apakah itu manajer atau kepala pelatih, kini mulai menjauh dari sosok mahakuasa yang mengawasi setiap jengkal kepengurusan di klub,” tulis Simon Stone dari BBC.
Simon menjabarkan bahwa jabatan kepala pelatih menyiratkan kalau ada orang lain yang ditunjuk klub, yang bertanggung jawab soal rekrutmen dan transfer pemain. Soal manajer ini, konon salah satu alasan berhentinya Conte dari Chelsea adalah karena terbatasnya wewenang yang ia dapatkan di bursa transfer.
Ketika masih menjabat manajer, Arsene Wenger enggan diganggu saat mengurus klub. Keistimewaan ini jelas tak akan bisa didapatkan Unai Emery karena Arsenal juga mendatangkan mantan Director of Football Barcelona, Raul Sanllehi, yang punya wewenang lebih luas di Emirates Stadium.
Ada beberapa orang yang diberi jabatan “Manajer” meskipun itu hanya embel-embel belaka. Contohnya Manuel Pellegrini di West Ham United dan Marco Silva di Everton, yang tak punya kuasa penuh karena masih ada rantai komando dalam urusan transfer.
Di West Ham, David Sullivan selaku pemilik, terlibat begitu dalam soal negosiasi pemain. Pun di Goodison Park di mana Marcel Brands sebagai Direktur Sepakbola, berperan penting dalam transfer The Toffees.
Sepakbol Sudah Berubah
Mantan pemain Manchester United, Gary Neville, kini mengelola Salford FC yang ia akuisisi bersama sejumlah rekannya di Class of ’92 serta pengusaha Singapura, Peter Lim. Gary menghabiskan sepanjang karier sepakbola di Manchester United, di bawah arahan Sir Alex Ferguson. Ia tahu benar bagaimana Fergie punya kuasa besar dalam menjalankan Manchester United.
Namun, hal berbeda dilakukan Gary di Salford. Ketika ia menunjuk Graham Alexander sebagai pelatih, ia memang memberinya peran sebagai manajer. Namun, manajer yang ia maksud adalah manajer masa kini yang tak punya kuasa penuh.
Salah satu alasan Gary adalah karena ia sudah belajar bagaimana bisnis di sepakbola modern dijalankan. Ia menghabiskan enam tahun melihat bagaimana sejumlah klub bekerja. Gary berargumen kalau pelatih sudah tak punya waktu mengurusi transfer pemain.
“Kalau seseorang terlibat dalam sesi latihan setiap menit setiap harinya, berpikir tim seperti apa yang akan ia pilih, bagaimana sesi latihan selanjutnya, dan situasi pemain yang harus mereka hadapi setiap pekan, bagaimana mereka bisa berpikir soal rekrutan selanjutnya, atau siapa yang akan datang musim depan? Mereka tak akan bisa,” kata Gary.
Pada akhrinya, Gary merasa kalau pelatih-lah yang harus menyesuaikan dengan rekrutan barunya. Sebuah argumen yang menjemukan karena ketika klub mengalami penurunan, bukan pemilik yang mundur, tapi pelatih, yang tak diberi kesempatan meracik pemain-pemain yang dibutuhkannya.