Perbedaan Pengembangan Sepakbola Inggris dan Spanyol

Inggris memang berhasil lolos ke semifinal Piala Dunia 2018. Banyak yang bilang kejutan, karena ini jelas mengejutkan. Soalnya, dua tahun sebelumnya, banyak yang meragukan cara pengembangan sepakbola Inggris bisa memberikan prestasi buat The Three Lions.

Salah satunya ditulis Alex Chapman di The Guardian pada 2016. Kala itu, ia mengomentari soal Inggris yang ditahan imbang Spanyol 2-2 padahal sudah unggul dua gol tanpa balas hingga menit ke-89. Saat itu, posisi pelatih timnas Inggris masih kosong, sementara Gareth Southgate masih berstatus sebagai caretaker. Taktik Inggris ketika kebobolan di menit ke-89, dianggap buruk oleh Champan.

Salah satu solusi dari Champman adalah merujuk pada buku Marti Perarnau, Pep Guardiola: The Evolution, tentang bagaimana sebuah kesebelasan mestinya bereaksi setelah kebobolan. Dalam buku tersebut, ditulis bahwa sebuah kesebelasan yang kebobolan mesti memindahkan/mengoper bola sebanyak 50 kali. Tujuannya agar tensi pertandingan menurun. Ini penting, karena setelah mencetak gol, lawan akan merasa lebih semangat untuk menambah gol.

“Namun, saat Anda memegang bola dan mengirim ke depan, Anda akan kehilangan dan harus mengejarnya lagi. Kalau ini terjadi saat lawan bersemangat karena baru saja mencetak gol, ada peluang kalau mereka akan mengejarmu lagi,” tulis Chapman.

Intinya, Chapman menganggap Spanyol punya respons yang lebih baik saat mereka tertinggal. Hal ini diperparah dengan ketidakmampuan Inggris untuk mengendalikan permainan. Ini yang membuat Chapman mempertanyakan sepakbola Inggris langsung dalam judul tulisannya: “Apakah pelatih sepakbola Inggris memproduksi pecundang dengan lebih fokus ke kesenangan ketimbang hasil?”

Spanyol Fokus ke Kemenangan

Chapman bukannya tanpa alasan. Pasalnya, selama delapan tahun terakhir, ia telah bekerja bersama pelatih dari Jerman, Italia, Prancis, Argentina, Brasil, dan Peru. Meskipun memiliki perbedaan sudut pandang, metode, dan filosofi melatih, fokus mereka tetap sama yakni kemenangan.

Pada 2014 misalnya, Chapman bekerja sebagai asisten pelatih di tim muda di luar kota Barcelona. Ada banyak hal yang didapatkan Chapman di sana yang berbeda dengan di Inggris. Yang paling utama adalah skema pelatihan adalah segala hal soal sepakbola, mulai dari teknik sampai taktik.

Di Spanyol, pemain usia 13 dan 14 tahun sudah dikenalkan soal taktik. Bahkan, mereka harus menyaksikan video lawan mereka untuk menentukan di area mana lawan bisa dieksploitasi. Para pemain ditanya soal kesalahan mereka dan dipuji kalau mereka melakukan dengan baik.

Pelatih juga kerap memberikan “trik” bagi para pemain muda. Chapman memerhatikan sejumlah pemain usia delapan tahun bicara ke wasit dan mengerubunginya berharap wasit memberi keputusan 50/50.

“Kalau fullback lawan sudah mengantungi kartu kuning, maka para pemain muda ini mencoba bergerak ke arahnya dan menggiringnya ke area penalti sesegera mungkin karena fullback akan ragu untuk menekel dan akan membuat kesalahan,” tulis Chapman.

Inggris yang Penting Gembira

Ketika berbicara dengan para pemain muda, ada hal yang berbeda dirasakan Chapman ketika ia di Inggris. Mayoritas dari mereka menginginkan kemenangan sebagai prioritas utama.

Chapman mencatut survei yang diberikan ke 55 grup pesepakbola Inggris usia 8-12 yang bermain di kesebelasan profesional dan amatir. Tiga pernyataan utama dari para pemain muda tersebut adalah (1) berusaha sekeras mungkin lebih penting dari kemenangan, (2) Aku senang bermain karena sepakbola menyenangkan, dan (3) Aku bermain bola bersama teman-temanku. Di sisi lain, dari 10 ribu anak berusia 10-14 tahun, lebih dari 80 persen di antaranya memilih untuk bermain di kesebelasan yang kalah, ketimbang menjadi pemain pengganti di tim yang menang.

Chapman merasa sikap ini amat berbeda dengan di Spanyol. Ketika timnya menghadapi FC Barcelona di final Copa Espana di Guadalajara, psikolog tim menanyai para pemain soal tujuan utama mereka dalam pertandingan final. Apa jawabannya? Umumnya mereka menjawab untuk memenangkan turnamen, bermain sesuai taktik, dan memberikan gambaran persatuan kelompok.

Chapman mengenang ketika ia bermain bola 15 tahun lalu, tekniknya buruk karena tak diajarkan secara benar. Para pelatih lebih menginginkannya untuk menikmati kesuksesan dan mengembangkan diri secara pribadi. Menurut Chapman, ketika bertanding buat klub, tujuan utamanya adalah menang. Kalau untuk bersenang-senang, itu bisa dilakukan dengan teman di waktu makan siang, atau selepas sekolah.

Chapman mencontohkan bagaimana ketika dulu saat bermain di tim universitas ia dimarahi pelatihnya gara-gara membuang-buang waktu. Padahal, saat itu tumnya tengah unggul. Chapman tak mengerti reaksi pelatihnya tersebut karena di sesi latihan, mereka sudah berlatih secara taktikal dan bahkan berlatih tendangan penalti. Kemudian, ia sadar, kalau tampaknya sang pelatih marah karena Chapman tidak sportif dan membawa nama buruk buat Universitas.

Publik berargumen bahwa terlalu fokus pada kemenangan bisa membahayakan sepakbola akar rumput Inggris. Prioritas untuk meraih kemenangan baru difokuskan pada pemain usia 16 tahun. Bahkan, ada permintaan dari orang tua pemain yang meminta kalau hasil sepakbola usia muda tak perlu dipublikasikan. Ini dilakukan untuk tidak membikin malu pemain yang kalah.

Menurut Chapman, justru mentalitas ini yang bisa membahayakan pemain muda Inggris dalam jangka waktu yang panjang. Kehilangan bagian dari sepakbola akan memainkan faktor besar dalam pembangunan semangat. Para pemain sukses dan tim sukses di dunia semua mengalami sesuatu yang menyakitkan dan mengorbankan segalanya agar tak merasakannya lagi.