Piala Super Spanyol, Arab Saudi, dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Foto: RUptly

Mayoritas penggemar sepakbola lebih fokus membicarakan kemenangan Real Madrid 3-1 atas Valencia di semifinal Piala Super Spanyol yang dihelat di Jeddah, Arab Saudi, Kamis (9/1) lalu. Di sisi lain, pegiat hak asasi manusia justru punya fokus lain. Karena sehari sebelumnya bertepatan dengan hari ke-600 penahanan aktivis hak asasi perempuan Arab Saudi, Loujain al-Hathloul.

Kalau bukan karena uang, Federasi Sepakbola Spanyol, RFEF, mungkin enggan memindahkan venue turnamen ke Arab Saudi. Maklum, bayarannya cukup besar. Meski tak memberikan angka resmi, tapi media Spanyol memprediksi RFEF akan mendapatkan sekitar 40 juta Euro pertahun, dari turnamen yang rencananya digelar selama tiga tahun ini.

Angka ini amat besar. Apalagi buat turnamen yang biasanya hanya menjadi pembuka La Liga; sebuah turnamen yang penting-tak-penting, karena jarang orang yang membangga-banggakannya.

Besaran angka ini pula yang bikin Piala Super Spanyol merombak total formatnya. Turnamen yang biasanya digelar pada Agustus, kini dipindah menjadi Januari. Peserta yang awalnya juara liga dan finalis Copa del Rey, diubah menjadi dua tim teratas La Liga dan finalis Copa del Rey.

Kalau bukan karena tawaran uang yang besar, mungkin RFEF tak perlu sibuk menutup telinga mereka untuk menahan kritikan tajam dari sejumlah pihak. Soalnya, Arab Saudi bukanlah negara yang mudah diterima kebijakan politiknya, utamanya buat negara-negara di Eropa.

Sejatinya, RFEF sudah diperingatkan. Sebelum pertandingan tinju kelas berat antara Anthony Joshua dan Andy Ruiz, Kepala Kampanye Amnesty Internasional UK, Felix Jakens, menyatakan kalau acara tersebut adalah “sportswashing”. Ia beranggapan kalau pemerintah Arab Saudi menggunakan acara besar untuk mengalihkan perhatian dari isu hak asasi manusia dari negara mereka.

Peneliti Timur Tengah untuk Human Rights Watch, Adam Coogle, menyebut kalau Negara-Negara Teluk tengah mencari prestise dan meningkatkan reputasi internasional mereka dengan menjadi tuan rumah acara olahraga besar.

“Sayangnya, banyak acara olahraga tersebut digelar tanpa negara-negara tersebut mengatasi penyebab dari masalah reputasi mereka, seperti pelanggaran HAM yang berlangsung lama dan sistematis terhadap para pembangkang dan aktivis politik, pekerja migran asing, dan perempuan,” kata Coogle.

Pemindahan venue ke Arab Saudi pun mendapatkan tentangan keras dari dalam negeri. Sejumlah aktivis dari Amnesty International berkumpul di luar Kedutaan Arab Saudi di Madrid, untuk menggelar protes. Demonstran berpose dengan meniru pesepakbola yang tengah berfoto sebelum pertandingan. Mereka membawa syal keempat klub yang berkompetisi di Piala Super Spanyol. Dengan kostum berwarna kuning, mereka meminta Kerajaan Arab Saudi membebaskan Hathloul, dan mengangkat spanduk agar orang-orang “bergabung dengan tim mereka”.

Dalam pernyataannya, Amnesty Internasional menulis, “Selama beberapa dekade di Arab Saudi, perempuan telah menjadi subjek atas hukum represif yang memberlakukan pembatasan atas hak mereka untuk berpergian secara mandiri, bekerja atua belajar, yang membatasi sejumlah aspek dalam kehidupan mereka.”

“Dihadapkan dengan situasi seperti ini, banyak aktivis yang menyuarakan pendapat mereka. Salah satu dari mereka adalah Loujain al-Hathloul, satu dari 11 aktivis yang saat ini berisiko untuk dipenjara hingga 20 tahun gara-gara membela hak perempuan di Arab Saudi. Amnesty International meminta mereka semua dilepaskan secepatnya, dan dakwaan terhadap mereka dihapuskan,” tulis pernyataan tersebut.

Sebelumnya, pada Mei 2018, Hathloul menjadi satu dari sejumlah aktivis Arab yang ditangkap oleh pemerintah selama masa penindasan atas pergerakan hak perempuan untuk menyetir.

Kerajaan Arab Saudi menghapuskan larangan bagi perempuan untuk menyetir beberapa pekan setelahnya. Namun, Hathloul masih tetap ditahan. Ia dituduh melanggar undang-undang dan mengontak jurnalis serta diplomat asing.

Melansir dari CNN, saudara Hathloul, Walid, menyatakan kalau saudara perempuannya itu kerap dicambuk, disetrum, dan dilecehkan secara seksual, dalam sebuah rubanah yang ia sebut sebagai “Istana Teror”.

Sementara itu, pihak klub pun tak bisa berbuat banyak terkait desakan soal hal politik yang mendera Arab Saudi. Salah satu staf Barcelona bilang kalau mereka hanyalah tim yang terlibat dalam turnamen, dan bukan penyelenggaranya.

“Kami bukanlah penyelenggara kompetisi ini. Kompetisi ini diurus oleh Federasi Sepakbola Spanyol. Kami adalah finalis Copa del Rey dan juara Liga Spanyol, jadi kami harus berpartisipasi dengan tiga klub lainnya. Kami sadar bahwa telah terjadi insiden (pelanggaran HAM) sebelumnya,” kata staf tersebut.

Sumber: CNN