Qatar dan Perselisihannya dengan Negara-Negara Arab

Qatar memang negara kaya. Kehidupan di negaranya juga menjadi impian buat sebagian orang. Akan tetapi, kekayaan tidak melulu menjamin keamanan. Bukan soal aksi kriminal dalam negeri, tapi ancaman dari negara sekitar.

Masa Pemerintahan Hamad bin Khalifa al-Thani

Negara-Negara Teluk sebenarnya punya banyak kesamaan, termasuk soal kepemimpinannya. Negara mereka berbentuk monarki yang dipimpin oleh dinasti tertentu.

Qatar dipimpin oleh Keluarga Al Thani, Saudi oleh Keluarga Al Saud, UEA oleh Keluarga Al Nahyan, Kuwait oleh Keluarga Al Sabah, Oman oleh Keluarga Al Said, dan Bahrain oleh Keluarga Al Khalifa. Sejatinya, tidak jarang ada pernikahan yang terjadi antar-keluarga. Lantas, mengapa terjadi perselisihan?

Menurut Al Jazeera, Arab Saudi merasa kalau mereka adalah pemimpin dari Negara-Negara Teluk. Wajar, karena wilayahnya paling besar. Selain itu, Mekah dan Madinah juga ada di sana. Jumlah cadangan minyaknya juga merupakan yang terbesar.

Qatar pun terbilang lemah ketimbang tetangganya. Ini yang membuat mereka memilih mengikuti keputusan negara yang paling kuat di wilayah tersebut, dalam hal ini Arab Saudi. Dominasi Arab Saudi ini tidak tergoyahkan setidaknya sampai 1995.

Kala itu, Hamad bin Khalifa al-Thani, naik takhta menggantikan ayahnya. Ia punya gagasan untuk membangun negaranya, termasuk untuk terbebas dari pengaruh Arab Saudi dalam banyak hal, termasuk hubungan internasional. Ia ingin agar Qatar dan Arab menjadi negara yang setara.

Salah satu langkah yang bikin marah Arab adalah membangun hubungan dengan Iran. Soalnya, Iran merupakan rival Arab. Ditambah, secara filosofis, Iran merupakan penganut Syiah. Belum lagi diluncurkannya Al Jazeera yang dianggap mengganggu stabilitas di Timur Tengah.

Satu hal yang membuat keduanya tidak melakukan konfrontasi langsung adalah hubungan baik dengan Amerika Serikat. Satu momennya adalah saat Arab Saudi diserang oleh Irak. Saudi tidak bisa melindungi negara-negara tetangganya tersebut. Qatar langsung bergerak lewat kerja sama dengan Amerika Serikat untuk menjadikan negara mereka sebagai pangkalan operasi militer. Tujuannya baik, untuk melindungi Saudi dan wilayah teluk. Namun, ini dianggap sebagai sebuah pergerakan yang kelewat batas.

Dimulai dari Arab Spring dan Hosni Mubarak

Setahun setelah naik takhta, ada percobaan kudeta kepada Hamad. Tentu, kudeta berasal dari dalam negeri, tapi didukung oleh Arab Saudi, UEA, dan Bahrain. Namun, kudeta gagal. Hal ini bagai melempar api dalam hubungan negara-negara tersebut yang sudah rusak sejak awal.

Lalu, hadirlah “Arab Spring”. Masyarakat di negara-negara Timur Tengah, jengah dengan pemerintahan mereka yang otoriter. Mereka berkumpul, berdemo, untuk menurunkan penguasa. Hal ini terjadi di sejumlah negara seperti Tunisia, Mesir, Yaman, dan Bahrain.

Peristiwa ini diliput oleh Al Jazeera. Mereka menunjukkan apa yang terjadi di negara-negara tersebut, menjadi oposisi media corong pemerintah. Dunia internasional pun memerhatikan apa yang terjadi di Timur Tengah dan memberikan tekanan kepada penguasa otoriter tersebut, bahkan bergerak melalui tangan-tangan tidak terlihat.

Arab Saudi tentu tidak senang. Mereka takut gelombang “Arab Spring” sampai ke negara mereka. Puncaknya adalah turunnya rezim Husni Mubarak di Mesir. Seluruh peristiwa “Arab Spring” ini diliput oleh Al Jazeera, yang menjadi media baru, yang menyiarkan langsung dari tempat peristiwa.

Pilihan dukungan juga menjadi masalah. Sebelumnya, Arab Saudi mendukung Presiden Ben Ali di Tunisia, sementara Qatar mendukung Partai Ennahdha yang mendukung revolusi.

Di Mesir, Saudi mendukung Hosni Mubarak bahkan meminta tolong pada Presiden Barrack Obama. Namun, Obama menolak. Di sisi lain, Qatar mendukung Mohamed Morsi yang didukung Muslim Brotherhood atau Ikhwanul Muslimin (IM), untuk melakukan revolusi.

Setelah Mubarak digulingkan, Morsi naik menjadi presiden usai pemilihan umum 2012. Namun, baru setahun, kepemimpinannya dikudeta militer.

Qatar membuka diri bagi para petinggi IM yang kabur dari Mesir. Hal ini yang bikin marah Arab Saudi. Apalagi, Militer Mesir menganggap kalau IM merupakan organisasi teroris. Qatar sendiri dianggap ikut membiayai IM yang dianggap mengancam rezim Saudi.

Pemutusan Hubungan pada 2014 dan 2017

Pada Maret 2014, bersama dengan Bahrain dan Uni Emirat Arab, Saudi menangguhkan hubungan dengan Qatar. Alasannya, karena Qatar melanggar Riyadh Agreement. Secara umum, isi kesepakatan ini adalah tidak ikut campur masalah satu sama lain, bekerja sama dalam masalah regional, dan tidak mendukung kelompok ekstrimis.

Puncaknya hadir pada 2017 saat Negara-Negara Teluk menutup akses darat, laut, dan udara, bagi Qatar. Mereka menarik seluruh duta besar dalam waktu 48 jam, dan menyuruh warga negara mereka keluar dari Qatar dalam waktu 14 hari. Keputusan Negara-Negara Teluk juga didukung oleh Yaman dan Mesir yang melakukan blokade laut dan udara.

Qatar pun terpuruk karena mereka bergantung pada barang impor untuk kebutuhan sehari-hari. Bahkan, 40 persen makanannya masuk melalui Saudi.

Negara-Negara Teluk ini lantas mengirimkan tuntutan yang harus dipenuhi Qatar agar blokade bisa dicabut. Ada 13 tuntutan, di antaranya menurunkan hubungan diplomatik dengan Iran, menghentikan kerja sama militer dengan Turki, memutus hubungan dengan semua organisasi teroris, sampai menutup dan menghentikan Al Jazeera.

Qatar tentu tak mau nurut. Mereka merasa kalau tuduhan tetangga-tetangganya itu tidak benar dan Qatar punya kedaulatannya sendiri.

Dampak dari Blokade

Sebanyak 80 persen kebutuhan makanan Qatar didapatkan dari tetangga-tetangganya. Cuma 1 persen yang diproduksi di dalam negeri. Setelah kabar blokade, warga menyerbu toko untuk menimbun makanan.

Qatar lalu meminta bantuan pada Turki dan Iran untuk menyuplai makanan, sayuran, juga air. Qatar pun memaksimalkan area pertanian mereka.

Yang tidak kalah mengganggu adalah blokade udara. Padahal, Qatar dengan Qatar Airways punya hub di Doha yang mengoneksikan banyak kota di dunia. Karena area udara diblokade, maka Qatar memutar lewat Iran.

Di jalur laut juga Qatar terdampak. Karena Mesir melarang, otomatis kapal berbendera Qatar tidak bisa melewati Terusan Suez. Kargo menuju Qatar biasanya disimpan di Jebel Ali, UEA. Soalnya, perairan Qatar yang dangkal. Namun, semuanya terhenti karena blokade ini.

Blokade Diangkat pada 2021

Sudah ada kabar kalau blokade akan diangkat usai kemenangan Joe Biden di Amerika pada 2020. Ini merupakan “kado bagi Biden”. Menurut Pangeran Mohammed bin Salman, mereka merasa terintimidasi dengan pemerintahan Amerika yang baru ini terkait dengan apa yang dilakukan Saudi pada Yaman, aktivis, sampai pembunuhan Jamal Khashoggi.

Pada 4 Januari, Kuwait bersama dengan Amerika Serikat menjadi penengah konflik tersebut. Keesokan harinya pernyataan Al-Ula ditanda-tangani yang berisi dipulihkannya kembali hubungan Qatar dengan tetangga-tetangganya itu. Di sisi lain, Qatar tidak pernah memenuhi 13 tuntutan yang diminta pada 2017.