Quagliarella Sebagai Penerus Capocannoniere Gaek di Serie-A

Pesona sepakbola Serie-A Italia tak melulu soal pertahanan gerendelnya yang kerap melahirkan bek-bek kelas wahid. Munculnya nama-nama pemain yang senior sebagai pencetak gol terbanyak (capocannoniere) selama satu musim merupakan salah satu keunikan dari kompetisi sepakbola Negeri Pizza ini.

Kemunculan nama Fabio Quagliarella sebagai pencetak gol terbanyak sementara hingga pekan ke-27 musim 2018/2019 ini seakan menambah tren catatan striker gaek yang akhirnya menjadi (atau berpeluang) keluar sebagai capocannoniere.

Baca juga: Para Pemain Tua yang Pencetak Banyak Gol di Serie A

Capocannoniere yang secara harfiah berarti “kepala meriam” adalah istilah yang diberikan kepada pemain yang mampu menjadi pencetak gol terbanyak.

Fabio Quagliarella adalah salah satu ujung tombak “senior” yang masih tersisa di Serie-A. Sampai pekan ke-27, pemain kelahiran Januari 1983 ini telah mencetak 20 gol dari total 44 gol yang dibuat Sampdoria. Striker didikan akademi Torino FC ini sementara mengungguli bintang baru AC Milan, Krzystof Piatek dan sang mega bintang Serie-A, Cristiano Ronaldo yang memperkuat Juventus.

Kerap berpindah klub seperti striker-striker Italia pada umumnya, Quagliarella sebenarnya bukan tipikal “classic number 9” seperti Filippo Inzaghi ataupun Luca Toni. Pemegang 25 caps timnas Azzuri ini cenderung lebih versatile dalam bermain. Sepanjang kariernya, Quagliarella kerap bermain sebagai winger, second stiker, maupun gelandang serang. Kemampuannya ini berkaitan dengan skill membagi bola yang baik, dan juga membuka ruang bagi pemain lain.

Quagliarella kerap menggunakan nomor punggung ‘27’. Pemilihan nomor ini bukan tanpa alasan. Dirinya memilih nomor tersebut untuk menghormati mendiang rekannya di Nicollo Galli semasa di Torino. Galli adalah salah satu bek masa depan Italia yang meninggal dunia karena kecelakaan sepeda motor.

Sepak terjang Quagliarella musim ini mengingatkan ada beberapa pemain yang juga tampil mengejutkan dengan mencetak banyak gol dalam satu musim. Berikut beberapa pemain gaek yang juga meraih capocannonieri bersama klubnya di Serie-A.

Luca Toni – Hellas Verona (38 Tahun)

Nama Luca Toni tak bisa begitu saja lepas tatkala kita menghubungkan striker Italia. Toni seakan menjadi salah satu ikon striker Italia di era 2000-an. Meroket bersama Palermo, pemain yang kini menjadi direktur di Hellas Verona ini melanglangbuana ke beberapa klub, termasuk raksasa Bundesliga, Bayern Muenchen.

Sebenarnya bukan kali pertama bagi Toni meraih capocannoniere saat memperkat Verona. Di musim 2005/06 saat memperkuat Fiorentina, ia mencetak 31 gol semusim di Serie-A. Jumlah yang menyamai rekor Giuseppe Meazza (Ambrosiana Inter) di musim pertama format Serie-A di musim 1929/30. Torehan gol yang diraih Toni akhirnya baru bisa dipecahkan oleh Gonzalo Higuain dengan 36 gol pada musim 2015/16. Bahkan pada musim 2013/14, Toni mampu mencetak 20 gol bagi Hellas dan hanya terpaut 2 gol dari top-scorer saat itu, Ciro Immobile (Torino).

Di masa-masa memperkuat Verona, Luca Toni diramalkan sudah habis mengingat catatan golnya yang merosot tajam sejak meninggalkan Bayern Muenchen. Apalagi saat itu Toni sudah berusia 26 tahun saat datang ke Marcantonio Bentegodi, markas Verona.

Striker didikan akademi Modena FC  ini sempat pula memperkuat AS Roma, Juventus, Genoa, Al-Nasr, serta Fiorentina setelah terusir dari Allianz Arena dan sempat menjadi top-scorer Bundesliga selama perantauannya ke tanah Germania. Namun ternyata, Hellas Verona-lah yang mampu mengharumkan namanya kembali sebelum akhirnya ia gantung sepatu di penghujung musim 2015/16 dan menyaksikan klubnya terdegradasi ke Serie B.

La Gazetta Dello Sport bahkan menyebut Toni sebagai “penyerang tengah terakhir yang dimiliki Italia”.

Dario Hübner – Piacenza (35 Tahun)

Penggemar Serie-A 2000-an tentu tak asing dengan nama satu ini. Nama Hubner mencuat saat memperkuat Brescia yang kala itu diperkuat Roberto Baggio, Igli Tare, serta Andera Pirlo. Kolaborasinya dengan Baggio saat itu mampu mendongkrak performa Brescia hingga bisa berlaga di UEFA Intertoto musim 2000/01.

Dianggap terlampau uzur dan gagal bersaing dengan Igli Tare, striker berjuluk Bisonte (si Bison) karena perawakan kekar dan tampang gaharnya ini hijrah ke Piacenza yang baru promosi ke Serie-A musim 2001/02. Ternyata ketajamannya masih terbukti disana. Hubner mampu menjadi capocannoniere bersama striker Juventus kala itu, David Trezeguet dengan 24 gol. Pemain berdarah Jerman tersebut menjadi top-scorer tertua di Serie-A dengan 35 tahun sebelum akhirnya dipecahkan oleh Luca Toni.

Hubner menjadi pemain Italia pertama yang mampu menjadi capocannoniere di jenjang divisi berbeda, yakni Serie-A (2001/02), Serie-B (1995/96), dan Serie-C1 (1991/92). Selama kariernya, Hubner mencetak 300 gol dan menjadi pencetak gol terbanyak Piacenza sepanjang masa . Meskipun demikian, Hubner tidak pernah dipanggil memperkuat timnas Italia.

Antonio Di Natale – Udinese (34 Tahun)

Selain nama Luca Toni, Antonio Di Natale adalah kepingan terakhir dari generasi penyerang Italia terbaik Serie-A era 2000-an. Pemain kelahiran kota Naples ini bahkan menjadi antitesis bagi stigma penyerang-penyerang Italia yang kerap berganti klub. Di Natale didatangkan Udinese pada 2004 dari Empoli.

Bila melihat tipikal permainannya, Di Natale bukanlah striker 9 klasik. Ia cenderung bermain agak dalam dan kerapkali mengandalkan tembakan tembakan jauh yang berujung gol spektakuler.

Toto-sapaan akbarnya bukanlah pemain yang reguler mencetak banyak gol selama semusim. Namun konsistensi dan pengalamannya ternyata berbuah hasil bagi didinya dan Udinese. Di usia ke-33 tahun, Di Natale meraih musim gemilangnya. Sebanyak 29 gol di berbagai ajangnya bagi Udinese musim 2009/10 membuat dirinya memecahkan rekor Oliver Bierhoff untuk rekor gol semusim klub Udinese.

Rupanya ketajaman pemilik nomor punggung ‘10’ tersebut tak berhenti sampai sana. Musim berikutnya, Di Natale menjadi capocaannoniere secara beruntun. Selama dua musim tersebut raihan 67 golnya hanya mampu dikalahkan oleh Cristiano Ronaldo (86 gol)dan Lionel Messi (82 gol).

Bila dijumlah, Antonio Di Natale sudah mencetak 209 gol dan 55 asis dari 445 laga di Serie-A.  Kehebatan sosok Antonio Di Natale juga disempurnakan oleh kebaikan hatinya. Ia merawat adik perempuan dari mendiang pesepakbola Piermario Morosini yang diketahui menyandang cacat.

Di Natale juga dicintai oleh publik Udine kala menolak bergabung dengan Juventus pada 2010 dan juga menolak permintaan Marcello Lippi yang meminta dirinya bergabung ke CSL bersama Guangzhou Evergrande.

***

Karakter sepakbola Italia yang kurang mengandalkan kecepatan dan lebih mengandalkan kedidisiplinan taktikal membuat banyaknya striker-striker gaek yang masih bermain reguler di masing-masing klub. Sebagai gambaran, sulit rasanya bila harus membayangkan striker-striker berumur lebih dari 33 tahun masih menempati posisi inti di suatu klub dan menjadi top-scorer di kompetisi Premier League Inggris atau Bundesliga. Kalaupun ada, sukar rasanya akan menjadi sebuah tren.

Kondisi ekonomi klub-klub Italia yang kini cenderung tertinggal terutama bila dibandingkan dengan Inggris atau Jerman membuat fenomena unik ini akan tetap berlangsung hingga musim-musim selanjutnya. Selain Quagliarella, tercatat nama-nama seperti Sergio Pellisier (39), Rodrigo Palacio (37), Goran Pandev (35), dan Alessandro Matri (35) masih bermain reguler di klubnya masing-masing. Sebelum musim ini, nama-nama seperti Francesco Totti dan Filippo Inzaghi masih aktif mencetak gol hingga usianya lebih dari 38 tahun.

Inilah keunikan sepakbola Italia. Ketika anda menikmatinya, akan selalu ada  perasaan bahagia bercampur nostalgia. Karena Serie-A akan selalu istimewa.