FC Barcelona sebagai kesebelasan yang disegani karena segudang prestasi dan juga kemampuannya menelurkan pemain-pemain hebat, memiliki kisah menarik dengan para dutchmen atau orang Belanda. Pembelian anyar, Frenkie de Jong, sebagai rekrutan ke-20 bagi Blaugrana mampu membangkitkan ingatan bagi publik sepakbola akan adanya hubungan spesial di antara mereka.
Klub yang didirikan Joan Gamper ini memulai cerita ini sejak 1971. Kala itu, lewat penunjukkan pelatih Rinus Michels yang mahsyur namanya berkat penemuannya yang kenal dinamakan Totaalvoetbal. Sebagaimana pelatih asing pada umumnya, Michels juga turut membawa pemain yang dianggap mumpuni dan mampu mengejawantahkan ide-idenya diatas lapangan hijau. Sebenarnya, Michels bukanlah pelatih asing pertama buat Barca.
Bahkan hingga 1926 (27 tahun setelah klub terbentuk) Barcelona menggunakan empat pelatih asal Inggris, satu pelatih Hungaria, dan Gamper yang berkebangsaan Swiss. Brasil menjadi pengimpor pemain terbanyak bagi Blaugrana hingga saat ini dengan 32 pemain.
Namun, dari berbagai hubungan mereka dengan non-lokal, tampaknya hanya Belanda yang mendapat tempat khusus bagi klub kebanggan Catalan.
Ialah Johan Cruyff, pemain yang memulai hubungan spesial antara Barcelona dengan dutchmen pada 1973. Cruyff diboyong oleh Rinus Michels dari Ajax dengan nilai rekor transfer termahal saat itu senilai 6 juta Gulden (sekitar 2 juta Dollar AS). Di era Michels, duo Johan, Cruyff dan Neeskens memiliki peran yang vital. Johan 14 sebagai predator dan Johan 6 sebagai support system. Setelah itu, hubungan Barcelona dan Belanda tidak menjadi biasa saja.
Dengan segala kemampuan dan pengaruhnya di Barcelona, Cruyff bahkan sempat diklaim oleh New York Post sebagai ‘seorang yang memberikan banyak semangat juang bagi rakyat Katalan hanya dalam 90 menit di lapangan dibandingkan politisi’.
Sejak saat itu mungkin semuanya berubah. Pandangan pendukung dan para petinggi klub terhadap orang Belanda di klub menjadi berbeda. Rinus Michels yang secara prestasi hanya memberikan 2 trofi dalam 2 kali memegang posisi pelatih, namun ‘jasanya’ membawa Cruyff ke dalam salah satu klub tersukses di dunia ini menjadi amat vital.
Usai pensiun bermain, Johan Cruyff mengambil kehormatan yang sebelumnya diemban Michels, sang guru. Kejeniusan yang dipadukan dengan pengaruh besar Cruyff mampu mentransformasi Barcelona menjadi kekuatan di kancah domestik dan Eropa. Di era kepelatihan Cruyff, ada salah satu kunci permainan, yang juga seorang Belanda yakni Ronald Koeman. Koeman adalah salah satu dari ‘dream team’ Cruyff yang meraih trofi Piala Champions bersama Ajax.
Satu nama Belanda yang jarang disebut, Danny Muller adalah pemain yang gagal menembus tim senior. Padahal, ia sengaja direkrut Cruyff dari Ajax saat itu. Tapi, ada juga yang menyebutkan kalau Muller direkrut karena bertunangan dengan Chantal, anak perempuan Cruyff.
Nama terakhir, tentunya ada sang anak, Jordi, yang sempat menunjukkan (sedikit) potensinya dan akhirnya dilepas sepeninggal era kepelatihan Cruyff.
Dutchmen di era Van Gaal
Selepas era kepelatihan Cruyff di akhir 80-an yang banyak berjasa dengan meraih 11 major trophy untuk Barcelona, klub ini seakan punya hutang budi terhadap pemain asal Belanda. Usai era kepelatihan Sir Boby Robson yang berumur pendek di Barcelona (meskipun meraih 3 gelar), rasa penasaran sekaligus hutang budi terhadap dutchmen ini sulit disingkirkan.
Barcelona kemudian menunjuk Louis van Gaal. Pria yang bertanggung jawab atas kesuksesan fenomenal Ajax Amsterdam menjuarai 11 trofi, termasuk 3 gelar Eredivisie,dan 1 trofi Liga Champions tanpa terkalahkan di musim 1994/1995.
Perubahan besar-besaran terjadi. Van Gaal yang dikenal sangat idealis sekaligus kontroversial ini membuka keran bagi pemain Belanda dengan besar. Di musim debutnya, Winston Bogarde dan Michael Reiziger – dua pemain yang membawa Ajax juara Liga Champions- masuk kedalam gerbong Van Gaal. Kiper asal Roda JC, Ruud Hesp juga kala itu diboyong Van Gaal yang seketika membuat posisi Vitor Baia menjadi camat alias cadangan mati.
Musim pertama yang langsung berbuah trofi La Liga, membuat Van Gaal membuka gerbong yang sebenarnya. Lima pemain Belanda masuk kedalam rekrutan musim panas 1998. Philip Cocu dan Boudewijn Zenden diboyong dari PSV Eindhoven. Adik kakak, Ronald dan Frank de Boer diboyongnya dari Ajax. Tidak lupa, Patrick Kluivert yang kala itu gagal total di Serie-A bersama AC Milan ikut diangkut.
Hasilnya tidak seindah yang diharapkan. Barcelona ‘rasa Belanda’ yang dipoles Van Gaal hanya meraih runner-up di dua musim beruntun. Tekanan bagi pria bernama asli Aloysius Paulus Maria van Gaal semakin tinggi. Ditambah, tensi panas di ruang ganti akibat keengganannya memasang pemain penting yaitu Rivaldo.
Sepeninggal era van Gaal yang bisa dibilang bertanggung jawab atas kegagalan menyatukan visi dan kultur di Barcelona, tak ada lagi gerbong besar-besaran pemain Belanda hadir. Perekrutan Marc Overmars di era singkat Lorenzo Serra Ferrer pun menjadi saru-satunya sepeninggal hengkangnya Van Gaal – yang kemudian ditunjuk kembali di musim yang sama-.
Perjudian Barca lewat penunjukkan Rijkaard
Jikalau penunjukan Michels, Cruyff, dan Van Gaal, yang berlatar belakang prestasi, maka lain dengan Frank Rijkaard. Saat itu, Rijkaard tidak dapat dihitung sebagai pelatih kelas wahid. Sebelumnya, pelatih berdarah Suriname ini meroket namanya berkat membawa Belanda ke semifinal Euro 2000 tanpa memiliki pengalaman menukangi tim sebelumnya. Bersama Sparta Rotterdam, ia malah membawa klub tersebut terdegradasi untuk pertama kalinya sepanjang sejarah.
Masa kepemimpinan Rijkaard, sedikit pemain Belanda yang ia bawa. Malahan, Rijkaard dikenang karena meroketkan Andres Iniesta, serta Victor Valdes. Rekrutan Belandanya saat itu adalah Giovanni van Bronckhorst di musim 2003/2004, Edgar Davids yang dipinjam pada musim dingin dari Juventus, serta Mark van Bommel pada musim berikutnya.
Belanda yang kini sulit bersinar di Camp Nou
Sejak kepergian Mark van Bommel, Barcelona absen cukup lama akan kehadiran pemain Belanda. Kedatangan Ibrahim Affelay yang saat itu digadang-gadang sebagai wonderkid pada musim dingin 2011 ternyata gagal total. Siapa pula yang bisa menggeser posisi Lionel Messi, Pedro, dan David Villa saat itu?
Jesper Cillesen yang datang di musim panas 2016 pun sempat menimbulkan harapan, apalagi sepeninggal kiper utama Claudio Bravo yang hengkang ke Manchester City. Namun Cillesen sulit bersaing dengan Marc Ter Stegen yang hingga kini semakin gemilang. Dengan diumumkannya transfer wonderkid Frenkie de Jong, setidaknya ada beban yang diemban sang wakil Belanda kelak. Apakah nantinya de Jong akan menghentikan tren buruk pemain asal Belanda dalam lebih dari satu dekade terakhir.
***
Dua puluh pemain dari satu negara, yakni Belanda, adalah salah satu bukti bahwa ada sesuatu yang spesial. Ini juga bukan persoalan kuantitas.
Di satu sisi, Barcelona dengan segala kelebihannya dalam menelurkan pemain lokal hebat, akan selalu memiliki utang budi dan sejarah yang pernah ditorehkan dutchmen di dalamnya. Selalu ada rasa yang berbeda ketika sudah berbicara tentang Belanda dan FC Barcelona.
Jika Belanda adalah negara kedua yang ada di hati mereka, maka yang pertama bagi mereka (maaf), selalu Katalan.