Sejauh Apapun Kasus Rasisme Dibungkam, Perlakuan Rasis akan Tetap Ada

Foto: CNN.com

Pada saat orang mengalami stres, seperti ketika melewati periode sulit dalam hidup, kebanyakan orang bakal cenderung mencari cara untuk mengkomunikasikan semua keluh kesahnya kepada orang lain. Bahkan tidak jarang dari mereka bisa menceritakan semua kekurangannya dengan membandingkan dirinya dengan orang lain.

Jadi, tidak terkejut rasanya saat melihat orang kulit putih yang terduga meneriakkan pelecehan rasis kepada Raheem Sterling, berhasil membuat pemain kebangsaan Inggris itu mengungkapkan semua keresahannya di publik sosial media. Karena jelas, seperti yang sebelumnya sudah dijelaskan, ia mungkin merasa stres dengan persoalan rasis tersebut.

Kita semua pasti pernah melakukan hal diskriminasi secara sadar atau tidak sadar seperti itu. Entah mungkin penyebabnya karena rasa marah kepada beberapa orang teman, atau juga mungkin karena ucapan spontan dalam bentuk candaan-candaan di lingkungan tempat kita mendapatkan pengalihan perhatian.

Maka ketika semua itu terjadi, masalah berikutnya akan muncul. Namun yang akan muncul nanti bukanlah soal ‘siapa orang yang telah meneriakkan diskriminasi atau pelecehan rasis’, tapi akan lebih merujuk kepada ‘apa yang akan terjadi setelah teriakan diskriminasi atau pelecehan rasis’ itu. Persoalan ‘apa yang akan terjadi setelahnya’ ini adalah yang paling berbahaya. Karena hal ini akan perlahan menjadi budaya, dan tetap ada terus jika tidak dihentikan.

Sama halnya seperti yang ada di dalam sepakbola. Persoalan rasisme ini selalu muncul dan jadi bahan pembicaraan yang paling kontroversial di setiap periodenya. Maka tak heran, walau setiap bentuk rasis yang muncul ke permukaan publik sepakbola telah dibungkam, namun setiap elemen di dalam sepakbola masih akan tetap penuh dengan persoalan rasis.

Sebenarnya, apa saja yang telah kebanyakan orang lakukan dengan semua hal ini? Ternyata jawabannya sangatlah simpel. Menurut fakta yang ada, sampai sekarang, kebanyakan dari kita hanya terus mencari apa gejala dari persoalan rasis ini, dan sama sekali tidak ada yang mencoba untuk mengobati penyebabnya. Menurut salah satu penulis dari The Guardian, John Barnes, menyebut bahwa semua persoalan rasis ini mirip dengan penyakit flu.

Menurutnya, ketika seseorang merasakan gejala flu, sesorang itu akan mengambil tablet dan menghisap permen untuk mengurangi gejalanya, dan metode seperti ini bisa membuat sesorang tadi merasa lebih baik untuk sementara waktu. Akan tetapi, seseorang tadi belum sama sekali menemukan cara untuk mengobati penyebabnya, dan cepat atau lambat penyakit flu tadi akan kembali. Persis seperti rasisme.

Selain itu, John Barnes sendiri telah mengatakan bahwa setiap orang harus memperluas argumen mereka untuk kembali fokus memikirkan apa penyebab rasisme. Ini semua berlaku juga untuk orang-orang berkulit hitam, yang harus mulai berhenti merasa dirinya berada dalam posisi yang tertindas hanya karena disekelilingnya terdapat banyak orang berkulit putih.

Terlepas dari itu, menurut catatan sejarah, awal mula perlakuan rasis ini adalah dari perbudakan. Pada awalnya, ekonomi menjadi latar belakang utama dari semua hal yang bersangkut paut dengan ras kulit hitam. Karena dulu, kulit hitam sangat erat sekali dengan perbudakan. Budak-budak waktu itu sering dijual oleh orang-orang berkulit putih, dan kemudian diperdagangkan seperti barang. Mereka lalu dibeli oleh orang-orang yang menginginkan pekerja yang dapat bekerja untuk secara gratis.

Tapi kemudian, begitu hak asasi manusia mulai diakui, mereka yang memperpudak seseorang dengan sendirinya mulai memiliki masalah ekonomi. Karena pada hakikatnya memperbudak seseorang adalah salah satu bentuk dari pelanggaran hak asasi manusia. Saat itulah orang-orang mulai tersadar, dan berbicara tentang bagaimana semua ras dilahirkan untuk hidup dengan damai, dan bukan ditakdirkan untuk melakukan kerja fisik dengan menjadi budak. Maka secara otomatis rasisme ini lahir dari warisan perbudakan.

Namun pernyataannya, apakah sekarang masih berlaku sistem perbudakan seperti itu? Kalau kembali berbicara tentang persoalan rasis dalam sepakbola, sudah waktunya untuk semua elemen bangkit guna bergerak ke sumber persoalan dengan mencari ‘apa penyebabnya’. Sekarang ini bukanlah era di mana perbudakan itu masih menjadi kegiatan yang diperbolehkan.

Semua elemen di dalam sepakbola harus ikut berjuang untuk membereskan persoalan rasis ini. Jangan hanya duduk dan menunggu muncul satu kasus terlebih dulu baru bergerak. Di sisi lain, media-media juga harus memainkan peran utama dalam hal ini. Semua ini dilakukan untuk bisa menyamaratakan ras-ras yang sering diperlakukan buruk dan berat sebelah seperti para Muslim, orang Jamaika ataupun orang Nigeria.

Karena rasisme ini akan selalu ada di mana-mana. Bahkan menurut cendekiawan asal Amerika, Noam Chomsky, di dalam salah satu bukunya yang berjudul How The World Works, menyebut bahwa manusia sendiri memiliki sifat yang paling dasar yang dapat memunculkan sifat rasisme, yaitu citra diri. Citra diri ini sering muncul secara otomatis jika terdapat pemicunya. Pemicunya ini bisa saja berupa kesombongan, arogansi, eksistensi atau kedudukannya sebagai seorang manusia.

Kasus Raheem Sterling kemarin adalah buktinya. Ia menjadi objek perlakuan rasis karena warna kulitnya yang berbeda dari kebanyakan orang di Inggris (baca: berkulit hitam). Maka hal ini sontak menjadi gertakan hebat untuk dunia sepakbola. Selain itu, Sterling juga sudah menjabarkan kepada publik soal media yang sudah sangat ‘diskriminatif’ dalam memberitakan informasi. Ia menggambarkan bagaimana media membuat informasi tentang pemain muda berkulit hitam yang disajikan dengan bentuk yang berbeda dibanding pemain berkulit putih.

Padahal pada kenyataannya, setiap orang diberikan anugerah oleh Tuhan untuk mempunyai hak yang sama, yaitu hak mendapat keadilan. Itu berarti, setiap orang berhak mendapatkan kehidupan yang damai sama seperti yang lainnya, dan harus diperlakukan sama tanpa harus membedakan ras atau warna kulitnya.

Jadi, jika semua pencegahan rasisme ini tidak cepat-cepat direalisasikan, maka bukan hanya dapat membuat semakin banyak orang terus memiliki persepsi negatif terhadap orang kulit hitam, tetapi juga justru akan membuat kebanyakan orang memiliki prinsip dan kepercayaan pada superioritas orang kulit putih.

Yang jelas, jangan jadikan perilaku seperti itu berubah menjadi sebuah pemahaman dan pola pikir baru di dalam publik sepakbola. Ini semua harus dihentikan. Karena hal seperti ini merupakan indoktrinasi kejam yang sudah berlangsung selama berabad-abad.