Sepakbola Perempuan Inggris, Sejarah, Larangan dan Perkembangannya

Di balik hingar bingar Mohamed Salah saat meraih penghargaan PFA Player of the Year, terselip nama Fran Kirby untuk sepakbola perempuan Inggris. Pesepakbola Chelsea Ladies ini mengalahkan nama-nama tenar lain seperti Ellie Roebuck (Manchester City Women), Erin Cuthbert (Chelsea Ladies), Gabby George (Everton Ladies), Georgia Stanway (Manchester City Women), Lauren Hemp (Bristol City Women) hingga Keira Walsh (Manchester City Women). Lalu seperti apa sepakbola perempuan di Inggris?

Awal sepakbola perempuan di Inggris

Sejatinya sama seperti sepakbola pria, sepakbola perempuan di Inggris mulai menggeliat pada abad ke-19. Namun dengan adanya pembatasan perempuan untuk beraktivitas pada abad itu, membuat sepakbola perempuan tidak semaju sepakbola pria. Meskipun demikian, Tim Nasional Perempuan Inggris sempat melakoni pertandingan persahabatan melawan Tim Nasional Skotlandia pada 1881.

Sepakbola perempuan di Inggris menggeliat pesat antara akhir abad ke-19 hingga pada awal abad ke-20. Kemajuan ini diprakarsai oleh Helen Graham Williams dan Nettie Honeyball. Kedua sosok inilah yang dianggap menginisiasi tim sepakbola perempuan di Inggris.

Honeyball mendirikan British Ladies Football Club, yang bertujuan mengakomodasi bakat-bakat sepakbola perempuan di seluruh Britania Raya. Klub ini sendiri bahkan memiliki Presiden klub yakni Florence Dixie yang notabanenya merupakan kerabat Kerajaan. Dixie sendiri adalah penggiat Hak Asasi Perempuan. Di abad ke-18 sendiri perempuan masih dianggap sebelah mata dan dianggap tidak berguna. Lady Dixie kemudian mengajak Honeyball untuk menjadikan sepakbola sebagai alat protes kepada kaum adam. Saat itu mereka bermain sepakbola dengan perlengkapan ala laki-laki: sepatu boot, kaos dan celana, tidak ada korset, ataupun sepatu hak tinggi.

British Ladies Football Club, masih aktif bertanding dengan segala keterbatasannya, baik dari segi dana maupun akomodasi bagi pemain. Hingga akhirnya Perang Dunia Pertama berkecamuk, British Ladies Football Club, terpaksa menghentikan aktivitas karena para perempuan dipekerjakan di pabrik untuk membantu menghadapi Perang Dunia. Meskipun demikian, kemudian muncul klub sepakbola Dick, Kerr’s Ladies FC yang berdiri pada 1917. Mereka melakukan pertandingan untuk membantu korban perang sekaligus menjadi hiburan bagi mereka yang jenuh akibat peperangan. Para pemain saat itu dibayar sebesar 10 shillings per pertandingan.

Larangan dan Pasang Surut Sepakbola Perempuan Inggris

Pada 1921, FA sempat melarang perempuan untuk bermain sepakbola. Alasannya, FA menganggap fisik perempuan tidak mampu untuk bermain sepakbola. Larangan dari FA sendiri berwujud para klub sepakbola perempuan Inggris dilarang bermain di lapangan yang dikelola atau di bawah naungan FA.

Sementara itu, isu yang beredar menyatakan kalau pendapatan Dick, Kerr’s Ladies FC dari pertandingan amal, justru lebih besar dari pendapatan FA itu sendiri. Ini tak lepas dari sepakbola perempuan Inggris yang kala itu lebih menyedot kehadiran penonton.

Untungnya, larangan tersebut tak begitu berpengaruh buat Dick, Kerr’s Ladies FC. Soalnya, ada sejumlah lapangan alternatif baik untuk bertanding maupun berlatih. Larangan dari FA sempat membuat sejumlah kesebelasan perempuan bubar. Pun dengan Dick, Kerr’s Ladies FC yang akhirnya bubar pada 1965.

Segalanya berubah setelah Piala Dunia digelar di Inggris pada 1966. Women’s Football Association (WFA) didirikan meski butuh dua tahun agar WFA diakui oleh UEFA. Bahkan, FA belum mengakui WFA hingga 1978!

Kompetisi sepakbola perempuan pertama di Inggris digelar pada 1979 dengan tajuk Mitre Challenge Trophy. Pada 1993, FA mengambil alih peran WFA untuk menjalankan liga meski Women’s National League sudah bergulir. FA sendiri menganggap liga tersebut belum efektif dan profesional. Sebagai gantinya, FA kemudian membuat Women’s Premier League di bawah naungan FA secara langsung. FA pun membantu klub sepakbola pria untuk bisa bekerja sama atau membangun klub sepakbola perempuan Inggris.

Liga Sepakbola Perempuan Inggris yang Professional

Setelah mengalami banyak penyesuaian sistem kompetisi, kini FA menetapkan ada 10 divisi di piramida sepakbola perempuan Inggris. Sistem ini terbagi menjadi dua divisi teratas sebagai Superliga, Divisi ketiga dan keempat sebagai Premier League, dan sisanya (divisi 5-10) adalah Regional Division.

Alasan penggunaan sistem Superliga seperti di Rugby, karena jumlah klub profesional yang belum terlalu banyak. Apabila dilakukan dengan sistem yang sama seperti sepakbola pria atau Premier League, pertandingan akan sangat melelahkan karena di 2 divisi teratas sepakbola perempuan saja, hanya masing-masing berisi 10 klub. Sistem sepakbola perempuan di Inggris sendiri hanya bergulir di musim gugur.

Kini semakin banyak kesebelasan di Inggris yang membentuk kesebelasan perempuan. Bulan lalu, Manchester United resmi membentuk kesebelasan perempuan. Lalu apakah menguntungkan memiliki klub sepakbola perempuan secara finansial?

Independent merilis data bahwa klub yang yang berkompetisi di WSL belum bisa menghasilkan profit. Manchester City Women misalnya sejak 2014 hingga 2017 lalu total mengalami kerugian sebesar 1,5 juta paun. Liverpool Ladies mengalami kerugian 229.000 paun di interval yang sama.

Menurut Mark Critchley, kesebelasan perempuan belum semenjanjikan kesebelasan pria dalam hal sponsorship. Namun dalam beberapa tahun ke depan ia yakin bahwa sepakbola perempuan akan menjanjikan seiring dengan berkembangnya pasar bagi sepakbola perempuan.

“Kini beberapa stasiun TV mulai melirik mereka (WSL). Kenyataan itu disertai dengan rating yang cukup baik. Saya yakin dalam 10 tahun ke depan sepakbola perempuan tidak akan dipandang sebelah mata,” ungkap Mark Critchley dikutip dari Independent.

Dengan segala problematika yang dihadapi oleh sepakbola kaum Hawa di Inggris, kini mereka mulai mencuri perhatian para pencinta sepakbola. Ini terbukti dengan banyaknya klub profesional inggris yang memiliki divisi untuk sepakbola perempuan. Meskipun lambat, sepakbola perempuan kini mulai dikenal luas. Beberapa negara bahkan memiliki struktur liga yang baik, seperti di Jerman, Spanyol, Amerika Serikat, bahkan Jepang mampu menjaring pemain-pemain terbaik mereka dan menjadi juara dunia sepakbola perempuan 2011 lalu.

Lalu apa kabar sepakbola perempuan Indonesia saat ini?