AS Roma resmi menunjuk Paulo Foncesa sebagai nakhoda baru mereka. Menandatangani kontrak dua tahun, Fonseca dipercaya untuk menggantikan Claudio Ranieri dan memberi pemandangan baru di Olimpico.
Diboyong dari Shakhtar Donetsk, mantan manajer FC Porto itu baru saja memenangkan gelar ketiga beruntunnya di Ukraina. Roma mungkin pilihan tepat untuk Fonseca, pasalnya Giallorossi adalah kesebelasan top Italia yang paling bersahabat dengan talenta Brasil.
Menurut Transfermarkt, Roma sudah pernah dibela 46 pemain Negeri Samba. Lebih banyak dibanding Inter (40), AC Milan (34), dan Juventus (24). Mulai dari Dino Da Costa (1955-1960) hingga Daniel Fuzato yang didaratkan dari Palmeiras di musim panas 2018.
Pemain-pemain Brasil adalah kunci kesuksesan Fonseca selama karier manajerialnya. Baik itu Edson Farias di Pacos Fereirra ataupun Matheus dan Marcelo Goiano ketika menangani SC Braga.
Shakhtar adalah surga bagi Fonseca. Sekalipun harus mengungsi ke daerah tim rival, Dynamo Kyiv, karena perang saudara yang terjadi di Ukraina, Fonseca tetap membawa klub berjuluk Hirnyky itu tak tersaingi sejak 2016. Alasan utamanya jelas talenta-talenta Negeri Samba.
Sebelum Fonseca menginjak Ukraina sekalipun, Shakhtar merupakan rumah kedua para pesepakbola Brasil di Eropa Timur. Mereka adalah kesebelasan yang pertanggung jawab atas kemunculan Fernandinho, Luiz Adriano, Willian, Douglas Costa, Alex Texeira, Bernard, Elano, dan Fred di Eropa. Semua diimpor langsung dari Brasil ke Ukraina.
Ditambah dengan pengalaman Fonseca menangani pemain-pemain dengan latar belakang serupa di Portugal, kesuksesan terjamin untuk Shakhtar.
Tradisi dari Lucescu
Kegemaran Hirnyky memboyong pemain Brasil ini lahir dari keinginan pemilik klub, Rinat Akhmetov, untuk menumbangkan Dynamo Kyiv dan menjadi klub terbaik di Ukraina.
Ia menunjuk mantan nakhoda Inter, Mircea Lucescu, untuk menjalankan visinya. Lucescu yang fasih berbahasa Portugis pun memanfaatkan kemampuan untuk memboyong talenta dari Brasil.
Kemampuan teknis pemain-pemain Ukraina dan Brasil ditambah sepakbola atraktif yang ada di kepalanya dianggap tepat untuk memenuhi target dari Akhmetov.
Lusescu Memboyong mantan anak asuhnya di Galatasaray, Joao Batista dan gelandang Brescia, Matuzalem untuk melengkapi jasa Brandao yang sudah lebih dulu bermukim di Dombass. Nahkoda asal Romania itu bertahan di Shakhtar selama 12 tahun. Akhirnya, membeli pemain Brasil sudah menjadi tradisi untuk Shakhtar.
Pemain-pemain yang dibeli juga bukan talenta sembarangan. Mereka tidak mengincar nama-nama yang belum terbukti di Brasil. Tapi mereka yang sudah diproyeksi menjadi pemain besar sejak berkarier di negeri sendiri.
“Shakhatar tidak ragu mengeluarkan uang untuk wonderkid Brasil. Mereka langsung mengincar pemain-pemain yang sudah membela tim nasional U20 atau terlihat penuh potensi di sana,” kata Oleksandr Tkach, mantan pemimpin redaksi Tribuna.
“Mereka berani bersaing dengan klub-klub Eropa lainnya. Fakta bahwa banyak pemain Brasil hidup membela klub tersebut menjadi senjata utama Shakhtar. Dengan demikian mereka bisa memastikan bahwa talenta-talenta itu akan nyaman di Ukraina,” lanjutnya.
Kehadiran Brandao sebagai pemain Brasil pertama yang merasakan kesuksesan bersama Shakhtar juga krusial. “Brandao hampir satu dekade mengenakan kostum Shakhtar. Secara tidak langsung, ia membangun relasi antara klub dengan Brasil,” tambah Gustavo Hofman dari ESPN Brasil.
Ancaman Perang Saudara dan Dynamo Kyiv
Foto: ESPN
Michael Yokhin dari ESPN sempat meragukan tradisi ini akan terus berlangsung setelah Shakhtar dipaksa mengungsi ke Kyiv. Manajer Dynamo Kyiv Alyaksandr Khatskevich juga melancarkan protes ke media. “Shakhtar lebih peduli dengan pemain Brasil dibandingkan Ukraina,” kata Khatskevich.
Terlepas dari semua itu, Shakhtar tetap setia memberikan tempat kepada talenta-talenta dari Negeri Samba. Pada awal tahun 2019, Fonseca mendaratkan Mateus Cardoso Lemos Martins alias Tete dari Gremio dengan dana 10 juta euro. Namun pembelian ini memang disebut sebagai perubahan kebijakan.
Nama Tete belum sebesar para pendahulunya di Brasil. Ia baru tampil di Copa America U20. Bukan bagian dari Gremio yang besar bersama Geromel dan Arthur. Itulah mengapa harga Tete lebih murah dibandingkan Fred dan Bernard.
Menurut pengamat sepakbola Ukraina, Volodymyr Zverov, Shakhtar mulai berhati-hati untuk mengeluarkan banyak uang di bursa transfer. Bukan karena sindiran Dynamo Kyiv. Tapi krisis ekonomi yang disebabkan oleh perang saudara di sana.
“Setelah Rusia masuk ke daerah mereka dan memicu perang, klub-klub Ukraina harus pintar menggunakan uang. Oleh karena itu Shakhtar berhemat. Akan tetapi, mereka tetap memperkuat lini lainnya. Seperti memboyong Kepala Perekrutan Benfica, Jose Boto,” kata Zverov.
“Boto punya banyak koneksi dan jaringan di Brasil. Mungkin lebih luas dari milik Shakhtar. Berkat Boto, mereka mulai berani berjudi. Membelii talenta yang belum terbukti di Brasil,” jelasnya.
Penyesalan Gremio
Foto: Twitter / @FCShakhtar_Eng
Perjudian itupun berbuah hasil positif. Tete terlibat dalam tujuh gol di 10 pertandingan yang ia jalani pada musim pertamanya sebagai pemain Shakhtar.
Pemain kelahiran 15 Februari 2000 tersebut mungkin belum mencapai potensi terbaiknya. Hingga 13 Juni 2019, dirinya juga belum masuk ke dalam radar klub-klub Premier League, Serie-A, Bundesliga, ataupun Ligue 1. Namun performanya di Ukraina sudah cukup untuk membuat Gremio menyesal.
Menurut Antonio Mota Filho di 90min, Gremio berjanji akan membuka diri dan memberikan kesempatan lebih ke pemain-pemain muda agar tidak kehilangan seperti Tete lagi di masa depan.
Perlu diingat Shakhtar bukanlah kesebelasan yang senang menjadi distributor untuk tim lain. Jika ada yang berminat pada talenta mereka, harus ada dana besar yang diberikan.
Tete belum genap 20 tahun di akhir musim 2018/2019. Apabila dirinya bisa melanjutkan momentum yang didapat pada musim pertama, bukan tidak mungkin dirinya jadi rekor penjualan Fred ke Manchester United (60 juta euro). Pada akhirnya, mereka akan tetap meraih keuntungan dan menjaga tradisi secara bersamaan.