Menjadi finalis Piala Eropa 2020 merupakan pencapaian tertinggi Inggris sejak menjuarai Piala Dunia 1966. Ini merupakan lanjutan dari kesuksesan The Three Lions yang mencapai semifinal Piala Dunia 2018 meski tak diunggulkan.
Di luar aspek teknis, Inggris nyatanya mengajarkan kita (bukan Indonesia tentu saja), soal arti keberagaman.
London Migration Museum membuat kampanye yang mengingatkan pada kita, kalau tanpa imigran, tim Inggris yang ada saat ini tak akan pernah ada. Kampanye #FootballMovesPeople intinya mengilangkan pemain yang keturunan dari generasi pertama dan keduanya adalah imigran.
Untuk lebih menyoroti kekuatan keberagaman, kemenangan Inggris atas Jerman 2-0 di babak 16 besar, tak akan pernah terjadi tanpa imigran. Soalnya hanya tiga di antara mereka yang benar-benar asli Inggris.
Kepala Hubungan Publik Migration Museum, Robyn Kasozi, mengatakan bahwa, “Bukanlah sesuatu yang berlebihan untuk mengatakan kalau tanpa migrasi sepakbola yang kita tahu tak akan pernah ada. Namun, migrasi membentuk lebih dari sepakbola. Itu masuk ke hati kita semua, dari mana kita berasal, dan ke mana kita akna pergi.”
Skuad timnas Inggris di Euro 2021 bahkan jauh lebih beragam ketimbang Inggris secara negara yang punya 3 persen populasi warga berkulit hitam. Menurut Raheem Sterling, pentingnya tim dan inkulisivitas amatlah terasa. Ia merasakan pentingnya kepedulian dan kepemimpinan di dalam tim.
Skuad Inggris juga menunjukkan sikap kepemimpinan yang baik. Para pemain sebenarnya tak harus berlutut dalam mendukung gerakan #BlackLivesMatter dan sebagai bentuk perlawanan terhadap rasisme di sepakbola. Mengapa? UEFA tidak mengharuskan, cuma sedikit timnas yang melakukannya, dan Depdagri Inggris juga tak betul-betul mendukung.
Namun, para pemain Inggris tetap melakukannya sebelum kick off. Tidak sedikit penggemar Inggris yang mengejek timnasnya sendiri karena gestur anti-rasisme ini. Apa yang dilakukan mereka yang kontra juga bikin marah para pemain Inggris, tapi mereka bergeming dan melanjutkannya.
Stephen Frost dalam tulisannya di Forbes, mengatakan bahwa, “Budaya adalah yang kita lakukan, ketimbang yang kita katakan.”
Ia mencontohkan banyak manajer pihak bicara soal keragaman. Namun, Harry Kane, kapten timnas Inggris, memilih tak bicara dan menggunakan ban kapten pelangi untuk menghormati hak-hak umat manusia. Di sisi lain, UEFA justru melarang iklan yang berbasis pelangi di dua pertandingan di Rusia dan Azerbaijan dengan membawa-bawa aturan lokal.
Di masa lalu, timnas Inggris kurang sukses. Banyak yang bilang kalau timnas Inggris sebenarnya punya pemain berbakat, tapi kurang dalam semangat tim. Pemain mengutamakan dirinya sendiri atau klubnya sehingga tidak menyatu ketika disatukan di timnas. Kini, semuanya berubah.
“Bakat baru yang beragam hanya dapat ditemukan dalam budaya inklusif. Dengan dukungan, sumber daya, dan inklusi, kami memiliki para pemain yang memungkinkan kami mencapai final untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama,” tulis Frost.
Ini yang membuat orang-orang seperti Frost tidak begitu kecewa dengan hasil final Euro 2020. Meski tak berhasil meraih gelar juara, tapi timnas Inggris berhasil menunjukkan kalau mereka bisa hidup dan merawat keberagaman.
Tidak seperti tim yang akhirnya juara.
Sumber: Forbes