Pada Januari lalu, Acta Neuropathologica, sebuah lembaga yang berkonsentrasi kepada masalah saraf, memublikasikan sebuah jurnal yang memuat indikasi bahwa pemain sepakbola yang secara konsisten melakukan gerakan sundulan, lebih rentan terkena brain damage berupa CTE.
CTE sendiri merupakan kepanjangan dari Chronic Traumatic Encephalopathy. Gangguan ini menyebabkan penurunan massa otak dan akan menjalar ke saraf secara keseluruhan. Dampaknya, seseorang bisa kehilangan memori dan berkurangnya daya ingat, serta kesulitan bicara maupun bergerak.
Sebenarnya, selain sepakbola, CTE juga diderita olahraga dengan kontak kepala yang keras secara langsung seperti rugby, American Football, tinju, dan hoki es. CTE sendiri muncul seperti menjadi tren di kalangan pesepakbola dan American Football. Tercatat perkembangannya hampir menyamai atlet rugby dan olahraga keras lain seperti MMA (mixed martial arts).
Data dari Acta sendiri diperkuat oleh beberapa data dari MLS. Jumlah cedera kepala akibat benturan memengaruhi karier mereka. Bahkan beberapa pesepakbola mengakhiri karier mereka di usia yang sangat muda.
DC United, dalam 10 tahun terakhir, kehilangan total 6 pemain karena cedera kepala. Bahkan penjaga gawang mereka, Charlie Horton, yang juga mantan penjaga gawang timnas Amerika Serikat U-23, mengakhiri karirnya lebih cepat karena benturan keras di bagian kepalanya.
Di olahraga lain seperti American Football sendiri, penelitian tentang CTE sendiri dilakukan Boston University’s CTE Center. Dari 425 sample yang diteliti, 270 diantaranya terindikasi mengalami CTE.
Menurut Dr. Ann Mc.Kee dari Boston University’s CTE Center, penelitian telah ia lakukan kepada 14 mantan pemain sepakbola professional yang telah pensiun dan pernah mengalami cedera kepala, dengan 12 di antaranya meninggal.
Penelitian yang dilakukan menghasilkan 4 di antaranya mengalami CTE akibat benturan minor yang diterima sepanjang kariernya. Menurut Mc.Kee, CTE mulai tumbuh di usia 26 dan akan terasa dampaknya secara masif di usia 63 tahun. CTE sendiri akan dibarengi dengan adanya penyakit lain seperti Alzheimer.
Sedangkan ALS sendiri merupakan kepanjangan dari Amyotrophic Lateral Sclerosis, sebuah kerusakan motorik dari sistem saraf yang membuat penderitanya tidak mampu untuk melakukan kegiatan motorik apapun. Penderita ALS juga akan mengalami kesulitan untuk menggerakan otot dan persendian.
Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Adriano Chiò dari departemen Neurologi di University of Turin, memeroleh data yang dihimpun dari 1970-2002, pada 7000 pesepakbola profesional dengan minimal 1 penampilan. Kesimpulan yang diperoleh adalah 18 di antaranya meninggal karena ALS. Chio juga menyimpulkan, kematian akibat ALS bagi pesepakbola hampir 12 kali lipat dari kematian non pesepakbola akibat ALS.
ALS sendiri biasanya disebabkan oleh faktor genetika. Namun Dr. Adriano Chiò menemukan fakta bahwa benturan kepala juga menjadi penyebab seseorang bisa terkena ALS. Selain trauma akibat benturan, penggunaan obat-obatan baik legal mapun illegal juga bisa memicu ALS di hari tua. ALS sendiri biasanya mulai tampak di usia 60-an tahun ke atas. Namun bagi pesepakbola ditemukan fakta bahwa ALS menyerang 10 tahun lebih dini.
Namun penelitian yang dilakukan oleh Dr. Adriano Chiò ini memiliki banyak tanggapan pro dan kontra. Pihak yang kontra menyatakan belum ada keterkaitan yang cukup kuat, dan bukti yang kurang spesifik, menyebabkan banyak yang meragukan hasil penelitian, meskipun sebenarnya sudah banyak mantan pesepakbola yang mengalami ALS.
Pada 2005 lalu, Wolfsburg kehilangang gelandang andalan mereka di usia sangat muda, 29 tahun. Nama Krzysztof Nowak, akan terus diingan supporter Wolfsburg, skill individu dan permainan cepatnya, menjadi trademark bagi pemilik 10 penampilan bersama Polandia ini.
Selain itu nama-nama seperti mantan pemain AC Milan dan Udinese, Stefano Borgonovo, Legenda Jamaika, Barrington Gaynor, dan mantan pemain Empoli, Adriano Lombardi, hanya segelintir dari mantan pesepakbola yang meregang nyawa dikarenakan ALS. Terkahir, mantan pemain Glasgow Rangers, Zenit St Petersburg, Fernando Ricksen, didiagnosa ALS.
ALS sendiri saat ini belum dapat disembuhkan, namun beberapa penelitian menyatakan ada perkembangan untuk mencari penyembuh dari penyakit ALS. Kini, beberapa pencegahan dilakukan untuk menghindari CTE dan ALS.
Pada 2015 lalu, Federasi Sepakbola Amerika Serikat (USSF) berencana mengeluarkan aturan bagi kompetisi usia dini. Aturan tersebut ditujukan untuk mengurangi kontak yang berhubungan dengan kepala, termasuk gerakan sundulan, akan dianggap sebagai foul bagi kompetisi usia dini. Namun hingga kini aturan tersebut belum terealisasikan karena banyaknya pertimbangan. Selain mengubah rule of the game, akan cukup aneh apabila sepakbola tidak melakukan gerakan sunduluan.
Yang jelas, meskipun beberapa penelitian masih pro dan kontra, tapi CTE dan ALS adalah sesuatu yang nyata yang baru bisa untuk dihindari. Apabila ada asumsi kalau menyundul bola bisa mempermudah hadirnya penyakit tersebut, lantas, mengapa diteruskan?