Di dunia olahraga ada dua Spurs yang terkenal. Pertama, tim basket asal Texas, San Antonio Spurs. Kedua, klub sepakbola dari London, Tottenham Hotspur. Meski bernama mirip, istilah ‘Spurs’ keduanya berbeda.
Spurs dari NBA merujuk perlengkapan seperti paku kecil atau roda berduri di belakang sepatu yang dipakai pada tumit cowboy untuk mendorong kuda ke depan. Selayaknya pada logo timnya LaMarcus Aldridge itu. Negara bagian Texas memang terkenal dengan aktivitas berkuda khas Amerika. Sementara singkatan Spurs untuk klub Premier League diambil dari nama tokoh kawasan Tottenham abad ke-14, Sir Harry Hotspur. Sosok Harry ditampilkan pada drama garapan Shakespeare, Henry The Fourth. Karakter petarung tangguhnya lantas jadi falsafah pendirian tim sepak bola Tottenham pada 1882.
Jelas perbedaannya sangat mendasar di antara kedua Spurs ini. Mulai dari olahraga yang dimainkan, asal usul lokasi, sejarah, sampai sistem detail yang mengatur cara mereka beroperasi sebagai organisasi. Namun, menengok kesuksesan Spurs (tim sepak bola) tampaknya terkandung konsep-konsep basket yang terkait di seputar mereka.
Spurs era sekarang pantas berbangga hati menjadi klub papan atas. Tiga musim terakhir masuk empat besar, sekaligus dua kali finis di atas rival tetangga, Arsenal. Sempat nyaris juara saat Leicester City bikin kejutan besar, lalu mereka finis tertinggi di peringkat kedua pada dua musim lalu. Sekarang mereka satu-satunya klub London yang tampil di Liga Champions.
Tren sangat positif belakangan ini bermula setelah mengorbitnya dua pemain muda, Harry Kane dan Dele Alli. Ketika tim papan atas lain bisa terus bersaing dengan tumpuan pemain rekrutan berbanderol mahal, Spurs menyeruak sendirian menggantungkan nasib kepada dua lokal. Terbukti keduanya telah memberi kesuksesan melampaui para pendahulunya di Premier League. Kane dan Alli sangat bisa diandalkan untuk masa depan.
Pengibaratan di NBA, Spurs sukses mendapat pemain draft pick yang sangat layak diandalkan. Berbeda dengan sepak bola yang memiliki tim akademi, tim-tim NBA merekrut pemain muda dari konsep draft. Biasanya tim yang finis buruk selama bertahun-tahun berhak lebih dulu memilih pada draft night. Melalui pencari bakat, mereka memburu bakat-bakat potensial dari kampus. Spurs memang bukan tim papan bawah, tapi selama 21 tahun selalu finis di bawah Arsenal jelas menderita. Mereka bertahun-tahun tampak lakukan tanking (menyengaja kalah, karena masa iya sama Arsenal saja inferior melulu?), demi membangun ulang fondasi tim.
Lantas ketika Harry Kane mendapat breaktrough season pada 2014/2015, mulai saat itulah pertama kalinya Spurs menahbiskannya sebagai franchise player (konsep pemain utama di NBA). Di akhir musim itu, Kane mendapat PFA Young Player of The Year, mirip dengan konsep Rookie of The Year bagi pemain pertama jalani musim debut di kompetisi. Kane lambat laun menjadi first option bagi Spurs mencetak skor. Dengan teknik nyaris komplit sebagai penyerang tunggal, Kane kerap lakukan isolation play, cara-cara yang paling efektif untuk cetak angka. Tentu beberapa juga dibantu screening dan asis pemain lain.
Dari musim 2014/2015, perolehan golnya semakin meningkat dalam konsistensi mengerikan. Jumlah 21 gol pada musim breaktrough season tersebut jadi yang tertinggi untuk semusim seperti para legenda macam Teddy Sheringham dan Jurgen Klinsmann lakukan. Musim berikutnya dia jadi top skor liga dengan 25 gol. Dia pertahankan status pencetak gol terbanyak semusim berselang dengan total 29 gol. Musim lalu perolehannya juga meningkat menjadi 30 gol, tetapi harus kalah dari Mohamed Salah.
Kini, Kane masih menjadi yang terdepan di perburuan top skor lewat torehan 14 gol bersama Pierre-Emerick Aubameyang. Belum diketahui cara menghentikan Kane, karena semua tim Premier League yang dia hadapi pernah dibobolnya. Klub-klub London saja seperti mangsa baginya, tidak peduli rivalitas mengakar.
Semusim setelah mendapat Kane, Spurs lagi-lagi cerdik lakukan draft pemain. Dele Alli, pemuda 22 tahun asli Milton Keynes, bersama Kane membentuk Big Two. Banyak kejayaan di NBA yang dilakukan lewat kontribusi Big Two mereka. Kobe Bryant-Shaquille O’Neal untuk kegemilangan LA Lakers awal 2000-an, duet Karl Malone-John Stockton untuk Utah Jazz di tahun 1990-an, sampai fenomena Splash Brothers, Stephen Curry dan Klay Thompson di Golden State Warriors yang mendominasi NBA lewat lemparan tiga angka.
Tanpa mengesampingkan peran pemain lain dan kolektivitas sepak bola itu sendiri, duet Kane-Alli sangat menentukan perwajahan Spurs hari ini. Mereka ada di garis depan saat bicara soal capaian Spurs era Pochettino. Masih muda, orang Inggris asli, dan tulang punggung klub-timnas sekaligus. Alli melanjuti status Kane sebagai pemain muda terbaik Premier League dalam dua musim beruntun (2015-16 dan 2016-17). Bukti sahih keduanya telah terbukti mumpuni diandalkan. Mereka bertanggung jawab meletakkan martabat Spurs pada tempatnya.
Sebetulnya, ada dua nama lain yang lebih dulu menunjukkan kecerdasan Spurs lakukan draft pemain. Kyle Walker dan Gareth Bale juga meraih pemain muda terbaik, yakni pada 2011/2012 dan 2012/2013. Namun bicara loyalitas, tampaknya Kane dan Alli lebih unggul dibanding dua seniornya. Pada musim ini, Kane dan Alli sama-sama baru mengikat kontrak jangka panjang sampai 2024.
Itulah mengapa konsep franchise player layak tersemat kepada mereka. Muda berbahaya, mekar di tim yang biasa saja lantas disegani, menampilkan performa konsisten gemilang, dan memiliki dukungan penuh setiap orang di tim. Hal ini lazim terjadi di NBA, seperti Nikola Jokic untuk Denver Nuggets, Russell Westbrook di OKC Thunder, Devin Booker di Phoenix Suns, Trae Young di Atlanta Hawks, dll. Siapa sih pemain profesional yang tidak ingin berada di tim yang mengistimewakan dirinya?
Menyinggung kepergian Gareth Bale, ada satu lagi konsep NBA yang patut dicocokkan dengan kondisi Spurs. Pada NBA, jual-beli pemain tidak semudah seperti di sepak bola. Asal ada kecocokkan harga, pemain lantas dibeli. Tim NBA memperlakukan pemain sebagai sebuah aset yang baru bisa dihargai dengan aset bernilai serupa dari tim lain. Hal ini sangat memperhatikan salary cap suatu tim supaya tidak adanya tim yang lantas bangkrut. Menghindari nasib seperti klub-klub olahraga lain yang gagal mengelola keuangan. Semua terjadi dalam sistem besar berupa franchise team. Segala ketentuannya diharapkan menguntungkan satu sama lain demi membangun hegemoni kompetisi tetap sehat.
Transfer Bale ke Real Madrid senilai 86 juta paun memecahkan rekor saat itu. Spurs lantas lakukan semacam trade (jual beli aset) dari uang Bale. Tidak tanggung-tanggung, Lilywhites mengangkut tujuh pemain menambal kepergian Bale sembari memperkuat skuat. Dari ketujuh nama yang ada, tersisa dua yang masih tersisa, yakni Christian Eriksen dan Erik Lamela. Jika Lamela belum konsisten akibat cedera panjang, Eriksen justru menjelma menjadi international franchise player.
Bersama Kane dan Alli, praktis Eriksen berperan sebagai andalan utama Spurs memperoleh kemenangan. Hanya saja, Eriksen tidak mendapat sorotan utama karena status Kane dan Alli sebagai pemuda Inggris yang turut diharapkan bangsa. Apalagi Kane terkenal dengan bahasa Inggrisnya yang khas dan kehidupan pribadi yang inspiratif. Sementara Alli sangat sering jadi komoditas pemberitaan media karena sikap emosional, gaya tengil, dan kisah skandal seks darah mudanya.
Status warga negara Denmark bisa membuat Eriksen bak international franchise player. Mirip apa yang dialami Dirk Nowitzki untuk Dallas Mavericks, Yao Ming bersama Houston Rockets, dan Manu Ginobilli dengan San Antonio Spurs. Untuk Mavericks, mereka ketagihan mengulangi kejayaan bersama pemain internasional. Terbukti musim ini mereka memilih rookie Luka Doncic yang lantas jadi fenomena.
Memang tidak semua istilah di NBA bisa disangkutpautkan dengan Spurs yang sedari nama saja punya kesamaan dengan tim NBA. Dari segi pelatih, Mauricio Pochettino belum sejajar dengan Gregg Popovich yang punya reputasi selalu tembus play-off, juara NBA lima kali, dan tidak terbantahkan pantas berada di Hall of Fame.
Butuh waktu bagi Pochettino bisa dimirip-miripkan dengan Pop, sapaannya. Pochettino juga tidak lebih dahulu menukangi tim-tim kampus atau katakanlah tim akademi di sepak bola. Seperti langkah yang diambil beberapa pelatih sebelum menginjakkan kaki di NBA.
Tottenham juga saat ini tidak punya pemain cadangan yang selalu cetak gol kemenangan di waktu krusial. Sebab ada istilah semacam itu di NBA, yakni Sixth Man of The Year, ditujukan kepada pemain yang tidak mengisi starting line-up berisi lima pemain awal. Musim lalu status Sixth Man of The year NBA digenggam Lou Williams. Pemain LA Clippers itu memang punya reputasi datang dari bangku cadangan untuk cetak poin clutch alias terpenting di waktu genting.
Eits, setidaknya ada satu lagi istilah NBA yang cocok untuk kondisi Spurs saat ini, yakni bust. Istilah ini disandang pemain yang dipilih masuk tim NBA di urutan tertinggi saat draft, tapi gagal berkembang. Maka sang topskor dan pemain muda terbaik Eredivisie 2015-16, pencetak gol debut untuk timnas Belanda di Stadion Wembley, serta digadang-gadang membentuk duet maut muda bersama Kane ini pantas dianggap bust.
Siapa dia? Vincent Janssen.