Musim dingin 2017. Ellis memutuskan bahwa klub yang ia miliki hampir sedekade, harus bangkit dari keterpurukan yang semakin hari semakin menjadi. Rentetan 20 laga kandang tanpa satu pun kemenangan memang memalukan. Maka dengan penuh perjudian seperti yang sudah-sudah, ia menunjuk manajer yang sukses membawa Wales maju ke semifinal Piala Eropa 2016, Chris Coleman.
Tentu saja, beban berat ada di pundak sang manajer baru. Namun, kebanyakan sudah kadung pesimis keputusan tersebut. Penyebabnya sederhana, memang sejak awal kebijakan pemilik klub berkebangsaan Amerika Serikat tersebut seringkali tidaklah tepat bagi klub.
Sedikit merunut ke belakang, Ellis Short datang ke Sunderland dengan menanamkan sebagian sahamnya pada 2008 silam melalui sebuah konsorsium bernama Drumaville Consortium. Saat itu, posisi chairman masih ditempati legenda hidup Sunderland, Niall Quinn yang juga turut ambil bagian dalam konsorsium yang sama. Barulah pada 2011, Ellis menempati jabatan chairman.
Kehadiran Ellis saat itu bertepatan dengan tren konglomerat Amrik untuk membeli klub di Premier League. Tercatat nama seperti George Gillet dan Tom Hicks (Liverpool), Randy Lerner (Aston Villa) serta Stan Kroenke (Arsenal).
Rentetan mis-manajemen yang dilakukan Ellis mencapai titik puncaknya pada musim 2015/2016. Di musim tersebut, Sunderland mencatatkan kerugian yang sangat besar, yakni 25 juta paun. Kerugian yang membuat total utang klub menjadi 170 juta paun dalam kurun total satu dasawarsa.
Salah satu penyebab utamanya, tak lain adalah pembelian pemain yang buruk dan gagal mengatur besaran gaji pemain. Pembelian Didier Ndong dari klub Ligue 1, Lorient senilai 20 juta paun (dengan klausul) yang menjadikan rekor transfer termahal klub juga banyak mengundang tanda tanya karena kontribusinya yang tak sebanding. Pun dengan gaji pemain yang boros, seperti membayar gaji Jack Rodwell yang notabene pemain muda, sebesar 70 ribu paun per pekan.
Bila diibaratkan, kehadiran Ellis Short di Sunderland sejak awal adalah untuk menaruh bom waktu dan juga memicunya. Publik Sunderland tinggal menunggu waktu untuk meledak.
Isu Instabilitas Kursi Manajer
Stabilitas tim juga menjadi hal yang gagal diwujudkan oleh Ellis Short. Sejak kepemilikannya di klub pada 2008, Sunderland berganti manajer sebanyak 11 kali. Hal ini juga turut mempengaruhi besaran pesangon yang harus dibayarkan oleh klub.
Penunjukan Paolo Di Canio sebagai manajer juga merupakan salah satu ‘dosa’ Ellis Short yang paling diingat. Keraguan publik akhirnya terbukti kala Di Canio gagal mencatatkan hasil gemilang dan malah menuai kontroversi lantaran membuat konsisi ruang ganti menjadi brutal dan ricuh. Belanja gila-gilaan 14 pemain dan turut menjual pemain yang berpengaruh dalam tim saat itu seperti Simon Mignolet, James McClean, dan Stephen Sessegnon. Di Canio akhirnya dipecat setelah melewati 13 laga saja.
Sunderland juga nyaris terdegradasi saat dibesut Gus Poyet. Namun, perjudian Sunderland dengan menunjuk manajer kawakan, Dick Advocaat sebagai pengganti manajer berkebangsaan Uruguay tersebut, bisa dibilang mujarab. Mereka selamat dari ancaman degradasi di 2015.
Dan bukannya belajar dari pengalaman, Sunderland lagi-lagi terancam degradasi di paruh pertama musim berikutnya. Untungnya, Sam Allardyce bisa mendongkrak performa di paruh musim kedua.
Kesialan lantas terjadi lantaran Sam Allardyce saat itu ditunjuk menjadi manajer Three Lions. Lagi-lagi, Sunderland harus menelan pil pahit. Celakanya, ditengah menumpuknya utang dan kesulitan finansial, mereka malah menunjuk David Moyes yang baru saja ‘babak belur’ di La Liga bersama Real Sociedad. Maka, terjadilah bencana yang sudah diramalkan sebelumnya. Sang pemilik klub lantas menyerah untuk Sunderland dan berniat menjualnya. Namun, utang klub yang menggunung membuat siapapun harus berpikir berulang kali mengakuisisi klub peraih 6 gelar First Division dan 2 Piala FA ini.
Kegagalan Rekrutmen Pemain
Bila dilihat secara materi tim, Sunderland sebenarnya memiliki skuat yang layak untuk setidaknya bertahan di Championship. Musim ini mereka diperkuat nama-nama seperti Bryan Oviedo, Jack Rodwell, gelandang muda Paddy McNair, striker muda Ashley Fletcher, serta defender kawakan, John O’Shea.
Kehilangan pemain sekaliber Jermain Defoe, Jordan Pickford, Youness Kaboul, dan Fabio Borini yang banyak membantu mereka di Premier League, jelas membuat kekuatan Sunderland semakin melemah. Dengan bajet transfer musim panas lalu yang hanya sebesar 1,2 juta paun serta keterbatasan sumber dana akibat degradasi, maka menyalahkan manajer mereka di awal musim ini, Simon Grayson adalah sebuah tindakan yang tidak bijak.
Selalu Konsisten Menjadi Paling Buruk
Mungkin satu-satunya konsistensi yang dimiliki Sunderland adalah konsistensi untuk menjadi tim yang buruk. Sejak kembali ke Premier League di musim 2007/2008, Sunderland tidak pernah menang lebih dari 12 kali tiap musimnya. Itu pun catatan terbaiknya, yakni 12 kemenangan di musim 2010/2011 yang menjadikan mereka berada di posisi ke-10. Posisi terbaiknya selama satu dekade terakhir. Tiga musim terakhir di Premier League, mereka hanya mencatatkan masing-masing sebanyak 7, 9, dan 5 kemenangan saja di tiap musimnya.
Sehingga bisa disimpulkan bahwa buruknya prestasi Sunderland ini diakibatkan oleh siklus ketidakstabilan posisi manajer di Sunderland menyebabkan belanja pemain yang besar. Sehingga berdampak pada keuangan mereka. Dan ini terus berputar-putar selama rezim Ellis Short.
Menariknya, kegagalan Ellis Short menambah panjang catatan buruk para pemilik klub asal negeri Paman Sam di liga Inggris. Kalaupun tim mereka mereka cukup berhasil, para pemilik klub ini kerap bermusuhan dengan suporter lantaran kebijakan mereka yang tidak populer. Kita bisa lihat apa yang terjadi dengan Kroenke di Arsenal, juga Lerner di Villa dan Gillet-Hicks semasa kepemilikannya di Liverpool.
Ledakan bom waktu yang ia buat, kini telah meledak. Tentu saja, Ellis adalah pelaku yang paling pantas disebut bertanggung jawab, dengan segala rentetan kesalahan yang telah ia perbuat untuk Sunderland yang musim depan harus bermain di kompetisi kasta ketiga. Dan ini merupakan sejarah, sebuah klub mengalami dua kali degradasi dalam musim berturut dari kasta tertinggi.
Akhirnya tak ada lagi yang bisa diperbuat Sunderland, yakni harus bangkit dan berjuang membangun kembali puing-puing sisa kehancuran. Gegap gempita derby Tyne-Wear di kompetisi liga dengan rivalnya, Newcastle pun tak akan kita temui, setidaknya dalam dua musim ke depan.
Entah kalau Newcastle mau menemuinya di Championship.