Tato, Norma, dan Sepakbola

Foto: RTHK.hk

Mulai dari Yesus di tubuh David Beckham hingga trauma tiang gawang Mauricio Pinilla, tato adalah bentuk ekspresi, tidak terkecuali pesepakbola. Namun, tidak semua melihat lukisan di tubuh sebagai ekspresi ataupun seni.

“Tahukah kamu bahwa tubuhmu adalah bait Allah, dan roh kudus hidup didalammu? Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu,” kutipan dari kitab suci umat kristiani, Alkitab, tersebut kerap keluar dari mulut orang tua untuk menceramahi anaknya saat meminta izin membuat tato.

Selain alasan agama, norma juga menjadi halangan bagi beberapa orang ketika ingin membuat tato. Sama seperti rambut gondrong, gimbal, mowhawk, ada nilai buruk yang ditanamkan masyarakat dalam penampilan tersebut.

Ketika keadaan sosial sudah memberikan nilai-nilai buruk kepada sesuatu, termasuk tato. Atlet sepakbola sekalipun tidak lepas dari prasangka negatif tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sikap Asosiasi Sepakbola Tiongkok (CFA) yang meminta pemain untuk menutup tato mereka saat bermain.

“Tiongkok membawa nilai-nilai nasional dan bangga akan budaya. Termasuk nilai sosialis. Dengan alasan itu, para atlet sepakbola juga harus mencerminkan nilai yang sama. Jadi contoh bagi masyarakat lainnya,” jelas CFA tentang pelarangan tato tersebut.

Peraturan ini berlaku dari divisi profesional tertinggi, Chinese Super League sampai dengan tim nasional muda mereka. Peraturan tersebut bahkan mempengaruhi masa depan pemain di tim nasional. “Saya tidak suka dengan tato atau rambut yang dicat,” ungkap Pelatih Tim Nasional Perempuan Tiongkok Jia Xiuquan.

Foto: ESPN

“Jika mereka ingin masuk ke tim nasional, tato ataupun cat rambut itu harus dibersihkan. Fokus sepakbola ada dalam pertandingan, bukan individu pemain,” lanjut peraih predikat pemain terbaik Piala Asia 1984 itu.

Tiongkok memang dikenal sebagai negara yang patuh kepada pemerintahan mereka. Saat Presiden Xi Jinping meminta Tiongkok fokus membangun sepakbola, bukan hanya stadion dan lapangan yang dibangun. Liga mereka melakukan transformasi dan banyak pengusaha Tiongkok yang merambah sepakbola Eropa.

Wajar jika pada akhirnya pemain-pemain Tiongkok mulai mematuhi peraturan yang dibuat CFA. Menjaga citra negara mereka dan mulai menutupi tato yang ada di tubuh sejak Maret 2018. Xu Genbao, legenda sepakbola Tiongkok yang dijuluki ‘Godfather of Shanghai’ ikut menjaga amanat ini.

“Pemain yang memiliki tato atau mengubah warna rambutnya akan saya tendang dari tim,” kata pendiri Shanghai Dongya, cikal bakal jawara CSL 2018, SIPG FC. Ketika ‘Godfather of Shanghai’ sudah bersabda, pemain lebih baik menuruti perkataanya.

Stigma Triad

Foto: Ebay

Tato sebenarnya memiliki pasar yang besar di Tiongkok. South China Morning Post bahkan sempat membuat liputan khusus terkait perkembangan tato di Negeri Tirai Bambu. Sialnya, sekalipun diminati berbagai kalangan, tato tetap menjadi simbol mafia dan kriminal.

Berbagai liputan, baik dari media Tiongkok atau luar negeri, selalu ada dua argumen yang diberikan ketika penduduk Xi Jinping ditanya soal tato: Keren dan penjahat. Kedua kata itu hampir selalu keluar dari satu mulut warga yang mereka tanya.

Stigma ini perlahan mulai pudar. Zhuo Danting, artis tato asal Tiongkok menceritakan pada Jakarta Post bagaimana tato mengalami perubahan makna dari lambang kriminal dan juga pekerja seksual menjadi mode.

“Tentu pertama-tama orang akan terkejut dan ketakutan melihat tato. Mereka berpikir itu pasti orang jahat atau pernah masuk penjara. Tapi sekarang tato adalah hal keren. Sebuah pembeda untuk membuat diri kita menonjol,” jelasnya.

Zhao Zhen, jurnalis olahraga untuk Weibo juga melihat hal yang sama. “ketika David Beckham datang ke Universitas Peking, Anda tahu apa yang paling menarik bagi para mahasiswa/i?,” tanyanya ke Shi Futian dari China Daily.

“Saat dia menunjukkan tato bahasa Tiongkok yang ada di tubuhnya,” lanjut Zhao Zhen.

Sayangnya, hal itu tidak dipikirkan oleh pemerintahan Tiongkok. Mereka bahkan pernah melarang kartun anak-anak ‘Pegga Pig’ karena mempromosikan gaya hidup anggota gang dalam serialnya. Tiongkok yang pernah merasakan era kejayaan Triad di abad ke-18 tak mau hal itu terulang. Stigma kriminal pun kembali digencarkan.

Stigma Yakuza

Foto: Stuff.co.nz

Terlepas dari ketatnya aturan anti-tato untuk atlet Tiongkok, mereka bukan satu-satunya yang melakukan hal tersebut. Jauh sebelum peraturan yang dibuat oleh CFA, Jepang sudah melakukannya sejak lama. Alasannya sama, stigma kriminal.

Jika Tiongkok memiliki Triad, Jepang ada Yakuza. Ketika Triad pindah mengancam Jackie Chan dan Chris Tucker di film ‘Rush Hour’, Yakuza masih beredar di Jepang. Menurut BBC, anggota Yakuza di Jepang masih ada sekitar 35.000 orang.

Begitu kentalnya aroma Yakuza di Jepang bahkan membuat Piala Dunia Rugby 2019 di Negeri Matahari Terbit menerapkan aturan anti-tato. Seluruh peserta diminta menutupi lukisan di tubuh anggota mereka.

Foto: Twitter

“Jika hal ini terjadi setahun yang lalu, mungkin kami akan frustasi mendengarnya,” kata Alan Galpin, direktur pelaksana Piala Dunia Rugby. Rasa frustasi itu wajar dirasakan Galpin. Pasalnya, rugby juga dikenal dengan pemain-pemain yang memiliki tato sebagai ciri khas mereka, terutama dari juara bertahan, Selandia Baru.

Untungnya pemain-pemain All Blacks -julukan Selandia Baru- memahami kondisi Jepang. “Mau di mana pun kami berada, menghargai kultur daerah tersebut adalah kewajiban,” kata perwakilan asosiasi Selandia Baru, Nigel Cass.

Yakuza disebut sebagai otak dibalik kematian atlet legendaris Jepang, Rikidozan. Tato dan Yakuza juga merusak karier politik murid Rikidozan, Antonio Inoki. Wajar akhirnya apabila talenta-talenta sepakbola Jepang seperti Hidetoshi Nakata dan Shinji Kagawa tidak pernah terlihat memiliki tato.