Ultras yang Tak Melulu Sesuai dengan Budaya Sepakbola

Ada pemandangan menarik, kalau tak bisa dibilang aneh, di Liga Sepakbola Amerika Serikat atau MLS. Saat ini, sejumlah kelompok ultras mulai hadir dengan segala pernak-perniknya seperti baju hitam-hitam, bom asap, sampai menyalakan suar di stadion. Hal ini menimbulkan keanehan karena agaknya budaya sepakbola Amerika Serikat tak terbiasa dengan grup bernama Ultras.

Graham Ruthven dari The Guardian menulis bahwa saat MLS dimulai pada 1996, budaya Ultras di sepakbola Eropa tengah mereda. Tentu, Ultras masih ada hingga saat ini. Akan tetapi, tingkat kekerasan dan kejahatan tak setinggi di era 1980-an yang kala itu diperkenalkan di sepakbola Inggris dan Italia. Dalam beberapa hal, MLS kini mulai mengejar “ketertinggalan” dari budaya Ultras di Eropa.

Sebenarnya, agak sulit untuk membawa budaya kelompok suporter tertentu ke daerah lain. Misalkan, suporter casual agak sulit untuk beradaptasi di Indonesia, utamanya di kota-kota tepi pantai. Alasannya? Ya tidak cocok saja melihat orang mengenakan mantel tebal di tengah terik matahari dan udara yang panas. Mereka yang jalan berkelompok mengenakan setelan tak lazim pun lebih tampak seperti parade orang-orang yang ingin diperhatikan.

Hal senada juga terjadi di Amerika Utara yang memiliki budaya suporternya sendiri. Akan tetapi, tentu saja ada sejumlah kelompok Ultras yang menyelinap di sana. Salah satunya ditunjukkan oleh Inebriatti yang disanksi oleh klubnya sendiri FC Toronto, karena menyebabkan kekacauan dalam pertandingan yang digelar di Ottawa.

Mereka menyalakan bom asap serta suar ke lapangan sembari menggunakan topeng. Hal ini membikin suporter lain jadi tak nyaman. Mereka bahkan disebut-sebut tak boleh lagi hadir di pertandingan Toronto FC manapun!

Salah satu suporter yang hadir di pertandingan tersebut adalah Martyn Bailey. Dikutip dari Sportsnetia sebenarnya sering menyaksikan pertandingan dalam lingkungan yang tak bersahabat seperti di Meksiko, Panama, maupun di El Salvador. Akan tetapi, baru kali ini dia merasa ketakutan.

Semuanya berjalan normal pada awalnya. Ia bersama sekitar 50-an suporter Toronto, bernyanyi dan berteriak sepanjang pertandingan untuk mendukung timnya. Akan tetapi, segalanya berubah setelah pada menit ke-70, sekitar enam sampai 12 anggota Inebriatti, menyalakan suar dan bom asap. Ini membuat langit dihiasi asap hitam serta ledakan keras yang membuat seisi stadion kebingungan dan panik. Alhasil, ia memilih pergi dan tak melanjutkan pertandingan.

Sejatinya, bukan cuma Inebriatti yang diberi sanksi larangan menonton oleh kesebelasan yang mereka dukung. New York Red Bulls awal tahun ini baru mencabut keanggotaan resmi Garden State Ultras sebagai suporter mereka. Alasannya karena mereka mendapat sejumlah keluhan dari penggemar yang lain, pegawai stadion, bahkan polisi. Hal senada juga dilakukan Chicago Fire yang tak mengakui Sector Latino sebagai kelompok suporter resmi mereka.

Meskipun ada sejumlah contoh pelarangan, akan tetapi budaya Ultras di MLS terus berlanjut. Pertanyaan pun hadir. Apa yang membuat begitu banyak suporter yang ingin mengikuti cara kelompok pendukung terdahulu? Mengapa pula budaya Ultras di Amerika Serikat kian meningkat?

Menurut Graham, salah satu alasannya adalah karena soal persepsi, bahwa sepakbola harus mengikuti akarnya langsung. Mereka mesti mengadopsi aspek hardcore dari budaya Eropa dan Amerika Selatan. Ini yang menurut Graham, tampaknya menggiring ke begitu banyaknya budaya Ultras. Sayangnya, kekerasan merupakan budaya paling menyedihkan dalam budaya Ultras yang sialnya, diadopsi oleh banyak negara.

Salah satu kelompok suporter New York City FC, Ben Glidden dari The Third Rail, menyatakan kalau Ultras yang hadir di Amerika tidak ia anggap sebagai Ultras yang asli dalam segi apapun. “Mereka cuma mencari perhatian. Di kepala mereka, kalau Anda tak punya kelompok Ultras di klub, maka Anda bukanlah klub betulan. Itu menggelikan,” tutur Ben.

Meskipun berstatus sebagai klub baru, tapi ada sejumlah aktivitas Ultras di NYC FC. Salah satunya, pada pertandingan pembuka MLS 2017, ada sejumlah penggemar yang menghancurkan kursi di Stadion Orlando City. Polisi juga menahan sejumlah penggemar karena berkelahi di sekitar stadion. Ada pula tawuran antara fans NYC FC dengan Red Bull sebelum derby pada 2015.

Pandangan Ultras Soal Pelarangan

Akan tetapi, menurut salah satu pentolan Garden State Ultras, pelarangan sejumlah Ultras ini karena tujuan liga yang bertentangan dengan mereka. “Kalau Anda melihat segalanya sekarang, awalnya kami, lalu Sector Latino, kini Inebriatti, itu terus menerus terjadi. Kupikir ini berasal dari liga. Mereka ingin menunjukkan Timbres dan Sounders, dan La, dan kini LAFC, sebagai kesebelasan yang punya penggemar yang baik dan memiliki lingkungan yang ramah keluarga.”

Hal ini juga diyakini oleh San Jose Ultras yang merasa kalau dukungan mereka masih sejalan dengan kemauan klub. Akan tetapi mereka merasa kalau MLS sebagai operator liga amat membatasi dalam hal memberi dukungan.

“Ini jelas bukan lingkungan yang terbaik buat jenis dukungan organik atau natural. Menurut pendapat saya, kelompok yang dilarang itu seperti mendapatkan berkah yang tak terlihat. Soalnya, kini mereka punya lebih banyak kebebasan untuk melakukan yang mereka mau, karena tak ada lagi sesuatu untuk dipertanggungjawabkan,” tutur anggota San Jose Ultras, Dan Margarit.

Budaya yang Berbeda

Kehadiran ultras sejatinya bisa menguntungkan buat klub. Ultras yang punya konotasi negatif biasanya diasosiasikan dengan kekerasan, kerusuhan, tapi kabar baiknya, bisa membuat stadion lebih mengancam lawan yang bertandang ke sana. Ini membuat kesebelasan lawan nyalinya ciut sebelum bertanding.

Akan tetapi budaya ini tak bisa dibawa ke Amerika Serikat. Pasalnya, budaya menyaksikan pertandingan di Amerika Serikat amat berbeda dengan yang terjadi di Eropa dan Amerika Selatan. Di AS menyaksikan pertandingan tak ubahnya piknik keluarga, di mana sepakbola adalah bagian dari hiburan. Ini yang membuat kehadiran Ultras terasa terlalu menggelegar buat penonton pada umumnya.

Perbedaan lainnya adalah klub di MLS bisa mengontrol kelompok suporternya. Salah satunya ketika MLS melarang penggemar menyanyikan lagu penghinaan. Ini direspons New York Red Bulls dengan menawarkan masing-masing 500 dollar buat tiga kelompok suporter agar tak menyanyikan lagu kasar. Dua kelompok menerima, sementara GSU, yang kemudian dilarang, menolak. Keputusan mereka untuk memberi dukungan dengan cara yang berbeda membawa mereka ke pengasingan.

Uniknya, kesebelasan MLS punya fitur yang bagus buat Ultras yang kini tak ada di Eropa. Misalnya ada tribun berdiri, bahkan Orlando City punya tribun khusus untuk menyalakan flare!

Pelarangan ini mungkin akan dianggap sebagai sesuatu yang bisa menurunkan minat warga Amerika Serikat pada sepakbola. Akan tetapi, saat ini rataan penonton di Amerika Serikat masih lebih tinggi ketimbang Ligue 1 Prancis dan Eredivisie Belanda.

Perbedaan budaya sebenarnya bisa diakali dengan begitu baik oleh MLS. Aturan tegas yang mereka buat membuat akar kekerasan bisa dipaksa untuk tak menjalar ke mana-mana. Mereka melakukannya karena untuk menjaga budaya menyaksikan sebuah acara olahraga, di mana semua orang, perempuan, pria, tua-muda, berhak datang ke stadion. Karena sepakbola, khususnya, adalah milik kita semua, bukan cuma milik penguasa.