Pertanyaan “Dari 250 juta orang di Indonesia, mengapa tidak ada 11 yang bisa bermain timnas ke Piala Dunia?” adalah sesuatu yang klise. Soalnya, kualitas sepakbola tidak bisa cuma mengandalkan 11 pemain jago. Ada banyak unsur lain yang membentuknya, terutama ditinjau dalam segi ekonomi.
Di era globalisasi seperti sekarang ini, hubungan antarnegara jelas tak bisa dikesampingkan. Jarang ada negara yang 100 persen mandiri. Dalam beberapa hal, mulai dari sumber daya alam dan manusia, hingga urusan membuang sampah sekalipun, satu negara bergantung dengan negara lain.
Hal ini ternyata ada hubungannya dengan sepakbola. The Economist, menggambarkan bagaimana kegiatan ekspor-impor juga berpengaruh besar bagi kemajuan sepakbola sebuah negara.
Mengimpor Ilmu Sepakbola dari Negara Lain
Hal pertama yang diperlukan untuk membangun negara sepakbola adalah menyiapkan bibit-bibit unggul. Hal ini dilakukan Uruguay dan Cina. Kedua negara tersebut berusaha agar anak-anak bermain bola sedari kecil. Presiden Cina, Xi Jinping, ingin agar sepakbola diajarkan di 50 ribu sekolah pada 2025.
Kalau anak-anak sudah tertarik untuk bermain bola, maka yang diperlukan adalah pembinaan berjenjang dan berkualitas. Hal ini dilakukan oleh Federasi Sepakbola Jerman, DFB, yang memulai pengembangan akademi sepakbola pada 2001. Ini merupakan hasil dari buruknya timnas Jerman di era 2000-an yang dianggap tak bisa bersaing dengan kesebelasan negara lain.
Jerman menginvestasikan 1 miliar euro sejak 2001. Uniknya, sesi latihan lebih banyak dihiasi dengan latihan yang memaksimalkan kreativitas. Jerman pun mengombinasikannya dengan teknologi robotik untuk para pemainnya latihan umpan dengan akurat.
Akan tetapi, teknologi robot tak akan sebagus manusia dalam pengembangan manusia itu sendiri. Hal ini yang dilakukan Korea Selatan pada 2001 dengan mendatangkan Guus Hiddink. Kehadiran Hiddink memberikan dimensi baru buat Korea Selatan. Bukan cuma dalam jangka pendek, tapi juga jangka panjang.
Hiddink memerhatikan bahwa para pemain Korea Selatan tak punya kepercayaan diri untuk berekspresi. Padahal, itu amat diperlukan agar para pemain mereka bisa beradaptasi dengan sepakbola yang lebih cair di masa itu juga di masa depan. Menanamkan pemahaman untuk bermain kreatif pula yang hingga saat ini diterapkan Korea Selatan. Kalau ini tak dilakukan, mungkin kita tak akan mengenal nama-nama seperti Son Heung-Min atau Ki Sung-yeung.
Kehadiran Hiddink juga membuat para pencari bakat di Korea Selatan tak lagi cuma menyaksikan pertandingan di level klub. Mereka juga menyaksikan pertandingan tentara juga universitas. Ini tak lepas dari peran Hiddink yang merasa kalau sejumlah pemain bagus justru bergabung dengan angkatan bersenjata atau tetap menjalani kegiatan akademik mereka.
Hal yang sama juga dilakukan Hiddink ketika menangani Rusia. Ia meminta dibuatkan program pemanduan bakat dengan skala nasional. Akan tetapi permintaan ini tidak dikabulkan. Apa yang terjadi sekarang? Rusia menjadi kesebelasan dengan skuat tertua di Piala Dunia. Mengapa? Karena mereka tak punya pemain muda yang bagus.
Mengekspor Pemain Sebagia Pengalaman
Negara-negara Afrika biasanya lebih berprestasi di Piala Dunia ketimbang negara Asia. Mereka punya permainan yang lebih konsisten juga lebih dikenali publik karena para pemainnya juga bermain di Eropa.
Pantai Gading misalnya, mereka mengirimkan pemain ke Liga Belgia. Para pemain baru lebih mudah beradaptasi dengan kompetisi di Eropa, untuk kemudian dipantau kesebelasan yang lebih besar. Menurut Economist, ketika Senegal mengalahkan Prancis pada 2002, semua pemain Senegal, kecuali dua orang, bermain di kesebelasan Liga Prancis.
Akan tetapi, negara juga penting untuk mengetahui siapa saja yang bermain di luar negeri. Jangan sampai kasus Patrick Vieira terulang. Kala itu, karena Senegal tak pernah mengontaknya, Vieira pun akhirnya bermain untuk Prancis. Ia bahkan menjadi satu di antara sejumlah imigran yang menjuarai Piala Dunia 1998.
Hal senada juga dilakukan oleh Kroasia. Sejak 1991, tidak ada kesebelasan Kroasia yang bisa berbicara banyak di Liga Champions. Akan tetapi, para pemain mereka justru bisa bermain di Real Madrid, Barcelona, dan kesebelasan besar Eropa lainnya. Manfaatnya terasa saat ini ketika Kroasia berhasil ke final Piala Dunia 2018.
Akan terasa apabila para pemain tetap bermain di negaranya sendiri–kecuali di negara tempat kompetisi top Eropa. Seperti Meksiko U-17 yang berjaya di kelompok umurnya, tetapi di tim senior mereka justru melempem. Hal ini bisa dijelaskan bahwa mayoritas pemain di timnas senior Meksiko, bermain di liganya sendiri. Salah satu alasannya karena kesebelasan di Meksiko bisa membayar sama mahalnya dengan yang didapatkan para pemain ini kalau main di Eropa.
Ini juga yang mungkin menjadi jawaban kenapa timnas Indonesia bisa berjaya di kelompok usia U-16 atau U-19, tetapi selalu gagal di tingkat senior.
Perubahan Struktural
Selalu ada pertanyaan, mengapa negeri pengimpor, tidak mempelajari barang impornya dan memproduksi sendiri? Apalagi sepakbola juga tidak bicara soal sumber daya, karena setiap pemain pada umumnya punya kemampuan yang sama. Yang dibutuhkan adalah program-program. Lantas, mengapa jarang berhasil?
Menurut Szymanski ini merupakan bagian dari “jebakan kelas menengah” yang biasa dialami negara berkembang. Mereka bisa menyalin program yang sama, tapi gagal mengimplementasikannya secara struktural.
Sir Alex Ferguson adalah pelatih yang jenius. Apakah dia bisa sukses menangani timnas Indonesia? Bisa saja. Dengan bakat-bakat yang dipunya Indonesia, Fergie bisa saja memaksimalkan itu semua. Akan tetapi, bisakah Fergie tahan kalau-kalau PSSI bikin “Tur Timnas U-19 Keliling Indonesia”?
Di sinilah struktur itu berpengaruh. Akan sulit mengembangkan pemain kalau secara struktur tidak ada yang direformasi. Bagaimana sepakbola Indonesia mau maju kalau pemimpinnya saja cuti dan kini punya dua jabatan. Bagaimana suporter Indonesia mau rukun kalau anak buah pemimpinnya saja berulah di lapangan.
Sumber: The Economist.