Rasisme sudah menjadi salah satu musuh terbesar dalam dunia sepakbola sejak dulu kala. Sejumlah pemain tertentu, yang memiliki fisik berbeda dari mayoritas pemain lain misalnya, akan jadi korban rasisme dari para penonton di stadion. Mereka biasanya akan diejek secara verbal melalui nyanyian suporter, atau juga melalui tulisan atau gambar pada poster dan spanduk yang dipasang di tribun.
Serie A Italia selama ini dikenal sebagai salah satu liga top Eropa dengan tingkat rasisme yang sangat tinggi. Serangan rasisme kepada para pemain, terutama mereka yang berkulit gelap selalu saja terjadi di hampir setiap musim. Di musim 2022/2023 lalu, striker Inter Milan Romelu Lukaku dan bek Samuel Umtiti yang bermain untuk Lecce jadi korban serangan rasisme fans tim lawan selama laga di stadion.
Analisis Pertandingan
Menariknya, fakta terbaru mengungkap bahwa wasit Serie A ternyata juga terindikasi sebagai pelaku rasisme di lapangan hijau dalam kompetisi sepakbola Negeri Pizza itu. Fakta ini diketahui dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Beatrice Magistro dari University of Toronto bersama Morgan Wack dari University of Washington, Amerika Serikat, seperti dilansir The Guardian pada Februari 2023.
Dijelaskan dalam publikasi mereka di jurnal Sociology terbitan British Sociological Association, Inggris tersebut, kedua peneliti itu telah menemukan fakta bahwa para wasit di Serie A memberikan lebih banyak hukuman pelanggaran kepada pemain berkulit gelap dibandingkan pemain berkulit terang sepanjang 2009 hingga 2019. Termasuk pula lebih banyak kartu kuning dan kartu merah bagi mereka.
Magistro dan Wack mempelajari data pada setiap pertandingan Serie A antara 2009 dan 2021 dalam penelitian itu. Mereka menganalisis data pelanggaran dari FootyStats, WhoScored, dan FBref yang dikaitkan dengan data warna kulit pemain berdasar video game Football Manager. Ada 20 kategori warna kulit yang merepresentasikan para pemain bola menurut game dari Sports Interactive itu.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa pemain berkulit gelap telah dihukum atas rata-rata 25 kali pelanggaran setiap musim, sedang pemain berkulit terang hanya 21 kali. Jumlah rata-rata tersebut berasal dari sekitar 200-250 keputusan wasit tentang pelanggaran yang dilakukan pemain di setiap pertandingan. Dalam kata lain, wasit mengeluarkan hukuman pelanggaran kira-kira setiap 22 detik.
Dari jumlah pelanggaran itu, pemain berkulit gelap rata-rata menerima 3,9 kartu kuning dan 0,22 kartu merah per musim, dibanding rata-rata 3,5 kartu kuning dan 0,19 kartu merah per musim untuk pemain berkulit terang. Secara persentase sekitar 20 persen hukuman per musim, dengan 11 persen lebih banyak kartu kuning dan 16 persen lebih banyak kartu merah bagi para pemain berkulit gelap.
Temuan itu “mengganggu”, kata Magistro. “Kami juga menemukan pemain berkulit gelap cenderung tidak bermain agresif. Orang-orang berkata, mungkin beberapa dari pemain ini berasal dari liga yang berbeda di mana mereka bermain lebih agresif. Kami mengujinya dan mereka benar-benar bermain kurang agresif, mungkin mengetahui bahwa mereka lebih mungkin menerima sanksi,” tambahnya.
Tekanan Fans
Namun, fakta indikasi rasisme dari wasit di Serie A tersebut bisa pula terkait dengan tekanan fans sepanjang pertandingan. “Kami berpikir mungkin itu bukan sepenuhnya wasit, mungkin saja suara yang mereka dengar dari tribun,” sambung Magistro. “Jika bias yang didorong suporter seperti ini yang… menekan mereka mengambil keputusan, itu memiliki implikasi berbeda,” kata Wack pula.
Adanya dugaan tekanan dari para penonton terhadap wasit di lapangan yang memicu hukuman lebih banyak terhadap pemain berkulit gelap di Serie A itu muncul dalam penelitian sama, berdasar hasil analisis pertandingan pada 2020-2021. Pada periode tersebut, setiap pertandingan dimainkan tanpa penonton karena pandemic Covid-19. “Kami menemukan efeknya menghilang,” kata Magistro lagi.
Namun, “karena baru satu tahun, kami tidak ingin mengatakan dengan pasti bahwa semua rasisme berasal dari fans,” tambahnya. Meski begitu, Wack mengatakan temuan mereka ini telah menantang gagasan bahwa “wasit nakal” harus disalahkan. Tidak adanya bias dalam cara wasit memperlakukan pemain ini membuat pihak berwenang harus mengutamakan pelarangan pada fans pelaku rasisme.
Memerangi Rasisme
Magistro dan Wack juga berencana akan meneliti liga-liga Eropa lain. Rasisme juga terjadi di La Liga Spanyol misalnya, ketika pemain Real Madrid Vinicius Junior mengalaminya bahkan sampai lima kali musim lalu. Kiper Birmingham City Neil Etheridge juga telah dilecehkan secara rasis di Piala FA awal 2023. Musim lalu, 183 insiden di sepakbola Inggris dilaporkan ke badan antidiskriminasi Kick It Out.
Magistro berharap publikasi penelitian ini bisa ikut memerangi rasisme di sepakbola, seperti terjadi di National Basketball Association AS setelah diteliti oleh Brookings Institute. “Mereka menemukan hal yang sama. Begitu mereka mempublikasikannya, mereka menguji ulang hal yang sama beberapa tahun kemudian dan menemukan efeknya bisa menghilang. Mempublikasikannya entah bagaimana berkontribusi pada proses menjadi lebih adil. Jadi mungkin wasit akan menyadarinya,” pungkasnya.
Sumber: The Guardian