Sebuah pemandangan yang menenangkan tampak di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Gedebage, Bandung, pada Sabtu (20/7/2019) pagi WIB. Sejumlah orang, baik itu laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda, semua bergabung dalam satu tujuan: membersihkan Gelora Bandung Lautan Api–akrab disingkat GBLA–dari kekumuhan. Memang, dalam beberapa pekan terakhir, GBLA ini menjadi pusat perhatian.
Semua berawal dari unggahan akun Twitter bernama @dedihermayadi. Ia memotret secara jelas bagaimana kondisi dari stadion yang pernah jadi markas Persib Bandung pada gelaran Liga 1 2017 dan 2018 ini. Semua tergambar jelas, mulai dari toilet yang rusak, rumput-rumput liar yang tumbuh subur, serta reruntuhan bangunan yang berserakan.
Hal itu membuat GBLA, alih-alih jadi stadion yang megah, malah jadi stadion yang kumuh. Bahkan, salah seorang pedagang yang mangkal di situ, menyebutkan bahwa GBLA sudah menjadi sarang hantu.
“Wah, ngeri jang (mas). Ibu juga waktu itu tidur di dalam stadion, kebangun jam 1 malam, tahu-tahu ada suara ramai-ramai. Pas ibu cek, suaranya hilang. Ngeri lah pokoknya,” ujar si ibu pedagang yang tak mau disebutkan namanya tersebut.
Ya, sedari awal, memang GBLA sudah penuh dengan masalah tersendiri. Bahkan, dari soal pemilihan lahan pun, masalah sudah muncul.
***
Keinginan untuk membuat stadion yang megah nan representatif tak bisa lagi ditahan oleh para bobotoh–sebutan untuk pendukung Persib–pada awal 2000an silam. Apalagi, tim-tim macam PSS, Sriwijaya FC, bahkan tetangga mereka, Persikab Kab. Bandung, sudah mampu memiliki stadion yang apik.
Sampai sekira tahun 2000-an, Persib bermarkas di Stadion Siliwangi yang terletak di Jalan Lombok. Secara lokasi, stadion ini memang strategis. Stadion milik Kodam III Siliwangi tersebut terletak di area yang terbilang ramai. Jaraknya dari pusat Kota Bandung juga tak kelewat jauh.
Meski begitu, daya tampungnya yang hanya berkisar 15.000 hingga 20.000 membuat stadion ini acap membludak. Belum lagi jika menilik kondisi drainase stadion serta tribune stadion yang tidak memadai. Rasa tradisional itu memang ada. Namun, zaman berubah. Stadion baru pun harus segera digubah.
Dada Rosada selaku Wali Kota Bandung merespons keinginan publik Bandung tersebut. Mulai dari 2004, rencana mengenai pembangunan GBLA digodok. Pada 2009, peletakan batu pertama di Rancanumpang, Gedebage, dilakukan. GBLA mulai resmi dibangun.
Pembangunan GBLA ini memang harus disegerakan. Selain karena desakan dari publik Bandung yang menginginkan stadion representatif, terpilihnya Jawa Barat sebagai tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON) 2016 membuat kehadiran GBLA begitu dinantikan. Pembangunan dikebut, dan pada 2013, GBLA resmi berdiri.
Namun, bukan berarti masalah selesai. Kasus korupsi mewarnai pembangunan dari GBLA ini. Penyelidikan yang dilakukan Mabes Polri menetapkan satu orang bernama Yayat Ahmad Sudrajat, ASN Kota Bandung, sebagai tersangka. Yayat terbukti menyelewengkan dana sebesar 103 miliar rupiah dalam proses pembangunan GBLA. Ia divonis hakim 5,5 tahun penjara.
Tidak hanya diwarnai korupsi, ternyata secara struktur, GBLA dinilai rentan mengalami amblas. Penyebabnya, tanah yang menjadi tempat berdirinya GBLA adalah tanah rawa, yang notabene tidak kuat menahan beban berat dari GBLA itu sendiri. Alhasil, retakan demi retakan mulai tampak di beberapa sisi stadion, meski Dinas Tata Ruang Kota Bandung menyebut, retakan ini tidak apa-apa.
GBLA pun tetap digunakan. Bahkan, pada ajang Liga 1 2017 dan 2018, Persib sempat bermarkas di sana. Stadion berkapasitas 38 ribu orang itu pun ramai oleh sorak-sorai bobotoh. Pemasukan pun hadir karena setiap laga yang digelar di GBLA pasti dipenuhi oleh bobotoh, baik itu akhir pekan maupun tengah pekan.
Tapi, masalah kembali hadir. Kematian Haringga Sirla pada September 2018 silam membuat GBLA dirundung sepi. Tak ada lagi kegiatan yang digelar di sana, sehingga membuat GBLA lebih layak disebut sebagai sarang hantu daripada stadion sepak bola.
Sejalan dengan sepinya GBLA ini, kerusakan yang dulu sudah ada semakin menjadi. Ya, seperti yang digambarkan @dedihermayadi, GBLA sudah kumuh. Reruntuhan bangunan, lepasnya ubin dan rusaknya papan penunjuk tempat di beberapa bagian, ditambah dengan toilet yang rusak mencerminkan betapa merananya GBLA ini.
Jika dihitung, GBLA sudah tidak digunakan selama hampir 10 bulan lamanya. Padahal, sebelumnya stadion ini begitu riuh. Ia jadi saksi ketika Yabes Roni menendang Michael Essien, juga jadi saksi saat Persebaya Surabaya kembali ke Liga 1. Final Liga Santri 2017 juga diadakan di stadion ini, ditonton langsung oleh Menpora, Imam Nahrawi.
Maka, menilik kondisi stadion GBLA kini, apalagi sudah berhias bumbu sejarah dan peristiwa (walau di dalamnya ada beberapa kematian suporter juga), rasa-rasanya tidak pantas jika GBLA terbengkalai seperti ini.
***
Melihat GBLA yang terbengkalai, apalagi sudah viral di media sosial, beberapa pihak tergerak untuk membenahi kembali stadion ini. Pemerintah Kota Bandung mengusahakan perkara serah terima aset, yang menurut mereka belum diserahkan sepenuhnya oleh PT Adhi Karya, kontraktor dari GBLA.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga ikut berkomentar, bahwa mereka siap untuk mengelola GBLA jika dibutuhkan. Pihak Persib sendiri, siap untuk mengelola GBLA, bahkan, kabarnya mereka sudah punya grand design mengenai bagaimana GBLA dalam lima tahun ke depan. Namun, sekarang ini mereka masih menghitung untung rugi jika kelak jadi pengelola GBLA.
Tapi, terlepas dari itu, kepedulian masyarakat terhadap GBLA juga patut diacungi jempol. Aksi bersih-bersih yang dilakukan pada Sabtu (20/7) pagi WIB setidaknya jadi bukti bahwa mereka masih mencintai GBLA. Aksi yang dihelat oleh Tim Cepat Tanggap Bandung ini seolah jadi sebuah oase tersendiri di tengah upaya untuk menghidupkan GBLA.
Langkah-langkah ini, semoga saja, kelak bisa jadi awal bangkitnya GBLA. Kita tentu ingin, GBLA nantinya bisa jadi sebuah pusat olahraga Kota Bandung yang representatif, serta menjadi sarana di mana talenta-talenta berbakat Bandung, terutama di bidang sepak bola, hadir ke permukaan.
Tenang saja, GBLA. Orang Bandung masih menyayangimu.