Alasan Mengapa Lampard Masih Betah Mainkan Pemain Lama Chelsea

Foto: Metro.co.uk

Frank Lampard sangat tahu jika dirinya tidak bisa menjadi diktator di Stamford Bridge, namun setidaknya ia sangat ingin para pemain lama Chelsea bisa menciptakan suasana yang tepat bagi skuatnya. Manajer asal Inggris itu mencoba untuk realistis, dan mengakui bahwa ia tidak bisa sekaligus mengubah semua yang ada di Chelsea saat ini.

Maka, tidak butuh waktu lama bagi Lampard untuk menghargai nilai pemain senior The Blues guna menciptakan budaya yang tepat di ruang ganti. Pria yang kerap dipanggil Super Frank itu juga memainkan role untuk para pemain senior agar mereka bisa membantu memastikan standar bermain bagi para pemain muda di skuat utama Chelsea.

Para pemain muda itu termasuk beberapa pemain yang berhasil membobol tim utama musim ini seperti Tammy Abraham, Callum Hudson-Odoi, Reece James, Mason Mount dan Fikayo Tomori. Mereka semua mendapat manfaat dari role yang diberikan kepada rekan setim mereka yang lebih berpengalaman.

Hal ini sangat penting bagi Lampard, dan ia sangat senang menyaksikan para pemain senior dalam pasukannya meningkatkan penampilan Chelsea –dari aspek memainkan role– dalam beberapa pekan terakhir. Ia pun telah berbicara dengan Willian setelah mencetak gol kemenangan Chelsea atas Lille di Liga Champions. Bahkan Jorginho, pemain kesayangan Maurizio Sarri musim lalu, diberikan kepercayaan oleh Lampard untuk menjadi wakil kapten baru The Blues di musim ini.

Selain itu, ada beberapa pemain senior lain seperti N’Golo Kanté yang diberikan role tetap berada secara terus-menerus di tim utama selama ia dalam kondisi fit bersama dengan sang kapten, César Azpilicueta. Semua ini merupakan skema yang sedang dicoba Lampard di musim ini, dan semua ini merupakan bagian dari penyokong perkembangan para pemain muda di skuat Chelsea.

“Tanpa ragu-ragu saya memberikan tanggung jawab kepada pemain senior bahwa mereka mengatur harus nada tim. Para pemain muda akan memandang mereka dan mengikuti jejak mereka, semoga dengan cara ini, apa yang saya harapkan itu benar. Mereka (pemain muda) akan belajar dari para senior di dalam maupun di luar lapangan,” tutur Lampard dilansir dari The Guardian.

“Saya tidak cukup naif untuk berpikir kalau saya bisa menjadi diktator dan berjalan setiap saat mengatur para pemain seenaknya. Itu tidak mungkin. Saya sangat bergantung pada staf saya dan saya mengandalkan semua pemain, termasuk pemain senior untuk mengambil role tanggung jawab mereka. Dan mereka melakukannya. Saya senang dengan apa yang saya lihat ini.”

Di satu sisi, Frank Lampard adalah sosok yang kuat yang ada di ruang ganti, dan hal semacam ini sudah tertanam di dalam dirinya ketika ia masih bermain untuk Chelsea. Bahkan, rekan setimnya termasuk Ashley Cole, Didier Drogba, dan sang mantan kapten John Terry, sangat menghargai serta memuji role Lampard di ruang ganti.

Maka wajar rasanya mengapa mantan pemain Manchester City itu kembali menerapkan hal itu di skuatnya saat ini. Namun, Lampard mengakui jika penerapan role pemain senior di ruang ganti yang ia lakukan ini tidak sama persis seperti dulu, karena atsmosfer era sepakbola modern sudah jauh berbeda dengan 10 atau 15 tahun lalu.

“Semua era dan tim itu berbeda. Sulit untuk meniru kelompok persis dari ruang ganti yang ada di sini 15 tahun yang lalu. Anda tidak harus memiliki pemimpin tim dengan stereotip umum. Ruang ganti era sepakbola modern telah banyak berubah. Kekuatan dalam tim dapat ditunjukkan dengan berbagai cara,” ujar Lampard.

“Hal itu bisa ditunjukkan melalui pemain muda. Tidak berarti Anda harus memiliki aspek keseluruhan dari pemain berpengalaman atau pemain senior untuk melakukan role setiap hari. Seperlunya saja. Yang Anda butuhkan hanyalah tim yang kuat yang kemudian bisa melahirkan pemimpin-pemimpin tim yang baru yang berasal dari role tersebut.”

Dengan begitu, mungkin skema seperti inilah yang harus dipahami oleh Christian Pulisic. Pemain yang dibeli dengan harga 58 juta paun dari Borussia Dortmund itu sampai sekarang masih belum menunjukkan tajinya di musim ini, dan kurangnya keterlibatan pemain sayap itu di Chelsea telah menyebabkan kekhawatiran di kalangan suporter Amerika.

Namun, Frank Lampard tetap santai, dan berusaha untuk mendinginkan hype di sekitar pemain berusia 21 tahun tersebut. Ia mengatakan jika ia tidak bisa memasukkan semua nama ke tim utamanya, dan oleh karena itu, setiap pemain harus punya “cerita” masing-masing soal bagaimana mereka bisa berjuang mendapat tempat di Chelsea.

Selain itu, Lampsky juga sudah meminta kepada semua pemainnya, termasuk Pulisic, agar bisa memperluas bentuk penampilannya. Ini merupakan hal yang logis yang memang pasti terjadi kepada setiap pemain di dalam klub sekelas Chelsea. Jadi, ya mau tidak mau persaingan mendapatkan tempat utama pasti menjadi sesuatu yang harus mereka hadapi di musim ini.

“Setiap orang harus punya cerita. Pulisic punya label harga, Barkley dan Mason Mount punya status orang lokal. Callum Hudson-Odoi juga baru saja menandatangani kontrak baru. Ditambah lagi sebentar lagi Ruben Loftus-Cheek akan kembali. Maka saya tidak bisa mengambil mereka semua untuk masuk ke tim. Namun ini tidak membuat saya terdengar seperti mendapat tugas yang sulit. Ini hanya kenyataan brutal dari pekerjaan saya,” pungkas Super Frank.

“Saya berbicara dengan Pulisic dua hari sebelum pertandingan Grimsby, dan sangat jelas saya berbicara tentang standar tim. Saya harus memberinya fakta bahwa dia telah pindah negara, pindah liga dan semuda semua pemain muda di sini memiliki peluang yang sama dengannya. Jika ada yang terlalu bersemangat tentang ini, maka mereka harus tenang. Setidaknya dia (Pulisic) telah memulai lima pertandingan untuk Chelsea.”

“Semua situasi ini harus berlanjut. Saya harus berbicara fakta nyata ketika saya berbicara dengan mereka (pemain muda). Terkadang sebagai manajer Anda menginginkan lebih. Maka Anda harus jujur ketika pemain Anda bereaksi. Kadang-kadang saya harus membuat keputusan keras atau mengatakan sesuatu yang saya pikir akan membantu permainan mereka yang mungkin terdengar tidak bagus. Karena saya ingin mereka menjadi yang terbaik.”

 

Sumber: The Guardian