Seiring masuknya juru taktik asal Italia, Carlo Ancelotti ke tubuh Everton, perlahan kesebelasan yang bermarkas di Goodison Park ini menunjukkan tajinya di 5 pekan awal Premier League. The Toffees bahkan mencatatkan 5 kemenangan beruntun.
Namun keraguan yang sempat timbul dari para penikmat sepakbola akhirnya muncul pada pekan keenam. Sempat meraih hasil imbang kontra rival sekota mereka Liverpool, Everton akhirnya menelan 3 kekalahan beruntun saat bertandang ke markas Southampton, Newcastle, serta kekalahan kandang melawan Manchester United.
Pun demikian, pencapaian sementara yang dicatatkan Everton sedikit mengingatkan kita semua kepada catatan spektakuler kesebelasan asal East Midlands, Leicester City pada musim 2015/2016 silam.
Penulis memberikan sedikit gambaran perihal mengapa jebloknya performa Everton dalam 3 gameweek terakhir akan memberikan alasan bahwa Everton mulai diragukan untuk bisa menjuarai Premier League di musim 2020/2021 ini.
Kekalahan Beruntun Memberikan Tekanan Besar
Everton adalah tim tradisional kuat di tanah Inggris. 9 gelar liga Divisi Satu (sebelum menjadi Premier League) dan juga rutin menjadi tim papan tengah dalam 2 dekade terakhir adalah salah satu alasan mengapa jutawan asal Iran, Farhad Moshiri yang sebelumnya berinvestasi di Arsenal, akhirnya banting stir untuk membeli saham mayoritas Everton.
Semenjak kepemilikan Moshiri pada Februari 2016, Everton telah membelanjakan total 498,87 juta Euro di bursa transfer untuk memperkuat skuat mereka. Nilai tersebut belum termasuk gaji dan juga kontrak pelatih kepala dan juga staf kepelatihannya.
Masuknya pelatih sekaliber Carlo Ancelotti di tengah musim kompetisi Premier League 2019/2020 juga secara tidak langsung memberikan tekanan lebih akan kesuksesan yang lebih baik dibandingkan musim-musim sebelumnya.
Celakanya, kadang tekanan ini sulit untuk dialihkan menjadi kesuksesan apabila mental pemain-pemain Everton belum matang atau belum siap menghadapi tekanan besar. Salah-salah, justru tekanan ini yang acapkali menjadi bumerang.
Tiga kekalahan yang dialami Everton adalah tes yang sebenarnya bagi mereka. 5 kemenangan beruntun tak terduga, otomatis memunculkan nama mereka sebagai salah satu kandidat juara. Ujian mental inilah yang agaknya akan menjawab apakah skuat Everton bisa kembali mempertahankan namanya sebagai salah satu unexpected tittle winner musim ini.
Ancelotti Masih Kesulitan Meningkatkan Kualitas Petahanan Everton
“Attack wins you games, defence wins you titles.”
Begitulah ucapan manajer yang memenangkan 13 gelar Premier League bersama Manchester United, Sir Alex Ferguson. Meskipun sepakbola menyerang adalah cara bermain yang didewakan oleh para pelatih dan juga digemari penikmat sepakbola, tapi pertahanan adalah kunci.
Bila dikaitkan dengan Everton musim ini, agaknya pertahanan mereka masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi Don Carlo. Hingga pekan ke-8 Premier League, Everton sudah kebobolan sebanyak 14 gol. Catatan ini terbilang banyak, terlebih bila dibandingkan dengan para penghuni 2 besar sementara (Leicester dan Tottenham) yang hanya kebobolan 9 gol.
Ancelotti pun mengakui bahwa kekalahan terakhirnya 1-3 melawan Manchester United disebebkan karena buruknya transisi bertahan dari anak-anak asuhnya. Hal tersebut ia ungkapkan pada konferensi pers pascapertandingan.
“Masalahnya adalah setelah kami mencetak gol kami tidak mampu bertahan dengan baik, dan mereka memanfaatkannya. Mereka bisa mencetak gol dengan mudah,” dikutip dari BT Sports.
“Kami mengatakan sebelum pertandingan kami harus bertahan lebih baik dan kami tidak bertahan cukup baik. Kami lambat di belakang, kami harus meningkat,” ujar Ancelotti.
Everton Masih Sangat Ketergantungan Pada Sosok Pemain Kunci
Bisa dikatakan, skuat Everton musim ini adalah paling mewah yang pernah dimiliki oleh mereka dalam beberapa tahun belakangan. Penambahan pemain seperti James Rodriguez, Abdoulaye Doucoure, Allan, serta bek potensial Inggris, Ben Godfrey benar-benar menambah kualitas skuat inti.
Pun demikian, ternyata Everton masih bisa dikatakan masih sangat bergantung pada pemain-pemain andalannya, seperti Richarlison. Padahal secara kedalaman skuat, Everton adalah salah satu kesebelasan yang memiliki keseimbangan. Pemain seperti Gylfi Sigurdsson, Alex Iwobi, Bernard, dan Fabian Delph menjadi lapis kedua.
“Tidak ada pemain di dunia seperti Richarlison. Jadi kami harus menggantinya dengan pemain lain dengan kualitas berbeda,” ujar Ancelotti pada konferensi pers pascalaga kontra Manchester United.
Pemain berusia 23 tahun tersebut dipakasa absen lantaran mengalami cedera engkel. Sebelumnya, Richarlison sempat mendapat kartu merah langsung kala menjalani laga derbi Merseyside.
Pengaruh Richarlison di tubuh Everton memang sangat besar, dan hal tersebut diakui Ancelotti. Selama 3 laga tanpa winger timnas Brazil tersebut, Don Carlo memasang Alex Iwobi, Bernard, dan sempat bereksperimen dengan formasi “pohon natal” 4-3-2-1 dengan memasang Andre Gomes dan Gylfi Sigurdsson di belakang Calvert-Lewin kala berhadapan dengan Southampton. Hasilnya? Nihil.
Bisa dibayangkan, dengan sisa 30 laga yang harus dihadapi hingga musim 2020/2021 berakhir, Everton harus mampu meracik berbagai rencana cadangan bila dihadapi dengan absennya para pemain andalan lainnya, seperti James Rodriguez atau sang goal-getter mereka yang sedang melejit, Dominic Calvert-Lewin.
Perlunya Waktu Beradaptasi Bagi Para Pemain Baru
Sebanyak 3 rekrutan anyar Everton melanggeng mulus masuk ke dalam skuat inti arahan Ancelotti. Ialah James Rodriguez, Allan, serta Abdoulaye Doucoure. Permasalahannya, dua nama pertama yang disebutkan barusan, baru memulai debut di Premier League.
Hal ini kerapkali menjadi persoalan. Posisi James dan Allan yang berada di lini tengah, bisa dikatakan cukup vital. Tiga kekalahan beruntun yang membuat Everton kemasukan 7 gol menjadi bukti bahwa Everton masih perlu waktu untuk mempercepat adaptasi para pemainnya.
Celakanya pula, Doucoure yang berperan sebagai gelandang bertahan yang melindungi bola masuk ke area pertahanan kerap kewalahan karena kedua rekannya yang merupakan debutan tersebut. Buktinya, kerapatan pemain dalam hal bertahan belum maksimal. Pola 4-4-2 yang digunakan Ancelotti kala timnya dalam fase bertahan masih belum maksimal
***
Setidaknya alasan-alasan di atas menjadikan sepercik keraguan apakah Everton tak hanya menjadi “People’s Club” bagi orang-orang Merseyside, melainkan sebagian besar pecinta Liga Inggris (baca: haters Liverpool) untuk merebut gelar paling bergengsi se-Inggris di musim ini.
Keempat hal tersebut juga sekaligus menjadi pekerjaan rumah bagi pelatih bertangan dingin seperti Ancelotti. Bukan tidak mungkin apabila Don Carletto dapat membenahinya, Everton akan menjadi juara baru di hati pencinta sepakbola. Kita nantikan.