Alejandro Pazuelo dan Bayang-Bayang Giovinco

foto: mlsmultiplex

Didatangkan dari Real Betis pada musim panas 2013, Alejandro Pozuelo merupakan salah satu bintang Swansea City di bawah arahan Michael Laudrup. Legenda Denmark itu bahkan pernah menyetarakan kemampuan Pozuelo dengan Philippe Countinho.

“Apa yang dilakukan Coutinho di Liverpool, Pozuelo dapat melakukannya dengan lebih baik,” kata Laudrup. “Saya ingat waktu Coutinho didaratkan Liverpool dari Inter Milan, dirinya juga masih perlu banyak belajar. Tapi kemudian dia menjadi pemain penting di Anfield,” lanjutnya.

“Jika diberi waktu Pozuelo bisa mengikuti jejak Coutinho. Ia memiliki gaya permaianan yang sama. Sama-sama memiliki teknik yang bagus, bisa mencari ruang, dan senang untuk duel dengan lawan. Kami tidak tahu Pozuelo menggunakan kaki kanan atau kiri. Namun keduanya sama-sama kuat,” jelas Laudrup seakan ingin membuat Pazuelo jadi replika Coutinho.

Coutinho saat itu belum mencapai puncak performanya di Liverpool. Hanya terlibat dalam 13 gol sepanjang musim 2013/2014. Belum sampai hingga level 2016/2017 yang membuat Barcelona meminatinya.

Namun peran Coutinho memang sudah terbukti krusial. Jadi tulang punggung Brendan Rodgers dan mengantarkan Liverpool duduk di peringkat dua klasemen akhir Premier League.

Foto: Waking the Reds

Sementara Pozuelo hanya terlibat dalam delapan gol dari 36 partai bersama the Swans. Perlu diingat bahwa Coutinho butuh setengah musim untuk mulai menjadi pilihan utama Liverpool. Total empat tahun sampai akhirnya menarik minat Barcelona.

“Komparasi antara Coutinho dan Pozuelo dulu masuk akal. Secara fisik dan teknik mereka mirip. Sama-sama pemain yang bisa mengontrol permainan. Tapi, saat itu Coutinho belum jadi bintang seperti sekarang. Saat Garry Monk menangani Swansea, Pozuelo gagal untuk menembus tim utama. Ia pun akhirnya tersingkir dari Liberty Stadium,” jelas Mat Davies dari Wales Online.

Pozuelo tidak melihat perbandingan dengan Coutinho sebagai sebuah masalah. Lebih jadi inspirasi. “Saya bangga bisa bermain hampir di semua pertandingan saat Swansea dilatih Laudrup. Perbandingan dengan Coutinho adalah pujian yang harus diterima dengan tangan terbuka, apalagi datang dari sosok seperti dia. Itu adalah inspirasi bagi saya,” aku Pozuelo.

Sekitar enam tahun setelah perbandingan tersebut keluar dari mulut Laudrup, nasib kedua pemain berbeda jauh. Coutinho masih bermain di level tertinggi sepakbola Eropa. Pozuelo tersasar hingga Amerika Serikat, membela Toronto FC di Major League Soccer (MLS).

Dibayangi Giovinco

Foto: Canadian Parvasi

Bermain di MLS bukanlah pilihan yang buruk, apalagi bersama Toronto. Menurut peringkat CONCACAF Club Index (2019), TFC duduk di peringkat empat dari 16 kesebelasan peserta CONCACAF Champions League. Hanya kalah dari tiga wakil Meksiko, Monterrey, UANL, dan Santos Laguna.

Secara koefisien liga, MLS memang hanya kalah dari Liga MX, Meksiko. Tapi bukan klub dari Amerika Serikat yang jadi kesebelasan terbaik di mata CONCACAF. Melainkan Toronto FC dari Kanada. Masalahnya, dengan masuk ke Toronto pada 2019, Pozuelo kembali jadi korban perbandingan.

Toronto baru kehilangan Sebastian Giovinco yang memilih pergi ke Arab Saudi. Ada indikasi bahwa keputusan Atomic Ant didasari uang, karena itu yang merusak hubungannya dengan TFC. Namun Giovinco mengelak.

“Toronto sudah menawarkan saya banyak uang. Namun, belum pernah ada pemain yang dapat memenangkan piala di Eropa, Amerika Serikat, dan Arab Saudi. Saya ingin menjadi yang pertama,” jelas mantan pemain Juventus tersebut.

Apapun  alasannya, Giovinco telah menjadi Coutinho baru bagi Pozuelo di Toronto. “Pozuelo adalah seorang maestro. Ia layak mendapat nomor punggung 10 berkat kreativitasnya di atas lapangan,” kata General Manajer Toronto Ali Curtis.

Jejak Giovinco di Mata Pozuelo

Foto: ESPN

Nomor punggung itu sebelumnya menempel di punggung Giovinco. Ekspektasi serupa pun didapatnya walau gaya permainan Giovinco dan Pozuelo berbeda.

“Pozuelo bukanlah pemain yang bisa mencetak 20 gol dalam semusim. Tapi diriinya tetap menjadi kunci untuk memberikan perbedaan dengan membuka ruang dan menciptakan peluang bagi pemain lain,” jelas Kepala Pelatih Toronto Greg Vanney.

Giovinco juga sosok pembeda untuk Toronto. Efek paling mengesankan dari Giovinco selama membela TFC adalah membuat Jozy Altidore kembali ditakuti sebagai penyerang. Altidore datang ke Toronto sebagai salah satu pemain yang gagal bersinar di Eropa. Meski sempat tampil impresif bersama AZ Alkmaar, ia gagal membuktikan diri di Villarreal, Hull City, dan Sunderland.

Namun bersama Giovinco, Altidore kembali hidup. Bersama-sama mencetak 58 gol di MLS selama periode 2015-2017. Musim 2018 bukanlah kampanye terbaik Altidore bersama TFC. Ia absen 100 hari lebih dan hanya tampil 13 kali. Namun berkat kehadiran Pozuelo, dirinya tidak perlu menunggu lama untuk kembali ke puncak performa.

“Pozuelo adalah pemain yang sangat bagus. Sangat mudah untuk bermain dengan dirinya, karena dia telah menyiapkan semuanya untuk rekan-rekan di depannya,” ungkap Altidore. Hingga 8 Mei 2019, MLS baru menjalani 11 pekan pertandingan. Namun kombinasi Pozuelo dan Altidore sudah memberikan 17 gol untuk Toronto.

Menurut Opta, Pozuelo merupakan pemain yang paling sering menciptakan peluang (8), memberikan operan kunci (3,7/laga), dan memiliki giringan bola terbaik 62,1% dalam 11 pertandingan MLS tersebut.

Kali ini, mungkin Pozuelo bisa memenuhi ekspektasi yang diberikan kepadanya. Tak seperti saat di Swansea. Namun ia ragu dirinya bisa benar-benar mengikuti jejak Giovinco.

Ketika Atomic Ant membela TFC, dirinya sempat dipanggil untuk tim nasional Italia. Pozuelo ragu perlakuan serupa juga akan diberikan oleh Kepala Pelatih Spanyol Luis Enrique. “Saya rasa Enrique tidak mengikuti MLS,” aku Pozuelo.