Revolusi secara blak-blakan, seperti yang kita tahu, itu selalu memunculkan ketegangan. Tapi apa jadinya kalau revolusi itu datang secara perlahan dan melalui proses ketenangan? Bayangan ini mungkin bisa digambarkan pada peran Andre Villas Boas, yang sedikit demi sedikit memberikan asa kepada Marseille. Pelatih asal Portugal itu seolah memberikan apa yang klub butuhkan di musim ini.
Sudah banyak yang menilai kalau kata “stabil” dan “efisien” bukanlah kata-kata pas yang menggambarkan trek rekor sepakbola modern Marseille. Klub ini selalu mengalami suksesi penunjukan manajer dengan tempo yang singkat dan harapan palsu. Apalagi, mereka selalu gagal pada ambisi Liga Champions-nya, dan banyak lagi berbagai kejadian yang selalu berakhir gagal dari kesuksesan nyata yang diharapkan.
Ketika Andre Villas Boas tiba di klub pada musim panas lalu, tidak sedikit yang menilai kalau Marseille masih berada di posisi yang sama seperti musim-musim sebelumnya. Tapi ternyata, tampaknya anggapan itu bertahan singkat karena sekarang mereka berada di urutan kedua di Ligue 1. Keadaan skuat mereka pun mulai membaik tiap pekannya. Maka mungkin dari sinilah stabilitas klub akhirnya tiba.
Semuanya bisa dilihat dari aspek generasi pemain muda dan berbakat, yang diam-diam didorong untuk tampil menawan di bawah mantan manajer Chelsea dan Tottenham itu. Pemain muda seperti Boubacar Kamara misalnya, ia terlihat sangat gembira ketika ditugaskan oleh sang manajer baru untuk menggenggam tanggung jawab sebagai pemimpin lini pertahanan tim.
Pemain berusia 20 tahun itu biasanya bermain sebagai bek tengah, tetapi dengan bantuan Villas Boas, ia juga dapat membuktikan bahwa ternyata dirinya mahir bermain di lini tengah. Kemudian, ada Duje Caleta-Car, bek tengah Kroasia berusia 23 tahun. Pemain ini semakin konsisten pada permainannya di musim ini. Pun dengan Lucas Perrin, bek Prancis berusia 21 tahun. Ia juga tampil mengesankan dalam empat pertandingan liganya di musim ini.
Kesuksesan terbesar lain yang dicapai oleh Villas Boas adalah ketika ia berhasil mengembangkan bentuk Valentin Rongier, seorang pemain yang dikontrak musim panas lalu dengan biaya 15 juta euro dari Nantes di menit terakhir bursa transfer. Rongier adalah seorang gelandang multi-teknik yang tumbuh bersama Nantes. Namun ia gagal berkembang baik di sana karena penampilannya mulai stagnan di musim lalu.
Pada awalnya Rongier juga terlihat goyah ketika bermain di Marseille, akan tetapi, pemain berusia 24 tahun itu sekarang sudah berubah menjadi gelandang paling penting di klubnya. Ia dapat membaca permainan dengan baik, menawarkan sejumlah umpan yang luar biasa, dan memiliki kemampuan untuk secara perlahan mengendalikan permainan di lini tengah. Selain itu, ia selalu membaik di setiap pekannya.
Rongier bahkan tampil luar biasa saat bermain di pertandingan Marseille melawan Brest di Velodrome (Marseille menang 2-1). Di sisi lain, sebenarnya Marseille pernah punya Mario Balotelli, yang juga sempat tampil manis dan meraih sukses di musim lalu ketika ia mencetak gol dalam lima pertandingan liga pertamanya di Velodrome. Tetapi sayang, servisnya sudah tidak lagi dipertahankan.
Pun dengan Dimitri Payet, yang datang ke Marseille setelah pindah dari West Ham pada Januari 2017 lalu. Ia sempat menjadi pemimpin lini serang yang tampil sangat baik bagi Marseille dalam beberapa musim terakhir. Tapi sekarang, pemain berkebangsaan Perancis itu sudah tidak terlalu menonjol lagi. Hal ini pun membuat ketenarannya mulai menurun.
Terlepas dari itu, Marseille sebenarnya terlihat sunyi senyap pada jendela transfer musim panas lalu. Dikutip dari The Guardian, hal ini disebabkan karena karena kurangnya dana dari pihak klub dan tidak adanya klub penawar untuk para pemain mereka seperti Morgan Sanson dan Florian Thauvin. Tapi meskipun begitu, sekali lagi, peran Villas Boas berhasil menyelesaikan persoalan ini.
Bahkan, dengan kreatifitasnya, ia berhasil meningkatkan tim utama Marseille tanpa kehadiran Thauvin yang absen karena cedera pergelangan kaki. Selain mengembangkan segelintir pemain muda, Villas Boas juga ternyata telah membantu pemain senior seperto Steve Mandanda kembali ke bentuk terbaiknya sejak ia kembali dari Crystal Palace dua tahun lalu.
Eks manajer Porto itu benar-benar seperti mendaur ulang apa yang ada di Marseille. Padahal di bawah pelatih sebelumnya, ego individu para pemain sangat tinggi, tapi di bawah Villas-Boas, etos kerja kolektif tim utama Marseille tampak tumbuh pesat. Ya walaupun tim asuhannya ini mungkin tidak terlalu spektakuler seperti PSG, tetapi setidaknya, timnya sangatlah efisien.
Salah satu pemain Marseille, Valere Germain, bahkan memuji manajer barunya itu dengan menganggapnya sebagai pelindung para pemain ketika sedang mengalami kekalahan. Selain itu, sang kapten Dimitri Payet juga mengatakan kalau dirinya lebih bahagia berada di skuat timnya yang sekarang dibandingkan dengan sebelumnya, yaitu ketika Rudi Garcia masih memimpin.
Jelas bahwa semua yang dicapai Marseille di musim ini merupakan hasil buah karya dari Andre Villas Boas. Kenaikan bentuk klub dengan nama lengkap Olympique de Marseille ini juga dinilai menjadi pengganggu mentalitas superior PSG. Ya, musim memang masih panjang, dan masih ada beberapa pekerjaan yang harus dilakukan. Namun, untuk sejauh ini, klub yang paling distigmakan sulit bangkit di Eropa itu akhirnya perlahan-lahan bisa merasa puas dengan capaiannya.