Tahun 2017 merupakan tahunnya timnas Inggris. Siapa yang menyangka bahwa Inggris dengan gagah menguasai seluruh ajang sepakbola tertinggi baik di Eropa maupun Dunia. Sayangnya yang melakukan itu semua adalah timnas Inggris dalam kategori umur atau yang akrab disapa Singa Muda.
Langkah mereka diawali dengan menjuarai Piala Dunia U2-0 di Korea Selatan pada pertengahan tahun lalu. Digawangi pemain-pemain muda macam Dominic Solanke, Dominic Calvert-Levin, dan Lewis Cook, skuat asuhan Paul Simpson meraih titel pertamanya setelah mengalahkan Venezuela 1-0. Ini merupakan prestasi tertinggi mereka pada ajang dua tahunan tersebut.
Keberhasilan The Young Lions diikuti oleh para pemain U-20 Inggris yang dipilih untuk bermain di ajang Toulon Tournament. Pada ajang yang juga diikuti timnas Indonesia U-19 ini, mereka mengalahkan Pantai Gading dalam babak adu penalti di partai final. Mereka bahkan mempertahankan gelar yang mereka raih pada kejuaraan di tahun sebelumnya.
Tidak hanya di level Eropa, Singa-singa Muda kembali mengaum di ajang regional. Satu bulan setelah Inggris U-20 mengangkat takhta dunia, Inggris U-19 asuhan Keith Downing menjadi yang terbaik dalam ajang Eropa di bawah usia 19. Ini adalah gelar ke-10 mereka sepanjang sejarah sekaligus menjadi yang terbanyak untuk kompetisi ini.
Kesuksesan terbaru mereka muncul pada seminggu yang lalu. Di tanah Bollywood, India, Inggris menjuarai Piala Dunia U-17 sekaligus menghentikan dominasi Nigeria yang begitu merajai kompetisi ini sebelumnya. Dalam perjalanannya, Phil Foden menyingkirkan jagoan-jagoan yang dianggap lebih punya peluang untuk menjadi juara macam Jepang, Amerika Serikat, dan Brasil. Pada partai puncak, Spanyol menjadi korban keganasan skuad Steve Cooper.
Tidak hanya menjadi juara, mereka juga menguasai gelar dalam sektor individu. Top Skor diambil Rhian Brewster dengan delapan gol. Gelar Pemain Terbaik diambil oleh gelandang Manchester City, Phil Foden. Hampir di seluruh ajang yang mereka menangi, langsung muncul bibit-bibit yang diprediksi akan menjadi masa depan Inggris di masa yang akan datang.
Terlepas dari keberhasilan skuat junior mereka, muncul satu pertanyaan yang belum bisa terjawab. Apakah keberhasilan skuat Junior Inggris bisa diikuti oleh timnas seniornya? Sebuah pertanyaan yang kemungkinan besar baru akan terjawab pada pertengahan 2018 nanti. Pertanyaan ini mungkin sudah ditanyakan berulang-ulang namun belum ada yang bisa menjawabnya.
Sesaat setelah menjuarai Piala Dunia 1966 di kandang sendiri, prestasi Inggris sebenarnya tidak buruk-buruk amat. Mereka setidaknya pernah mencapai Perempat Final Piala Dunia 1986 bahkan mereka sanggup melaju hingga semifinal Piala Dunia 1990 di Italia. Akan tetapi yang terjadi setelah itu justru degradasi performa dari tim Tiga Singa.
Setelah gagal lolos pada Piala Dunia 1994, Inggris menatap Euro 1996 sebagai awal mula kebangkitan sepak bola mereka. Generasi emas muncul dari beberapa nama semisal Alan Shearer, Darren Anderton, Gary Neville, hingga Teddy Sheringham. Sayangnya mereka kembali tidak beruntung di babak adu penalti oleh Jerman.
Dua tahun berselang, pemain-pemain muda yang sudah semakin matang ini kembali gagal pada Piala Dunia Prancis 1998. David Beckham, Paul Scholes, Paul Ince, hingga si fenomenal Michael Owen masih tidak sanggup untuk bisa memberikan prestasi yang membanggakan. Keterpurukan mereka semakin menjadi setelah tidak berkutik dalam Euro 2000.
Setelahnya, Tim Tiga Singa terus-terusan tampil di bawah ekspektasi. Tersingkir oleh kelihaian Brasil pada Piala Dunia 2002, adu penalti yang kembali menjadi momok pada 2004 dan Piala Dunia 2006, sampai puncaknya pada kegagalan mereka melaju ke Euro 2008.
Entah mengapa para pemain mereka yang selalu bersinar di klub justru tidak mampu menunjukkan penampilan apiknya ketika bermain di level negara. Pada Piala Dunia 2010, mereka kembali diisi generasi-generasi emas macam Joe Hart, John Terry, Ashley Cole, Steven Gerrard, Frank Lampard, Wayne Rooney. Naasnya menghadapi Aljazair yang minim bintang pun mereka tidak bisa mencetak gol.
Ajang terakhir pun juga tidak membawa dampak signifikan bagi mereka. Menghadapi Islandia yang jumlah penduduknya setengah dari Kabupaten Purworejo pun mereka tidak sanggup menghadapinya. Padahal mereka kembali diisi nama-nama macam Harry Kane, Dele Alli, dan Jamie Vardy yang ketika itu mencuri perhatian.
Sayangnya di saat timnas Junior mereka sedang menuai pujian, kakak-kakaknya di tim senior justru mendapatkan cibiran. Penampilannya lesu pada laga yang sebenarnya memastikan langkah mereka melaju ke Russia 2018. Pendukung lebih memilih bersorak ketika sebuah pesawat kertas masuk ke dalam gawang Joe Hart alih-alih cocoran Harry Kane ke gawang Jan Oblak.
Secara tidak langsung, prestasi adik-adiknya ini bisa membawa beban tersendiri bagi tim senior. Inggris adalah tim elit, mereka masuk dalam jajaran negara Eropa yang pernah menjuarai Piala Dunia bersama Italia, Jerman, Spanyol, dan Prancis. Setiap gelaran empat tahunan digelar, mereka diharapkan bisa berprestasi. Terlebih liga mereka adalah liga elit di seantero Eropa.
Paul Scholes pernah mengatakan bahwa kekompakan tim kerap menjadi masalah bagi timnas Inggris ketika ikut ajang Internasional. Manta gelandang Manchester United ini pernah mengatakan bahwa kerap ada sekat yang memisahkan beberapa pemain terutama yang berasal dari Liverpool dan juga United.
Hal inilah yang sedang digodok oleh Gareth Southgate. Dia adalah sosok yang terbilang segar dan visioner mengingat eks bek Middlesbrough ini baru berusia 47 tahun. Ia juga terbilang rajin menyaksikan beberapa partai Liga Inggris untuk mencari pemain-pemain terbaik. Tidak jarang ia lebih serius untuk menyaksikan pertandingan laga tim-tim medioker dibanding tim besar.
Nama-nama macam Nathaniel Chalobah, Harry Maguire, dan Nathan Redmond, pun sudah mulai mendapat panggilan. Ia juga terbantu dengan hilangnya pemain-pemain tua macam Wayne Rooney yang sudah pensiun.
Saat ini sebenarnyat cukup tepat bagi pemain-pemain muda macam Marcus Rashford, Harry Kane, Raheem Sterling, hingga John Stones untuk memberikan yang terbaik bagi negerinya di Russia nanti. Mereka harus menjadikan prestasi para juniornya sebagai pelecut motivasi untuk tidak kembali terpuruk. Hanya saja ada satu pertanyaan: Bisa Atau Tidak?