Era Big Six Premier League, Siapa yang Terbaik/Terburuk?

Foto: ESPN

Tuntasnya kompetisi sepak bola musim 2018/2019 menunjukkan adanya dominasi kuat Premier League. Empat tim kuat Inggris mengisi dua final kompetisi antarklub Eropa. Capaian yang tidak pernah diraih liga lain. Titik tertinggi dalam era Big Six.

Terasa wajar mengingat Premier League memang kompetisi kaya yang paling banyak menempatkan anggotanya dalam daftar laporan keuangan Deloitte dan Forbes. Sejak memulai era baru pada 1992, liga tertinggi sepak bola Inggris ini semakin melesat berkat pembagian proporsial pendapatan hak siar televisi dan rancaknya kemasan permainan lapangan hijau.

Sepanjang 27 tahun, Premier League bisa dibagi ke dalam beberapa pembabakan. Era awal, dominasi Manchester United direcoki Blackburn Rovers dan Newcastle United. Selanjutnya bisa dibilang melulu soal rivalitas MU vs Arsenal. Tandanya, kehadiran Arsene  Wenger dan terbuka lebar gerbong internasional bagi para manajer dan pemain.

Kekuatan baru muncul saat Chelsea mengambil alih pucuk pimpinan lewat sokongan miliarder Rusia. Mengikutsertaan ancaman-ancaman Liverpool pimpinan Steven Gerrard, era ini bisa disebut Big Four. Keempatnya silih berganti mewakilkan Inggris tampil di final Liga Champions sepanjang 2005-2012 (kecuali 2010).

Era ini berakhir seiring Manchester City menancapkan taji lewat suntikan modal dari Abu Dhabi di akhir dekade 2000-an. Cara masuk persaingan yang mirip dengan Chelsea beberapa tahun sebelumnya. Pada waktu bersamaan Tottenham Hotspur justru masuk persaingan setelah mengorbitkan pemain muda Britania kualitas tinggi seperti Gareth Bale, Harry Kane, dan Dele Alli.

Daerah Manchester dan London utara menjadi gaduh berkat kebangkitan tim tetangga. Istilah Big Six pun mengemuka. Penyebutan berdasarkan abjad: Arsenal, Chelsea, Liverpool, Manchester City, Manchester United, dan Tottenham Hotspur.

Meski sempat diinterupsi kejayaan mengejutkan Leicester City musim 2015-16, era Big 6 suit terhadang sepanjang tiga musim berselang. Titik puncaknya, barang kali memang terjadi musim lalu. Arsenal versus Chelsea di final Europa League, Liverpol versus Spurs di final Liga Champions, dan Chelsea versus Liverpool untuk laga Piala Super Eropa.

Lantas, pada era Big Six yang bolehlah dipenggal pasca Leicester juara, siapa yang tampil terbaik? Siapa pula yang terburuk dalam segi pencapaian? Ukurannya begini: capain trofi, peringkat akhir setiap musim, klasemen kumulatif dalam tiga musim terakhir, dan head to head perjumpaan di antara mereka.

Untuk jumlah trofi (lihat foto utama), City unggul berkat sapu bersih semua kemungkinan juara kompetisi nasional musim ini. Dalam tiga musim Pep Guardiola, The Cityzens merengkuh enam trofi. Selain City, tim lain yang sukses juara Premier League yakni Chelsea. The Blues melengkapi gelar Premier League 2016-17 dilengkapi Piala FA semusim berselang dan gelar Europa League pada musim ini. Tiga piala untuk Si Biru.

Kekuatan lama yang mulai goyah, Manchester United juga punya jumlah trofi sama. Tiga piala direbut Setan Merah. Sayang, hal tersebut kurang memuaskan karena trofi yang diraih ‘hanya’ dari turnamen minor, yakni Piala Liga 2016-17, Community Shield 2016, dan Europa League 2016-17. Bagi tim lain trofi itu bisa jadi pencapaian besar, tapi bagi MU yang pada era Sir Alex Ferguson akrab dengan gelar Premier League dan tidak asing atas trofi Liga Champions, kesuksesan tersebut belum kunjung membahagiakan. Terlebih, mereka amat memble di dua ajang utama yang harusnya mereka prioritaskan.

Berbanding terbalik dengan MU, Liverpool justru dalam situasi girang bukan kepalang. Memang hanya ada satu trofi yang diraih selama era Juergen Klopp, tapi satu trofi itu ialah Si Kuping Besar Liga Champions. Trennya pun semakin bagus, karena musim lalu juga menjadi finalis Liga Champions dan musim ini hanya berselisih satu poin saja untuk juara Premier League pertama kalinya.

Bagaimana dengan Arsenal? Hanya ada Piala FA dan Community Shield di tahun 2017. Parahnya, capaian di liga pun terlalu memprihatinkan. Selalu terlempar dari empat besar dan finis di bawah Spurs. Rezim Arsene Wenger berakhir dengan cara kurang menyenangkan.

Bagi Spurs, mengangkangi Arsenal jelas capaian. Sebab, 22 musim sebelumnya mereka selalu finis di bawah Arsenal. Kegagalan tanpa trofi juga tidak perlu diratapi, karena mencapai final Liga Champions pertama kali jelas prestasi. Ingat, Spurs terakhir kali angkat piala saja 11 tahun silam. Terlalu asing Lilywhites melakukan praktik itu.

Infografis trofi tim Big Six sejak 2016. Sumber: ligalaga.id.

Klasemen Kumulatif

Bagaimana dengan klasemen kumulatif selama tiga tahun terakhir? Seluruh tim tidak pernah keluar enam besar, hanya bergantian posisi. Hanya Arsenal yang tidak sanggup mendobrak ke zona empat besar, sedangkan lima tim lain setidaknya pernah finis minimal di posisi kedua. Di atasnya ada MU yang sekalipun menempati posisi keenam pada dua musim, tapi capaian runner-up di musim kedua Jose Mourinho menolong kinerja The Red Devils tidak terlalu kedodoran.

Sedangkan City yang dua tahun beruntun membukukan dua rekor poin terbanyak dalam semusim tentu berada di posisi puncak. Berselisih jauh dari Liverpool yang dua kali di posisi keempat sebelum memacu diri di perburuan gelar musim lalu. Sementara Chelsea dan Spurs meraih jumlah poin yang hampir sama.

Infografis klasemen liga secara kumulatif bagi Big Six dalam tiga musim terakhir. Sumber: ligalaga.id.

Dari segi head to head tidak terlalu berbeda dengan hasil di klasemen tiga musim belakangan. City dominan, meskipun pada akhirnya mereka saling mengalahkan. Kecuali, Arsenal yang digulung habis Liverpool tanpa ada perlawan berarti.

Untuk head-to-head di antara mereka, analisis lengkapnya dapat dibaca dalam berita berjudul (Rekor Perjumpaan Big Six: Saling Terkam tapi City Dominan).

Dari pemaparan tersebut, tentu Anda bisa mengambil simpulan soal siapa yang terbaik atau terburuk dalam era Big Six. Apakah itu klub favorit Anda?

Sumber: 11vs11, Premier League.