FIFA, Pelecehan Seksual, dan Kontroversi yang Mengelilinginya

FIFA

Seperti dalam keterangannya pada harian Portugal, Expresso, Hope Solo menceritakan pengalaman pahitnya saat dilecehkan mantan Presiden FIFA, Sepp Blatter. Kala itu, di acara Ballon d’Or 2013, Solo mendapatkan kesempatan untuk membacakan pemenang FIFA Women’s World Player of the Year. Saat akan maju, Blatter pun memegang (maaf) bagian bokong Solo.

Setelah pernyataan tersebut tersebar, juru bicara Blatter justru meresponsnya dengan menyebut hal tersebut sebagai “pernyataan yang konyol”. Solo sendiri sempat menjelaskan bahwa sepakbola bukanlah olahraga yang ramah buat perempuan.

Banyak kekerasan atau pelecehan seksual yang kerap diterima. Bahasan tentang organ tubuh perempuan sering menjadi bahan guyonan, yang mengganggu sekaligus merendahkan perempuan. FIFA hingga saat ini disorot oleh banyak pihak, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sepakbola dunia. Skandal yang mengikuti FIFA seringkali mencoreng nama baik olahraga sepakbola itu sendiri.

Kasus Hope Solo, hanyalah segelintir dari banyaknya kasus kontroversial di FIFA seperti korupsi, jual beli suara, pelanggaran kode etik, pelanggaran hak serikat pekerja, merupakan skandal yang terjadi kubu induk sepakbola tertinggi dunia.

Pada 2015 lalu FBI bekerjasama dengan IRS-CI, mengungkap skandal terbesar FIFA yang menyeret hampir ratusan nama penting di badan sepakbola ini. Dalam investigasi tersebut membuktikan FIFA sebagai lembaga pencucian uang, penggelapan pajak, penipuan dan pelanggaran kontrak kerjasama.

Investigasi ini dimulai ketika pemilihan Presiden FIFA 2011 dan Copa América Centenario di Amerika Serikat 2016. FIFA diindikasikan melakukan pelanggaran dalam proses bidding untuk sponsorship Copa America. Dikabarkan kalau apparel ternama asal Amerika, Nike, harus membayar 40 juta US Dollar untuk menjadi sponsor resmi.

Kecurigaan bermula ketika salah satu petinggi FIFA sekaligus CONCACAF, Chuck Blazer, diinvestigasi karena korporasinya menggelapkan pajak dan terlibat pencucian uang oleh FBI. Berawal dari kasus tersebut, Blazer dikenakan hukuman 20 tahun penjara, atau membongkar kemana uang tersebut dialirkan. Blazer kemudian membantu membongkar semua keborokan FIFA.

Dimulai dari pemilihan Afrika Selatan yang ditengarai penuh kejanggalan, Danny Jordaan, Presiden Asosiasi Sepakbola Afrika Selatan (SAFA) mentransfer total 10 juta USD yang dikirimkan kepada Jack Warner, mantan Presiden CONCACAF sekaligus mantan Wakil Presiden FIFA. Uang ini digunakan Warner untuk mendanai pembangunan sepakbola di Karibia, 1,6 juta USD untuk pemakaian pribadi, 360 ribu USD dibagikan masing-masing untuk voters yang dekat dengan Warner, untuk mengamankan tempat Afrika Selatan menjadi tuan rumah Piala Dunia.

FBI melanjutkan investigasi dalam pemilihan tuan rumah Piala Dunia di Brasil 2014 lalu. Sedangkan untuk Piala Dunia 2018 dan 2022, investigasi yang dilakukan menghasilkan puluhan juta US Dollar untuk jual-beli suara bagi Rusia dan Qatar guna memuluskan 2 negara tersebut menjadi tuan rumah Piala Dunia.

Dari investigasi itu menyeret 18 nama penting 9 di antaranya adalah anggota FIFA, 5 pebisnis, dan 2 perusahaan besar, dianggap bersalah. Sepp Blatter kemudian mengundurkan diri dari jabatannya selama 17 tahun, diikuti pengakuan atas pemerasan yang dilakukan FIFA terhadap kurang lebih delapan negara yang mengikuti bidding tuan rumah Piala Dunia.

Selain skandal tersebut, Rusia yang menggelar Piala Dunia, dianggap banyak melakukan kontroversi, dan FIFA dianggap menutup mata dari apa yang terjadi. Masih banyaknya kasus rasialisme yang terjadi di Rusia dianggap bukan faktor penting bagi FIFA. Pemain sekelas Yaya Toure bahkan menegaskan untuk melakukan boikot terhadap Rusia sebagai tuan rumah karena banyaknya kasus rasialisme yang terjadi. Konflik dengan Ukraina adalah faktor banyak yang meragukan Rusia menjadi tuan rumah yang baik, dan FIFA dianggap bertanggung jawab atas hal tersebut.

FIFA dianggap juga turut andil dalam banyaknya pekerja dengan upah yang sangat minim untuk pembangunan venue Piala Dunia di Qatar 2022. Banyaknya pekerja yang kemudian tewas karena fasilitas hidup yang kurang layak, FIFA dianggap tutup mata dari kasus tersebut. Pekerja yang mayoritas datang dari Pakistan dan Nepal, mempertaruhkan nyawa mereka  dengan bekerja pada suhu yang ekstrem dengan target yang sangat ketat dan upah yang minim, bahkan sering terlambat.

Investigasi yang dilakukan The Guardian, 2014 lalu menunjukkan kondisi buruh yang sangat memprihatinkan. Mereka dijanjikan gaji tinggi, namun banyak dari mereka bahkan mengalami keterlambatan gaji. Pihak kontraktor sendiri tidak memberikan penjelasan atas keterlambatan gaji tersebut.

FIFA sendiri selalu melakukan brand image, sebagai organisasi non-politik, namun FIFA sendiri nampak tidak sadar tentang unsur politik yang sangat dekat dengan organisasi mereka, terbukti sejak 1904 hingga saat ini hanya 9 orang yang pernah menjabat sebagai presiden FIFA, pemilihan suara yang hanya sekedar formalitas, banyaknya jual beli suara dalam tiap pemilihan yang dilakukan  FIFA, korupsi, banyaknya pencucian uang membuat beberapa pihak sangat apatis dengan  FIFA yang menyatakan akan menjauhi politik dan murni menangani sepakbola.