Eintracht Frankfurt menjelma sebagai kuda hitam Bundesliga musim ini. Hasil ini tak lepas dari kontribusi kedua ujung tombak mereka, Luka Jovic dan Sebastian Haller, yang berhasil mencatatkan total 22 gol dari 18 laga yang mereka mainkan bersama Die Adler.
Sosok Adi Hütter tentunya tak bisa dilepaskan dari keberhasilan Eintracht tampil cukup impresif hingga pekan ke-11 Bundesliga musim ini. Kedatangannya awal musim ini menggantikan Niko Kovac yang hengkang ke Bayern digadang-gadang mengubah filosofi bermain Eintracht menjadi lebih agresif menyerang.
Hütter yang banyak disebut merupakan penggemar pola 4-4-2 justru melakukan pendekatan yang agak berbeda di Eintracht, dengan memasang formasi berbeda di musim debutnya. Tercatat formasi 4-3-2-1, 3-4-1-2, maupun 3-5-2, pernah ia pakai musim ini. Tangan dinginnya berhasil membuat tim yang bermarkas di Commerzbank Arena ini mencetak 26 gol hanya dari 11 laga di liga saja. Namun dalam 5 laga terakhirnya, formasi 2 striker menjadi pilihan reguler.
Hal ini sedikit menyeret kita kepada masa-masa di mana sebuah tim bermain dengan 2 penyerang maut yang sama tajamnya. Apalagi bagi para penggila bola yang tumbuh di era 1990 hingga awal 2000-an, agaknya siapapun tak bisa melepaskan satu nama striker tanpa nama tandemnya. Contohnya, bila kalian menyebut nama Andriy Shevchenko hampir pasti tak bisa tanpa menyebutkan Filippo Inzaghi. Begitupun dengan Ronaldo Nazario dengan Christian Vieri dan Raul dengan Fernando Morientes sebelum era ‘Galacticos’.
Surprise Duet Eintracht
Keduanya, baik Luka Jovic dan Sebastien Haller tentu membuat kaget penggemar sepakbola, terutama Bundesliga. Jovic kini memimpin daftar top-scorer Bundesliga dengan 9 gol hingga pekan ke-11. Raihan Sebastien Haller lebih gila lagi. Pemain Prancis berdarah Pantai Gading ini membuntuti dengan raihan 8 gol dan 5 asis. Catatan asisnya hanya terpaut dari wonderkid Dortmund yang namanya juga tengah naik, Jadon Sancho. Dan musim ini Bundesliga menjanjikan nama-nama baru yang akan menjadi bintang, alias tidak melulu pemain-pemain Bayern München.
Menilik ke awal musim, sebenarnya Sebastian Haller lebih difavoritkan oleh Eintracht, setidaknya di ajang liga. Penyerang bernomor punggung 9 ini menjadi favorit Adi Hütter ketika memainkan formasi penyerang tunggal seperti pada laga-laga pramusim mereka. Bahkan nama seperti Branimir Hrgota dan Nicolai Müller tampil mengesankan dan sering dimainkan. Jovic bahkan baru tampil 6 kali sebagai starter dan 3 kali tampil dari bench hingga pekan ke-11.
Strategi rotasi sang pelatih, Adi Hütter juga patut digarisbawahi. Eintrach memiliki banyak pilihan striker seperti Jovic, Haller, Hrgota, dan pemain senior seperti Nicolai Müller, namun pelatih berkebangsaan Austria ini pandai menempatkan pemain sesuai kebutuhan tim di tiap laga. Contohnya pada pemilihan Ante Rebic yang berposisi sebagai penyerang, terkadang bermain sebagai gelandang sayap di beberapa laga mereka dan menjadikan musuh sulit menebak siapa yang akan diturunkan sebagai starter. Beruntungnya, semua memiliki catatan gol per laga yang sangat efektif.
Pujian juga patut diapresiasi kepada Direktur Sepakbola Eintracht Frankfurt, Fredi Bobic. Legenda sepakbola Jerman ini disebut-sebut sebagai sosok piawai dibalik perekrutan cerdik bintang Eintracht musim ini, Luka Jovic. Perjudiannya mengangkut striker internasional Serbia tersebut berbuah manis. Hanya dengan menebus opsi pembelian 20 juta Euro saja di akhir musim, Eintracht berhak mempermanenkan striker timnas Serbia tersebut. Tentu saja harganya akan meroket jika mereka berniat menjualnya kelak.
Bisa dibilang, apa yang dicatatkan Eintracht musim ini menjadi bukti kalau formasi dua striker masih memiliki masa depan di tengah tren striker tunggal yang hingga kini masih bertahan. Musim ini saja di Bundesliga, tim lain hanya menyumbangkan satu strikernya dalam daftar panas top-scorer (meskipun Dortmund langsung mengagetkan dengan tajamnya Marco Reus yang kini mencatatkan 8 gol di liga setelah laga kontra München di pekan ke-11). Lainnya ada Alessane Plea di kubu Gladbach, Alfred Finnbogason di FC Augsburg dan tentunya Robert Lewandowski (7 gol).
Era Duet Striker Sebagai Penentu Keberhasilan Tim
Tentu kita masih ingat bagaimana duet striker merupakan cerminan keberhasilan suatu tim. Manchester United pada salah satu musim treble paling epik sepanjang masa, memiliki duet Dwight Yorke – Andy Cole yang mencatat total 53 gol si seluruh ajang. Begitupun dengan duet Raul-Morientes yang berhasil meraih hattrick juara Champions League dengan total 276 gol bagi Real Madrid. Singkatnya, duet striker dalam suatu tim pernah menjadi kunci kesuksesan tim.
Di era akhir 90-an dan 2000-an awal, tren formasi 2 penyerang seakan mutlak dipakai oleh suatu kesebelasan. Capaian-capaian yang ditorehkan tim yang berjaya saat itu seperti Real Madrid dan AC Milan di kancah Eropa, Juventus di kancah domestik, tak lepas dari konsistensi duet penyerangnya. Jangan lupakan juga raihan mengejutkan dari duet Blackburn, Alan Shearer-Chris Sutton yang berhasil membawa Rovers menjuarai Premier League.
Dapatkah Jovic-Haller menjadi ikon baru duet maut striker yang hilang tergerus tren penyerang tunggal? Rasa-rasanya perjalanan masih panjang untuk Eintracht, terlepas sumbangan luar biasa mereka bagi menanjaknya performa klub. Sepak terjang Eintracht Frankfurt dan dua penyerang tajam mereka setidaknya bisa menjadi alasan mengapa kalian wajib mengikuti lebih dalam Bundesliga, baik dengan alasan melihat masa depan atau sekadar bernostalgia dengan duet penyerang tajam di masa lalu.