Juventus, Galacticos, dan Transformasi Si Nyonya Tua

Foto: NBC Sports

Drama tentang masa depan Matthijs de Ligt akhirnya terjawab sudah. Bek kelahiran 12 Agustus 1999 tersebut menandatangani kontrak hingga 2024 dan resmi bergabung dengan Juventus. Mengirimkan dana 75 juta Euro kepada Ajax Amsterdam, Si Nyonya Tua berhasil mengunci de Ligt dari kejaran Barcelona dan Paris Saint-Germain (PSG).

Bedasarkan laporan GOAL, keputusan de Ligt memilih Juventus tidak lepas dari faktor ekonomi. Barcelona awalnya disebut menjadi favorit karena de Ligt memiliki kedekatan dengan gelandang anyar Blaugrana, Frenkie De Jong. Namun Mino Raiola selaku agen de Ligt tidak ingin gaji kliennya disamakan dengan De Jong.

Jika De Jong mendapatkan sembilan juta Euro per musim, Raiola meminta kenaikan sekitar 40% bagi kliennya. Barcelona tidak mau membayar de Ligt 12 juta Euro per musim, ia pun batal menyusul De Jong di Camp Nou. Tapi Raiola membantah laporan ini. Mengatakan de Ligt bergabung dengan Juventus karena faktor sepakbola, bukan ekonomi.

“Ini adalah langkah terbaik baginya. Bukan masalah siapa yang paling menginginkan jasa dia. Tapi sebagai seorang pemain bertahan, main di Italia adalah sebuah kewajiban,” kata Raiola.

“Dia jelas bek muda terbaik dunia, tapi dirinya masih perlu belajar dan ia tahu itu,” lanjut Si super agent. “Etos kerja dan mental de Ligt sudah sangat bagus. Bahkan melebihi Pavel Nedved. Tapi soal ambisi, ia mengingatkan saya kepada Zlatan Ibrahimovic,” puji Raiola.

https://www.instagram.com/p/B0DqiXilN_K/

Kehadiran de Ligt membuat Juventus disebut menjadi ‘galacticos baru’ di dunia sepakbola. Label yang identik dengan Real Madrid itu kini pindah ke tangan Si Nyonya Tua. Bagaimana tidak, de Ligt menyusul Aaron Ramsey, dan Adrien Rabiot ke Turin.

Ia akan tampil bersama Cristiano Ronaldo, Paolo Dybala, Gianluigi Buffon dan bintang-bintang ternama lainnya di Juventus. Semua lini dari tim asuhan Maurizio Sarri terlihat begitu kuat dan bertabur bintang.

Bahkan mungkin lebih baik dibanding galacticos pertama Real Madrid. Pasalnya, mereka tidak hanya diisi bintang-bintang ternama seperti CR7, Gianluigi Buffon, ataupun Giorgio Chiellini. Tapi juga talenta kelas satu Eropa seperti de Ligt, Rabiot, dan Moise Kean.

Melihat kedalaman skuad Juventus, mungkin terlintas pikiran bahwa ini adalah langkah mereka untuk menjuarai Liga Champions. Mungkin itu juga alasan Buffon kembali dari petualangannya di Prancis. Hal itu bisa saja terjadi. Tapi, galacticos Juventus berbeda dengan Real Madrid.

Beda dengan Versi Real Madrid

Foto: Eurosport

Ketika Florentino Perez membangun Los Blancos sebagai tim yang dipenuhi oleh pemain bintang, tujuan utamanya adalah menjaga tradisi. Ia ingin membuat Real Madrid seperti kesebelasan yang ketahui saat masih belia. Memiliki status raja Eropa dan dibela pemain-pemain terbaik dunia seperti Ferenc Puskas, Alfredo Di Stefano,  Waldyr ‘Didi’ Pereira, dan Hector Rial.

Hal itu jadi prioritas Perez selama menguasai Los Blancos. Setelah era Luis Figo, Zinedine Zidane, dan David Beckham berakhir, datang Ricardo Kaka serta Cristiano Ronaldo. Bahkan di musim panas 2019, dirinya mengincar Kylian Mbappe, Neymar, dan Eden Hazard sebagai target belanja. Berharap galacticos jilid III akan tiba di Santiago Bernabeu.

Sementara Juventus, justru keluar dari tradisi mereka dengan membentuk galacticos di Turin. Ini tentu bukanlah pertama kalinya Si Nyonya Tua menjadi kesebelasan bertabur bintang. Pada 2001/2002, mereka mendatangkan Lilian Thuram, Buffon, Nedved, dan Marcelo Salas di satu jendela transfer yang sama.

Mundur lebih jauh ke belakang, Ciro Ferrera, Paulo Sousa, dan Didier Deschamps diboyong di musim panas 1994. Juventus sudah sering mendatangkan pemain-pemain bintang. Tapi biasanya, mereka fokus ke pasar dalam negeri. Andaikan ada pemain yang didaratkan dari luar Italia, mungkin hanya satu atau dua per musimnya.

Akan tetapi menjelang musim 2019/2020, mereka mendatangkan de Ligt, Rabiot, dan Ramsey dari luar Italia. Hal ini dapat dilihat sebagai bentuk perubahan sikap Juventus.

Dimulai Sejak 2017

Foto: Juventus

Si Nyonya Tua sebelumnya fokus ke dalam negeri, sekarang mulai mengincar supremasi global. Namun transformasi ini sebenarnya sudah dimulai sejak mereka mengubah logo klub pada pertengahan musim 2016/2017.

“Selama satu tahun terakhir kami mulai menjelajahi pasar baru. Tapi kami juga tetap ingin menjaga identitas dengan pandangan menuju masa depan. Logo baru Juventus merupakan filosofi kehidupan klub. Bahwa kami bukan hanya harus tetap bejaya tapi juga tumbuh dan mencapai level baru,” jelas Presiden Juventus Andrea Agnelli.

Sekitar satu setegah tahun kemudian, mereka mendatangkan Cristiano Ronaldo ke Turin. CR7 jelas memberi dampak positif kepada klub. Meningkatkan nilai jual dan popularitas klub.

“Ini adalah pertama kalinya Juventus memperhitungkan biaya dan keuntungan yang akan diraih klub dari pembelian pemain,” aku Agnelli ke Financial Times. “Ronaldo memberi kami keuntungan. Baik itu di dalam ataupun luar lapangan. Jadi ini adalah langkah yang masuk akal,” jelasnya.

Langkah Juventus dalam mempersiapkan tim untuk musim 2019/2020 juga tidak lepas dari hal itu. Kedatangan de Ligt, Rabiot, Ramsey, dan Luca Pellegrini yang diperbutkan banyak klub memperlihatkan bahwa mereka perlu diperhitungkan dunia.

Menjuarai Liga Champions tentu akan membantu kelanjutan evolusi Juventus. Pasalnya, meski sudah memiliki banyak pemain bintang dan darah muda, Agnelli tak mau berhenti menggunakan cara yang sama.

“Kita harus ada di posisi yang kuat agar bisa mendapatkan pemain-pemain seperti Cristiano Ronaldo lagi di masa depan. Bukan waktu mereka sudah tua, tapi pada usia matang seperti 25 tahun,” katanya.