Buruknya penampilan kiper termahal dunia, Kepa Arrizabalaga nampaknya berbuah konsekuensi nyata. Frank Lampard, sang manajer Chelsea menurunkan kiper pilihan kedua mereka, Willy Caballero sebagai starter pada laga pekan ke-25 Premier League kontra Leicester City yang berakhir dengan skor 2-2.
Beberapa hari sebelumnya manajer Chelsea itu memperingatkan bahwa Arrizabalaga harus memperbaiki penampilannya setelah ditanya apakah ia ingin tetap turun sebagai penjaga gawang bulan ini.
“Aku tidak melihat (itu) sekarang,” kata Lampard mengutip Guardian, pada 24 Januari lalu. “Saya pikir dengan Kepa tahu. Dia akan jujur bahwa ada beberapa kesalahan yang merugikan kami. (sebagai tim).”
Lantas, mengapa sebaiknya Chelsea segera membenahi problema mereka menyangkut lini pertahanan? Juga mengapa mengkambinghitamkan Kepa atas persoalan buruknya pertahanan Chelsea adalah sebuah kesalahan besar.
Harus Diakui, Statisik Kepa Memang Payah
Apa yang diungkapkan oleh Lampard, manajer yang musim 2018/2019 lalu menukangi Derby County di Divisi Championship memang punya dasar yang kuat. Statistik yang ditorehkan kiper berbandrol 71 juta paun ini memang sulit dipercaya. Contohnya: Kepa kemasukan 2 gol dari Arsenal pada pekan Premier League ke-24, padahal The Gunners saat itu hanya mendapatkan 2 tembakan mengarah ke gawang (shots on goal). Itu artinya, setiap tembakan yang mengarah tepat kepada Kepa tak mampu ia tangkap!
Pun dengan catatan statistik lainnya:
- Kepa mencatatkan sebagai penjaga gawang dengan ranking persentase penyelamatan ke-127 dari total 132 penjaga gawang yang bermain di lima liga teratas Eropa.
- Menjadi kiper dengan persentase penyelamatan terburuk di Premier League musim ini.
- Mencatatkan sebagai kiper yang paling sedikit melakukan pencegahan xG (expected goals) dari semua kiper di Premier League.
- Catatan nirbobol yang lebih kecil dibandingkan tim struggling musim ini seperti West Ham, Newcastle, Watford, dan Burnley.
- Jumlah kebobolan paling banyak dari luar kotak penalti di Premier League musim ini yaitu 6 gol.
Sumber statistik: whoscored
Sebuah catatan yang menyedihkan bagi seorang Kepa Arrizabalaga yang pada musim LaLiga 2017/2018 berhasil melakukan penyelamatan terbanyak yakni 99, unggul jauh dari eks kiper Chelsea, Thibaut Courtois (76). Bahkan kala itu ia jauh meninggalkan torehan saves yang diciptakan kiper Barcelona, Marc-Andre Ter Stegen.
Kepa Bukan Satu-satunya Penyebab Buruknya Pertahanan Chelsea Musim Ini
Melihat penjelasan di atas, banyak yang berkesimulan bahwa eks kiper Athletic Club Bilbao ini menjadi biang keroknya. Buruknya performa kiper dengan tinggi badan 186 cm sempat menimbulkan spekulasi bahwa Chelsea dengan segera akan memanfaatkan dicabutnya sanksi transfer untuk merekrut kiper baru.
Ada hal yang dilupakan bahwa Lampard memang belum menemukan apa yang selama ini menjadi kelemahannya sendiri: Mengatasi problem pertahanan.
Perlu diingat, hal ini pulalah yang menjadi permasalahan ketika ia melatih Derby musim lalu. The Rams menjadi tim 6 besar yang memiliki goal difference paling rendah (15) hasil memasukkan 69 gol dan kemasukan 54 gol.
Dengan kualitas pemain yang tentu jauh lebih baik, ternyata tak menjamin torehan bagus untuk persoalan pertahanan. Bersama Chelsea, Lampard seakan menunjukkan bahwa bertahan (semantara ini) bukanlah keahliannya. Mungkin benar adanya, bahwa tidak sedikit gol-gol yang masuk ke gawang The Blues musim ini lahir dari kesalahan penjaga gawang mereka, Kepa Arrizabalaga.
Perlu diingat bahwa sepakbola adalah sebuat sistem kolektif. Bahwa jumlah kebobolan sebuah tim adalah tidak berjalannya sistem pertahanan sebuah tim. Berbicara bola yang dapat masuk ke daerah pertahanan adalah ketidakmampuan pemain gelandang untuk “menahan” masuknya bola ke daerah pertahanan, juga gagalnya para defender mereka untuk mencegah bola berbahaya masuk ke teritori penjaga gawang.
Pada akhir November 2019, Jorginho sedikit menguak rahasia mengapa problem banyaknya jumlah kebobolan mereka dibawah asuhan Lampard. Menurutnya, arahan Lampard untuk memaksa para gelandangnya menginvasi daerah penalti lawan.
“Sangat penting bagi kami (para) gelandang untuk mencetak gol dan Frank terus meminta kami untuk masuk ke dalam kotak (penalti),” ujar Jorginho kepada laman resmi Chelsea (30/11/19).
“Dia terus mendorong kami untuk melakukan itu, yang merupakan hal yang baik bagi kami dan bagi tim karena semakin banyak pemain yang bisa mencetak skor lebih baik bagi tim kami,” tukasnya.
Dengan formasi dasar favorit yang digunakan Lampard yakni 4-3-3, ia cenderung untuk menaruh kombinasi 1 gelandang tipikal bertahan seperti N’golo Kante dan 2 gelandang bertipikal penjelajah seperti Jorginho, Kovacic, ataupun gelandang bertipikal serang yang selama ini menjadi kesukaan Lampard: Mason Mount dan Willian.
Hal ini tentu berdampak pada sistem transisi bertahan ke menyerang atau sebaliknya. Dengan hanya meninggalkan N’Golo Kante dan menempatkan Cesar Azpilicueta/Reece James dan Emerson Palmieri yang berperan sebagai Inverted Wing Back, hal ini akan memiliki konsekuensi untuk mendapat eksploitasi serangan lawan dari daerah melebar.
Pola bermain Chelsea yang cenderung narrow (menyempit) juga memiliki konsekuensi untuk diekploitasi pada daerah flank mereka. Begini penjelasannya:
Dengan pola narrow yang berarti sedikit memanfaatkan pemain sayap yang bermain melebar, artinya serangan akan fokus lewat area tengah. Hal ini berdampak pada mudahnya lawan untuk menyerang memanfaatkan lebar lapangan. Dalam pola 4-3-3 ala Lampard, 3 (tiga) pemain paling depan akan berubah menjadi 2 inside forward dan 1 orang penyerang tengah. Hal ini memiliki konsekuensi bek sayap mereka akan melakukan overlapping. Celah inilah yang seringkali dimanfaatkan lawan-lawan Chelsea. Bentuk eksploitasi seperti inilah yang sering ditemui kala menonton Chelsea, seperti yang penulis lhat kala Chelsea harus bermain dengan skor akhir 0-2 melawan klub papan bawah, Southampton pada laga Boxing Day (26/12/19).
Chelsea kerapkali kedodoran ketika mendapat serangan balik lawan yang ditempatkan ke area yang ditinggalkan kedua bek sayapnya yang naik membantu penyerangan.
Proses gol pertama pada laga kontra Southampton terjadi karena serangan balik cepat akibat Tammy Abraham gagal mempertahankan bola di sisi kiri penyerangan Chelsea. Emerson yang melakukan overlap tentu saja sulit kembali ke posisinya. Seperti gambar di atas, Chelsea hanya meningalkan Fikayo Tomori serta Kurt Zouma di belakang. Karena Emerson yang naik, Tomori posisinya otomatis tertarik untuk meng-cover area melebar.
Pada laga tersebut, Lampard juga seakan tak belajar dari kesalahan. Southampton lagi-lagi berhasil mencetak gol dari proses yang mirip. Malah, proses gol kedua ini memperlihatkan kualitas pertahanan Chelsea yang menurut saya, seperti koordinasi pemain Sunday League. Terlihat 5 pemain Chelsea berada di belakang pemain sayap Southampton, Stuart Armstrong.
Hal tersebut juga lagi-lagi ditunjukkan Chelsea di matchweek ke-25, akhir pekan lalu (1/2/20). Gol penyeimbang Leicester berawal dari serangan di sisi kanan pertahann Chelsea yang dikawal Reece James. Gelandang serang The Foxes, Harvey Barnes menunjukkan kemampuan individualnya untuk mengecoh James, sampai akhirnya ia sendiri yang membuat Caballero out–of–position dan Barnes menendang bola ke pojok kiri atas gawang Chelsea.
Buruknya Defending Set Pieces
Persoalan lain yang rupanya perlu menjadi prioritas Frank Lampard dan staf kepelatihannya adalah defending set-pieces. Bagaimana tidak, selain kebobolan yang bermula dari area bek sayap, Chelsea musim ini menjadi tim paling buruk untuk menanggulangi gol dari set-piece lawan.
Dari 18 tim peserta Premier League, tim yang bermarkas di Stamford Bridge menempati urutan pertama secara persentase dalam hal kebobolan dari set-piece, yakni 7,50 persen. Dari total 80 kali menghadapi tembakan pojok saja, Chelsea sudah kebobolan 6 gol.
Sumber: Twitter @TheChelseaUk
Bebagai penjelasan di atas sedikitnya bisa membuktikan kalau permasalah inti dari banyaknya jumlah kebobolan Chelsea sejauh ini adalah sistem pertahanan yang buruk. Ya, Kepa sejauh ini belum membuktikan bahwa banderol mahalnya dengan penampilan yang gemilang. Namun yang perlu diingat, jumlah kebobolan adalah simbol dari buruknya sistem pertahanan, bukan indikator dari buruknya seorang penjaga gawang.